Surau.co. Dalam Kitab Maqāṣid al-Falāsifah, Imam Al-Ghazālī mengajak kita merenung tentang hakikat wujud dan jiwa. Ia memandang bahwa wujud tak pernah hilang, hanya berubah bentuk. Saat jasad kembali ke tanah, jiwa tidak punah. Ia berpindah dari ruang sempit dunia menuju kelapangan alam hakikat.
Frasa kunci “wujud tak pernah hilang” bukan sekadar kalimat filsafat, tapi napas kehidupan itu sendiri. Kita sering mengira kematian adalah akhir, padahal ia hanyalah babak baru dalam perjalanan pulang. Dalam bahasa Al-Ghazālī, kematian bukan pemutusan, melainkan “pembukaan tabir.”
Beliau menulis dalam Maqāṣid al-Falāsifah:
“النفس جوهرٌ باقٍ لا يفنى بفناء الجسد، بل ينتقل من دارٍ إلى دارٍ.”
“Jiwa adalah substansi yang abadi; ia tidak binasa dengan kehancuran tubuh, melainkan berpindah dari satu alam ke alam lain.”
Kalimat itu memancarkan kedamaian. Bahwa di balik kepunahan tubuh, ada kehidupan yang lebih nyata. Seperti air yang menguap, jiwa pun terbang, tak hilang, hanya berubah rupa.
Hidup Tak Pernah Benar-Benar Mati
Dalam keseharian, manusia sering lupa bahwa hidup ini bukan sekadar keberadaan jasad. Kita terikat pada tubuh, waktu, dan ruang, lalu takut kehilangan semua itu. Namun sebagaimana diajarkan Al-Ghazālī, jiwa mengenal keabadian sejak awal diciptakan.
Dalam Maqāṣid al-Falāsifah beliau menulis:
“الروح نورٌ علويٌّ تعلّق بالجسد تعلق التدبير، لا تعلق الامتزاج، فإذا انقطع التدبير انفصل النور عن الظلمة.”
“Ruh adalah cahaya dari alam tinggi yang terikat pada tubuh untuk mengatur, bukan menyatu. Maka ketika ikatan itu terputus, cahaya berpisah dari kegelapan.”
Manusia bukan hanya tubuh yang berjalan; ia adalah cahaya yang menuntun tubuh itu. Ketika jasad mati, cahaya itu kembali ke sumbernya—Allah, Sang Cahaya di atas segala cahaya.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ”
(QS. An-Nūr [24]: 35)
“Allah adalah cahaya langit dan bumi.”
Kematian, dalam pandangan ini, hanyalah peristiwa pelepasan. Jiwa yang telah mengenal asalnya akan pulang dengan tenang. Ia tidak menolak kefanaan tubuh, karena tahu bahwa hakikatnya tidak pernah fana.
Mengenal Keabadian Melalui Keheningan
Kita sering mencari makna hidup lewat keramaian dunia, padahal rahasia keabadian tersembunyi dalam keheningan. Dalam sunyi, kita menyadari bahwa ada bagian dalam diri yang tak tersentuh waktu. Ia tidak menua, tidak lelah, dan tidak mati.
Al-Ghazālī menggambarkan itu dengan indah:
“النفس مرآةٌ للحق، إذا صُقِلتْ بالذكر، أظهرتْ صورة البقاء.”
“Jiwa adalah cermin bagi Kebenaran; jika ia dipoles dengan zikir, ia memantulkan gambaran keabadian.”
Ketika hati tenang, ia menjadi cermin. Dan dalam cermin itu, manusia melihat hakikat dirinya: makhluk yang berasal dari Yang Abadi. Maka, setiap amal kebaikan adalah pantulan dari cahaya itu; setiap kasih yang tulus adalah bukti bahwa ada kehidupan yang melampaui kematian.
Fenomena sehari-hari sebenarnya mengingatkan kita pada hal ini. Ketika bunga layu, benihnya tetap hidup. Dan ketika malam datang, pagi menunggu di ujung waktu. Ketika seseorang berpulang, cinta dan doa untuknya tak ikut mati. Karena yang sejati tidak pernah hilang—hanya berpindah bentuk.
Keabadian Jiwa dan Hikmah Kematian
Al-Ghazālī menegaskan bahwa mengenal hakikat wujud berarti memahami bahwa segala sesuatu di dunia ini hanyalah bayangan dari keberadaan sejati.
Dalam Maqāṣid al-Falāsifah beliau menulis:
“كل ما له بداية فله نهاية، إلا الوجود الحق، فهو الأول والآخر بلا انقطاع.”
“Segala sesuatu yang memiliki awal pasti memiliki akhir, kecuali wujud yang hakiki; Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir tanpa terputus.”
Manusia menjadi tenang ketika memahami hal ini. Sebab di balik kefanaan, ada tangan Tuhan yang menuntun segalanya menuju kesempurnaan.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“الدنيا مزرعة الآخرة”
“Dunia adalah ladang bagi akhirat.”
Artinya, hidup di dunia bukanlah tujuan akhir, tapi tempat menanam benih yang akan tumbuh di kehidupan berikutnya. Jiwa yang telah mengenal keabadiannya akan menanam kebaikan, karena tahu setiap amal akan hidup lebih lama dari tubuhnya.
Wujud Tak Pernah Hilang: Pelajaran untuk Hati yang Gelisah
Setiap kali kehilangan seseorang yang dicintai, hati kita sering terasa hampa. Namun Al-Ghazālī mengajak untuk melihat dari sisi lain: kehilangan hanyalah cara Tuhan menunjukkan bahwa cinta sejati tidak tergantung pada bentuk.
Cinta, doa, dan amal baik tidak pernah mati, karena bersumber dari ruh yang hidup. Maka, ketika tubuh pergi, kasihnya tetap ada. Dalam kesedihan pun, ada rahmat yang tersembunyi—bahwa kita semua sedang berjalan menuju rumah yang sama.
Ketenangan hidup bukanlah karena tidak kehilangan apa pun, tetapi karena memahami bahwa tidak ada yang benar-benar hilang. Yang ada hanyalah perubahan bentuk dalam irama ketetapan Tuhan.
Sebagaimana air yang menguap menjadi awan, lalu kembali turun sebagai hujan, demikian pula jiwa berputar dalam siklus kasih Ilahi: tiada awal, tiada akhir, hanya perjalanan menuju keabadian.
Ketika Jiwa Pulang, Alam pun Bersaksi
Ketika jiwa mengenal asalnya, seluruh alam menjadi saksi. Langit, laut, dan tanah menyambutnya dengan damai. Dalam pandangan Al-Ghazālī, setiap elemen alam adalah bagian dari wujud yang tak terpisahkan dari Tuhan.
Maka, mengenal keabadian jiwa berarti juga menghormati kehidupan di sekeliling kita. Tidak ada yang sia-sia di dunia ini, karena semuanya adalah cermin dari Wujud yang Satu.
Kematian hanyalah perubahan cara kita mencintai; dari hadir menjadi doa, dari suara menjadi keheningan, dari jasad menjadi cahaya.
Dan pada akhirnya, wujud tak pernah hilang—karena yang sejati selalu kembali pada Yang Abadi.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
