SURAU.CO – Dalam kehidupan sosial dan politik umat Islam, pemimpin memiliki posisi yang sangat strategis. Mereka adalah pihak yang menerima amanah untuk mengatur urusan umat, menegakkan keadilan, dan menjaga kemaslahatan bersama. Namun, pada kenyataannya, tidak jarang kita melihat fenomena yang sangat tidak semestinya : para pemimpin, baik tingkat atas maupun bawah, saling mencela, menjelekkan, dan menjatuhkan satu sama lain di hadapan publik. Fenomena ini bukan hanya menodai martabat kepemimpinan, tetapi juga sangat jauh dari nilai-nilai ajaran Islam yang luhur.
Kepemimpinan dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, kepemimpinan adalah amanah besar yang tidak boleh memandangnya dengan ringan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa setiap pemimpin, baik dalam skala kecil seperti kepala keluarga maupun besar seperti kepala negara, memiliki tanggung jawab moral dan spiritual yang sangat berat. Ia tidak hanya bertanggung jawab atas kepemimpinannya ke hadapan rakyat, tetapi juga ke hadapan Allah Ta’ala.
Kepemimpinan dalam Islam bukanlah ajang mencari kekuasaan atau popularitas. Tujuan utama seorang pemimpin adalah menegakkan keadilan, melindungi hak rakyat, dan membawa kesejahteraan. Karena itu, segala perilaku yang mencederai persatuan umat, termasuk saling mencela dan merendahkan sesama pemimpin, merupakan pengkhianatan terhadap amanah tersebut.
Larangan Mencela dan Menghina Sesama Muslim
Islam dengan tegas melarang perbuatan mencela, menghina, dan menjelekkan sesama muslim. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik daripada mereka; dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita lain, boleh jadi wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik daripada mereka. Janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelar-gelar yang buruk…”
(QS. Al-Hujurat: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa mencela orang lain sama dengan mencela diri sendiri, karena umat Islam adalah satu tubuh. Ketika satu bagian tubuh terluka, seluruh tubuh akan merasakan sakit. Begitu pula, ketika seorang pemimpin menghina atau menjatuhkan pemimpin lainnya, maka yang terluka bukan hanya individu tersebut, tetapi juga umat yang mereka pimpin.
Saling mencela sesama pemimpin juga dapat merusak wibawa kepemimpinan itu sendiri. Umat yang melihat pemimpinnya saling menghina akan kehilangan rasa hormat dan kepercayaan terhadap mereka. Akibatnya, persatuan umat pun menjadi lemah, dan musuh-musuh Islam sangat menyukai ini.
Adab Sesama Pemimpin dalam Islam
Para pemimpin Muslim sejati harus meneladani akhlak Rasulullah ﷺ dalam menghadapi perbedaan. Rasulullah tidak pernah mencela atau menjelekkan pemimpin lain, bahkan terhadap orang yang memusuhinya sekalipun. Beliau selalu menampilkan sikap santun, bijak, dan adil. Ketika ada perbedaan pandangan, Rasulullah ﷺ lebih memilih jalan musyawarah. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya, mendirikan salat, urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
(QS. Asy-Syura: 38)
Musyawarah adalah prinsip utama dalam kepemimpinan Islam. Dengan bermusyawarah, perbedaan dapat diselesaikan dengan cara yang terhormat dan tanpa harus menjatuhkan kehormatan orang lain.
Dampak Buruk Saling Mencela Antar Pemimpin
Perbuatan saling mencela antar pemimpin membawa banyak dampak negatif, baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi masyarakat luas.
- Hilangnya Kepercayaan Rakyat
Ketika rakyat melihat pemimpinnya saling menghina, mereka akan kehilangan rasa hormat. Pemimpin yang seharusnya menjadi teladan justru menjadi sumber kebingungan dan perpecahan. - Timbulnya Perpecahan dan Fitnah
Ucapan yang keluar dari mulut seorang pemimpin memiliki pengaruh besar. Ketika seorang pemimpin mencela pemimpin lain, pendukungnya akan ikut terprovokasi, dan akhirnya muncul perpecahan yang sulit dihindari. - Menurunnya Wibawa Islam di Mata Dunia
Ketika sesama pemimpin Muslim saling menjatuhkan di hadapan publik, terutama di media sosial atau forum internasional, citra umat Islam menjadi buruk. Musuh-musuh Islam akan melihat perpecahan ini sebagai peluang untuk memperlemah umat. - Menumbuhkan Kebencian dan Dendam
Cacian dan hinaan tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, ia justru menumbuhkan kebencian dan dendam yang bisa bertahan lama, bahkan lintas generasi.
