Surau.co. Setiap manusia hidup di dua dunia sekaligus — satu yang bisa disentuh, dan satu lagi yang hanya bisa dirasakan. Kita makan, bekerja, tertawa, dan menangis di dunia yang fana; namun di saat yang sama, ada bagian dari diri kita yang selalu menatap ke arah yang kekal. Dalam Kitab Maqāṣid al-Falāsifah, Imam Abu Hamid al-Ghazālī membahas dengan mendalam filsafat tentang manusia di antara dua dunia — tubuh dan jiwa, waktu dan keabadian, bumi dan langit.
Menurut Al-Ghazālī, hidup manusia tidak bisa dimengerti hanya dari apa yang tampak. Raga adalah pakaian sementara, sedangkan jiwa adalah penumpang yang sedang melakukan perjalanan panjang menuju rumah asalnya. Dunia hanyalah tempat persinggahan di antara dua realitas — dunia materi dan dunia makna.
Dunia Fana yang Indah tapi Menipu
Dalam Maqāṣid al-Falāsifah, Al-Ghazālī menulis:
“العالم المحسوس ظلّ العالم المعقول، ومن أحبّ الظلّ نسي الأصل.”
“Dunia yang bisa dirasakan adalah bayangan dari dunia makna. Barang siapa mencintai bayangan, ia akan lupa pada asalnya.”
Bayangan memang indah, tetapi ia tidak memiliki wujud sendiri. Demikian pula dunia ini. Semua yang kita lihat, dengar, dan rasakan adalah pantulan dari realitas yang lebih tinggi — dunia ruhani yang menjadi sumbernya.
Namun manusia sering terjebak pada bayangan itu. Kita mengira kebahagiaan terletak pada kepemilikan, status, atau keindahan fisik. Padahal, semua itu akan hilang. Yang kekal hanyalah makna di baliknya.
Fenomena sehari-hari menunjukkan hal ini dengan jelas. Saat seseorang kehilangan harta, ia bisa hancur, tapi ketika kehilangan kedamaian batin, dunia seolah runtuh seluruhnya. Karena yang sejati tidak berada di luar, tapi di dalam.
Allah berfirman:
“وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ” (QS. Āli ‘Imrān: 185)
“Dan kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.”
Ayat ini bukan seruan untuk meninggalkan dunia, tetapi pengingat agar kita tidak tertipu oleh gemerlapnya. Dunia indah, tapi ia bukan tujuan — hanya cermin yang mengarahkan kita pada cahaya yang lebih tinggi.
Jiwa yang Menatap ke Langit
Menurut Al-Ghazālī, jiwa manusia berasal dari alam yang tidak mengenal waktu. Ia menulis:
“النفس جوهرٌ علويٌّ من عالم الملكوت، هبطت إلى الجسد امتحانًا لا هوانًا.”
“Jiwa adalah substansi yang luhur dari alam malaikat, turun ke tubuh bukan untuk direndahkan, tetapi untuk diuji.”
Jiwa bukan tahanan tubuh, melainkan peziarah yang sedang belajar mengenal dirinya. Dunia ini adalah ruang ujian bagi jiwa — tempat di mana ia mengenal kasih, kesabaran, kehilangan, dan penyerahan. Semua pengalaman manusia hanyalah jalan bagi jiwa untuk mengenali cahayanya sendiri.
Itulah mengapa setiap manusia membawa kerinduan yang tak terjelaskan — rindu pada sesuatu yang belum pernah benar-benar terlihat, tapi terasa begitu akrab. Rasa rindu itu adalah bisikan dari dunia kekal yang memanggil pulang.
“إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ” (QS. Al-Baqarah: 156)
“Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya kami akan kembali.”
Ayat ini bukan sekadar bacaan saat duka, melainkan pernyataan tentang jati diri anusia: kita datang dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.
Tubuh yang Fana, Tapi Bernilai Bila Dipakai untuk Kebaikan
Al-Ghazālī tidak pernah mengajarkan untuk meninggalkan dunia, melainkan untuk memaknai dunia dengan benar. Ia menulis:
“الجسد مركب النفس، فمن أكرم مركبه سَلِمَتْ رحلته.”
“Tubuh adalah kendaraan jiwa. Siapa yang memuliakan kendaraannya, maka perjalanannya akan selamat.”
Tubuh bukan musuh jiwa, melainkan sahabatnya di dunia. Melalui tubuh, jiwa bisa belajar bersyukur, beramal, dan mencintai. Tetapi ketika tubuh mengambil alih kendali, jiwa menjadi lupa arah.
Fenomena ini nyata: banyak orang hidup dalam tubuh yang sehat tapi merasa kosong, dan ada pula yang tubuhnya lemah tapi jiwanya terang. Maka tugas manusia bukan menolak tubuh, tapi menuntunnya agar sejalan dengan cahaya hati.
Setiap kali kita makan dengan syukur, bekerja dengan niat baik, atau menolong sesama dengan tulus — tubuh dan jiwa sedang bersatu dalam ibadah.
Dunia Kekal yang Tak Terlihat Tapi Dirasakan
Dalam Maqāṣid al-Falāsifah, Al-Ghazālī menulis lagi:
“العقل يدرك الدنيا بالحواس، والروح تدرك الآخرة بالبصيرة، ومن جمعهما أبصر الحقّ في كلّ شيء.”
“Akal memahami dunia dengan pancaindra, ruh memahami akhirat dengan mata batin. Siapa yang menggabungkannya, akan melihat kebenaran dalam segala hal.”
Kehidupan yang seimbang bukan menolak dunia, melainkan memandangnya dengan dua mata — mata lahir dan mata batin. Dunia bukan musuh akhirat, melainkan ladang untuk menanam benih menuju keabadian.
Manusia yang bijak adalah mereka yang berjalan di bumi dengan kakinya, tapi menatap langit dengan hatinya. Ia bekerja keras di dunia, namun tak pernah lupa bahwa semua ini hanyalah bagian dari perjalanan pulang.
Hidup di Antara Dua Dunia: Seni Menjadi Utuh
Al-Ghazālī menulis dengan kelembutan yang menggetarkan:
“من جمع بين الدنيا والآخرة بقلبٍ واحد، نجا من الغرور، وسار في النور.”
“Barang siapa mampu menyatukan dunia dan akhirat dalam satu hati, ia selamat dari tipu daya dan berjalan dalam cahaya.”
Dunia fana bukan halangan untuk menuju kekal, justru menjadi jalannya. Karena hanya melalui kehilangan kita mengenal makna cinta, dan hanya melalui waktu kita belajar menghargai keabadian.
Menjadi manusia berarti hidup dalam ketegangan yang indah antara dua dunia. Kita menanam di bumi tapi berharap panen di langit. Kita menangis di dunia tapi tersenyum di hadapan Tuhan.
Maka, berjalanlah dengan dua kaki: satu di tanah, satu di cahaya.
Pegang dunia di tangan, tapi letakkan akhirat di hati. Karena hanya dengan itu manusia bisa menjadi utuh — makhluk fana yang menuju kekekalan dengan kesadaran penuh.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
