Khazanah
Beranda » Berita » Ketika Jiwa Mengenal Dirinya, Alam pun Mengenal Tuhannya

Ketika Jiwa Mengenal Dirinya, Alam pun Mengenal Tuhannya

Manusia merenung di tepi danau dengan pantulan cahaya pagi, simbol jiwa yang mengenal Tuhannya.
Gambar menampilkan manusia yang merenung di alam, menggambarkan perjalanan batin dalam menemukan Tuhan melalui keheningan dan kesadaran.

Surau.co. Dalam Kitab Maqāṣid al-Falāsifah, Imam Al-Ghazālī membuka percakapan antara akal dan hati dengan kelembutan yang nyaris mistis. Ia tidak menolak filsafat, tetapi menuntunnya agar kembali pada cahaya wahyu. Di sanalah perjalanan jiwa mengenal dirinya bermula—sebuah perjalanan panjang, sunyi, dan sangat manusiawi.

Al-Ghazālī memahami bahwa pencarian manusia terhadap kebenaran sering berawal dari rasa ingin tahu, namun hanya bisa berakhir dengan rasa tunduk. Mengenal diri, dalam pandangannya, bukan sekadar memahami siapa kita, melainkan menyadari dari mana kita datang, untuk apa kita hidup, dan kepada siapa kita akan kembali.

Beliau menulis sebuah kalimat yang mengguncang kesadaran:

“مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ”
“Barang siapa mengenal dirinya, maka sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”

Kata-kata ini bukan sekadar peribahasa sufistik, tapi peta jalan menuju hakikat. Jiwa yang mengenal dirinya akan sadar bahwa semua kekuatan, kecerdasan, dan kehendaknya hanyalah bayangan dari kekuasaan Allah. Saat itu terjadi, manusia tak lagi merasa sombong. Ia menjadi cermin yang memantulkan cahaya Tuhan, bukan dirinya sendiri.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Filsafat Sebagai Cermin Bening, Bukan Jalan Buntu

Dalam Maqāṣid al-Falāsifah, Al-Ghazālī menjelaskan bahwa akal adalah anugerah yang luar biasa, namun ia harus disucikan dari keangkuhan. Akal yang sombong ibarat pedang yang tajam tapi diarahkan pada diri sendiri.

Beliau menulis dengan metafora yang indah:

“العقل كالمرآة، إن صُقِلَتْ بالنظر الصحيح أبانتْ الحقائق، وإن كدّرها الهوى أظلمتْ عن النور.”
“Akal itu seperti cermin; jika dipoles dengan pandangan yang benar, ia menampakkan hakikat, namun jika dikotori oleh hawa nafsu, ia menjadi gelap dari cahaya.”

Kita hidup di zaman di mana manusia lebih percaya pada data ketimbang doa, pada algoritma ketimbang nurani. Namun sebagaimana diingatkan Al-Ghazālī, akal tidak bisa menembus wilayah yang hanya bisa dilihat oleh hati. Ia berkata, “Ilmu tanpa cahaya iman hanyalah kabut yang menipu.”

Bagi Al-Ghazālī, filsafat bukan musuh agama, tetapi kendaraan untuk sampai kepada-Nya. Namun kendaraan itu tidak boleh dikendarai tanpa peta wahyu. Tanpa itu, manusia tersesat di gurun pikiran yang tak berujung.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ketenangan Jiwa di Tengah Kebisingan Dunia

Zaman modern menuntut manusia untuk terus berlari. Kita mengejar cita-cita, pekerjaan, dan pengakuan, namun sering lupa mengenal arah. Al-Ghazālī memahami kegelisahan ini jauh sebelum dunia mengenal internet. Ia menulis dengan nada yang seolah menembus zaman:

“النفس إن أُلهيت عن خالقها بالخلق، تاهتْ في التيه ولم تهتدِ إلى السبيل.”
“Jiwa yang lalai dari Penciptanya karena sibuk dengan makhluk, akan tersesat di padang kebingungan dan tak menemukan jalan.”