Menjaga Lisan: Kunci Kedamaian dan Persatuan
Rasulullah ﷺ telah mengingatkan pentingnya menjaga lisan. Dalam sebuah hadis disebutkan:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjadi panduan yang sangat relevan bagi para pemimpin. Jika sebuah ucapan tidak membawa manfaat, lebih baik diam. Karena ucapan yang keluar dari mulut seorang pemimpin bukan hanya mencerminkan dirinya, tetapi juga mencerminkan umat yang dipimpinnya.
Menjaga lisan bukan berarti tidak boleh mengkritik. Kritik yang membangun adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Namun, cara menyampaikan kritik dalam Islam harus penuh adab, kasih sayang, dan tidak bertujuan untuk mempermalukan.
Teladan dari Para Khalifah
Para khalifah dan pemimpin besar Islam di masa lalu telah memberikan teladan mulia dalam menjaga kehormatan sesama pemimpin. Teladan tersebut mestinya menjadi pedoman para pemimpin Muslim masa kini.
Khalifah Umar bin Khattab r.a., misalnya, terkenal tegas namun tidak pernah menghina sahabat lain. Ketika ia berbeda pendapat dengan Abu Bakar r.a. dalam beberapa hal, ia tetap menghormatinya sebagai khalifah dan sahabat Rasulullah. Bahkan setelah Abu Bakar wafat, Umar sering menyebutnya dengan penuh hormat dan rasa cinta.
Demikian pula Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. ketika menghadapi perbedaan politik dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Meski terjadi konflik besar, Ali tetap melarang para pengikutnya untuk mencela Mu’awiyah dan pasukannya. Beliau berkata:
“Aku tidak suka jika kalian menjadi orang yang suka mencela. Tapi katakanlah: Ya Allah, lindungilah darah kami dan darah mereka, damaikanlah di antara kami dan mereka, serta bimbinglah mereka keluar dari kesesatan mereka kepada kebenaran.”
(Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah)
Sungguh, betapa luhur akhlak para pemimpin Islam dahulu. Mereka menempatkan kehormatan umat di atas kepentingan pribadi atau politik.
Jalan Kembali Menuju Akhlak Kepemimpinan Islami
Untuk mengembalikan marwah kepemimpinan Islam, para pemimpin masa kini harus kembali kepada prinsip-prinsip berikut:
- Ikhlas dalam Mengabdi – Kepemimpinan niatnya harus sebagai ibadah, bukan ajang perebutan kekuasaan.
- Mengutamakan Ukhuwah – Menyelesaikan perbedaan pendapat harus dengan musyawarah, bukan dengan caci maki.
- Menjaga Lisan dan Etika Publik – Ucapan seorang pemimpin mencerminkan akhlak Islam.
- Mengambil Teladan Rasul dan Para Sahabat – Akhlak mereka adalah cermin bagi kepemimpinan sejati.
- Mendahulukan Kemaslahatan Umat – Kepentingan umat harus lebih tinggi dari ego pribadi atau partai.
Penutup
Saling mencela sesama pemimpin adalah perbuatan yang sangat jauh dari ajaran Islam. Ia bukan tanda kekuatan, tetapi justru menunjukkan kelemahan iman dan akhlak. Islam mengajarkan kehormatan, kasih sayang, dan persatuan. Pemimpin yang baik adalah yang mampu menahan diri dari ucapan yang menyakitkan, dan lebih memilih jalan bijak untuk menyelesaikan perbedaan.
Sudah saatnya para pemimpin umat kembali mencontoh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Mereka tidak berdebat untuk menang, melainkan berdiskusi untuk kebenaran. Mereka tidak mencela lawan, melainkan mendoakan agar mendapat hidayah. Karena hanya dengan akhlak yang mulia, kepemimpinan akan membawa rahmat dan kemuliaan, bukan perpecahan dan kehancuran.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Hujurat: 13)
Maka, hendaklah para pemimpin menjaga lisannya, memperbaiki niatnya, dan bersatu demi kemaslahatan umat. Sebab, mencela sesama pemimpin bukanlah tanda keberanian, melainkan cermin jauhnya hati dari nilai-nilai Islam yang sejati.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
