Surau.co. Dalam Kitab Maqāṣid al-Falāsifah, Imam Al-Ghazālī menulis bukan untuk menjatuhkan para filsuf, melainkan untuk memahami mereka dari dalam. Ia memasuki dunia mereka dengan kejujuran seorang pencari. Namun di akhir perjalanan, ia menemukan sesuatu yang tak bisa dijangkau oleh logika: ada batas bagi pengetahuan manusia, dan di situlah hikmah mulai menyala.
Frasa kunci “batas pengetahuan” menjadi inti dari renungannya. Manusia boleh berpikir setinggi bintang, tapi tetap takkan menyentuh langit tanpa cahaya wahyu. Dalam bahasa Al-Ghazālī, akal adalah pelita kecil yang mampu menerangi jalan, namun tidak cukup kuat untuk menyingkap seluruh cahaya matahari kebenaran.
Ia menulis dalam Maqāṣid al-Falāsifah:
“العقل كالمصباح يهدي في الظلمة، لكنه لا يبلغ ضياء الشمس.”
“Akal itu seperti pelita yang memberi petunjuk di kegelapan, namun tak mampu menandingi terang matahari.”
Kata-kata ini sederhana, tetapi dalam. Filsafat membawa manusia pada pemahaman, sementara hikmah menuntunnya pada penyerahan.
Ketika Ilmu Menjadi Cermin, Bukan Takhta
Manusia modern sering merasa bahwa semakin banyak ia tahu, semakin ia berkuasa. Padahal, semakin dalam pengetahuan seseorang, seharusnya semakin besar kesadarannya tentang ketidaktahuannya. Inilah paradoks yang Al-Ghazālī ingin tunjukkan melalui filsafat: ilmu sejati tidak menumbuhkan kesombongan, tapi kerendahan hati.
Beliau menulis:
“العلم الحقيقي ما أورث صاحبه خشية، لا جدلاً ولا كبراً.”
“Ilmu sejati adalah ilmu yang menumbuhkan rasa takut (takwa) pada pemiliknya, bukan perdebatan atau kesombongan.”
Akal yang tercerahkan adalah akal yang tunduk, bukan yang menantang. Sebab ketika ilmu menjadi cermin, manusia melihat kebesaran Tuhan di dalam dirinya. Tapi ketika ilmu menjadi takhta, manusia justru menuhankan dirinya sendiri.
Al-Qur’an pun mengingatkan:
“وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ”
(QS. Yusuf [12]: 76)
“Dan di atas setiap orang yang berilmu, ada yang lebih mengetahui.”
Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada puncak dalam pengetahuan manusia. Di atas setiap puncak, ada langit lain yang lebih tinggi, hingga akhirnya semua berpuncak pada Allah — sumber segala ilmu.
Fenomena Sehari-hari: Antara Tahu dan Mengerti
Dalam hidup sehari-hari, kita sering merasa “tahu segalanya.” Kita memahami teknologi, sains, bahkan teori kehidupan. Namun, ketika duka datang atau cinta hancur, semua teori itu seakan kehilangan suara. Di sanalah manusia sadar: pengetahuan rasional tidak selalu sanggup menenangkan hati.
Al-Ghazālī menjelaskan fenomena ini dengan sangat halus:
“النفس لا تسكن إلى العلم وحده، وإنما تسكن إلى الحكمة التي تنير القلب.”
“Jiwa tidak akan tenang dengan ilmu semata, melainkan dengan hikmah yang menerangi hati.”
Perbedaan antara ilmu dan hikmah bagai perbedaan antara membaca dan memahami, antara melihat dan menyaksikan. Ilmu menambah pengetahuan, tapi hikmah menumbuhkan kedamaian.
Kita bisa membaca banyak buku tentang bahagia, tapi tetap tidak merasakannya. Sebab kebahagiaan bukan di kepala, melainkan di hati yang lapang dan tunduk pada kehendak Tuhan.
Ketika Akal Berhenti, Cahaya Wahyu Menyala
Filsafat, bagi Al-Ghazālī, adalah taman indah yang bisa menenangkan pikiran, namun tidak bisa mengobati luka jiwa. Hanya ketika manusia berjalan lebih dalam—melewati gerbang rasio—ia akan menemukan sumber cahaya yang tak pernah padam.
Dalam Maqāṣid al-Falāsifah, beliau menulis:
“غاية الفلسفة أن تعرف حدّ العقل، فإذا عرفت حدّه، انفتح لك باب الوحي.”
“Puncak filsafat adalah mengenal batas akal; dan ketika engkau mengenal batas itu, terbukalah bagimu pintu wahyu.”
Pernyataan ini menjadi kunci peralihan dari filsafat menuju tasawuf. Saat akal menyadari batasnya, bukan berarti ia gagal, tetapi ia berhasil menuntun manusia pada kerendahan diri di hadapan Sang Maha Tahu.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“من تواضع لله رفعه الله.”
“Barang siapa merendahkan diri karena Allah, niscaya Allah meninggikannya.” (HR. Muslim)
Ketika akal merendah di hadapan cahaya Ilahi, justru di situlah ketinggian sejati dimulai.
Cahaya yang Menyala di Dalam Diri
Hikmah bukan sekadar pengetahuan yang luas, melainkan cara melihat dunia dengan hati yang tercerahkan. Hikmah menjadikan seseorang lembut, pemaaf, dan bijak tanpa harus banyak berbicara.
Al-Ghazālī menggambarkannya dengan indah:
“الحكمة شجرة أصلها العلم وفرعها العمل وثمرتها النور.”
“Hikmah adalah pohon yang akarnya ilmu, cabangnya amal, dan buahnya cahaya.”
Ilmu yang tak berbuah hikmah adalah pohon tanpa buah, indah tapi hampa. Sementara hikmah menjadikan setiap pengalaman—baik bahagia maupun derita—sebagai pelajaran menuju Allah.
Dalam keseharian, hikmah hadir ketika seseorang mampu melihat makna di balik musibah, ketika ia tetap sabar dalam gelap karena yakin di sana ada cahaya. Di titik itulah pengetahuan berhenti berbicara, dan kebijaksanaan mulai bernyanyi.
Menemukan Cahaya Setelah Batas Pengetahuan
Al-Ghazālī mengakhiri pencariannya bukan dengan meninggalkan filsafat, tapi dengan menempatkannya di tempat yang semestinya. Filsafat adalah tangga menuju hikmah. Setelah naik cukup tinggi, manusia tidak perlu memeluk tangga itu—ia harus melangkah lebih jauh menuju cahaya.
Bagi beliau, yang sejati bukanlah mengetahui segalanya, melainkan menyadari bahwa hanya Allah yang Maha Mengetahui. Dari kesadaran itulah lahir kerendahan hati, kedamaian, dan kebijaksanaan.
Dan di situlah batas pengetahuan berubah menjadi awal pencerahan.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