Berapa banyak dari kita yang terjebak dalam padang kebingungan itu? Kita menatap layar setiap hari, tapi jarang menatap ke dalam hati. Kita tahu apa yang sedang viral, tapi lupa apa yang membuat jiwa tenang.

Al-Ghazālī mengingatkan bahwa mengenal diri berarti menyeimbangkan dunia lahir dan batin. Ia menulis, “Ketika engkau menyucikan hatimu, engkau akan menemukan surga yang tidak membutuhkan taman.” Maka, kedamaian sejati tidak datang dari banyaknya harta, melainkan dari tenangnya hati yang mengenal Tuhannya.

Cahaya Pengetahuan yang Menyatu dengan Iman

Dalam pandangan Al-Ghazālī, pengetahuan sejati bukanlah kumpulan konsep, tapi cahaya yang menerangi hati. Ia menulis:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

“العلم نورٌ يقذفه الله في القلب، لا يُنالُ بكثرة القراءة، ولكن بصفاء السريرة.”
“Ilmu adalah cahaya yang Allah pancarkan ke dalam hati; ia tidak diperoleh dengan banyak membaca, tetapi dengan kejernihan hati.”

Ilmu sejati tidak bisa dicapai hanya dengan belajar tanpa bimbingan batin. Ketika hati bersih, setiap ciptaan menjadi guru: batu yang diam mengajarkan keteguhan, air yang mengalir mengajarkan kesabaran, dan angin yang lembut mengajarkan kasih.

Al-Ghazālī menyatukan akal dan iman seperti dua sayap burung. Akal memberi arah, iman memberi daya terbang. Keduanya harus bekerja bersama agar manusia tidak jatuh ke tanah keangkuhan intelektual atau tersesat dalam kabut keraguan.

Ketika Alam Ikut Bertasbih

Ketika jiwa mengenal dirinya, seluruh alam pun ikut mengenal Tuhannya. Bagi Al-Ghazālī, alam ini bukan benda mati, melainkan kitab terbuka yang penuh tanda-tanda.

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

“تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ ۚ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَٰكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ”
(QS. Al-Isrā’ [17]: 44)
“Langit yang tujuh, bumi, dan segala yang ada di dalamnya bertasbih kepada-Nya. Tiada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka.”

Jiwa yang mengenal Tuhannya tidak lagi melihat dunia sebagai ruang kosong, tapi sebagai tempat zikir. Pepohonan, ombak, bahkan angin sore yang menyentuh wajah — semuanya bertasbih. Alam tidak pernah ingkar. Hanya manusia yang kadang lupa.

Ketika seseorang kembali mengenal dirinya, ia belajar mendengar tasbih alam itu. Ia tidak lagi merusak bumi, karena ia tahu setiap daun adalah lidah yang sedang memuji Pencipta. Di titik ini, filsafat menjadi ekologi spiritual — mengajarkan kita mencintai alam karena di dalamnya ada gema nama Tuhan.

Kembali Menjadi Cermin Cahaya

Kitab Maqāṣid al-Falāsifah bukan sekadar karya filsafat, melainkan perjalanan jiwa Al-Ghazālī sendiri — dari keraguan menuju keyakinan, dari gelap pikiran menuju cahaya batin.

Ketika jiwa mengenal dirinya, ia tidak lagi mencari Tuhan di langit yang jauh, tapi di dalam kesadaran yang paling dalam. Di sanalah rahasia hidup bersemayam. Al-Ghazālī menulis bahwa hati manusia adalah ‘ars kecil, tempat di mana nama Allah tercermin.

Mengenal diri berarti membersihkan cermin itu dari debu dunia. Dan ketika ia kembali jernih, seluruh ciptaan memantulkan wajah Tuhan. Maka, “Ketika jiwa mengenal dirinya, alam pun mengenal Tuhannya.” Karena sesungguhnya, keduanya berasal dari sumber yang sama: al-Nūr al-Awwal — Cahaya Pertama.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement