Khazanah
Beranda » Berita » Rahasia Kausalitas: Mengapa Semua Terjadi, tapi Tak Ada yang Berdiri Sendiri

Rahasia Kausalitas: Mengapa Semua Terjadi, tapi Tak Ada yang Berdiri Sendiri

Ilustrasi filsafat kausalitas Al-Ghazālī tentang hubungan sebab dan kehendak Tuhan.
Gambaran simbolik hubungan sebab-akibat dalam pandangan Al-Ghazālī: semua saling terkait dan tunduk pada kehendak Ilahi.

Surau.co. Pernahkah kamu memikirkan mengapa sesuatu terjadi? Mengapa air bisa mendidih ketika dipanaskan, mengapa matahari terbit setiap pagi, atau mengapa seseorang datang ke hidupmu pada waktu tertentu? Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini menyentuh inti dari filsafat kausalitas — sebuah topik yang dibahas dengan mendalam oleh Imam Abu Hamid al-Ghazālī dalam Kitab Maqāṣid al-Falāsifah.

Dalam pandangan Al-Ghazālī, sebab dan akibat bukanlah dua hal yang berdiri sendiri. Api tidak membakar karena kekuatannya sendiri, air tidak mengalir karena kehendaknya sendiri, dan bahkan kehidupan tidak bergerak tanpa izin dari sumbernya. Segala sesuatu terjadi karena kehendak dan keteraturan Ilahi, bukan karena kekuatan benda-benda itu sendiri.

Sebab Tidak Punya Kuasa Tanpa Sang Pencipta

Al-Ghazālī menulis dalam Maqāṣid al-Falāsifah:

“السبب لا يخلق المسبّب، بل الله يخلقه عنده لا به.”
“Sebab tidak menciptakan akibat; Allah-lah yang menciptakan akibat bersamaan dengan sebab itu, bukan karena sebab itu.”

Kutipan ini menjadi dasar dari konsep kausalitas metafisik yang diuraikan Al-Ghazālī. Ia tidak menolak hukum alam, tetapi mengajarkan bahwa hukum alam hanyalah kebiasaan yang Tuhan ciptakan agar dunia berjalan dengan tertib.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Kita melihat api membakar kapas, dan kita menyimpulkan “api menyebabkan terbakar.” Namun menurut Al-Ghazālī, api hanyalah tirai. Di balik tirai itu, ada tangan Ilahi yang menyalakan peristiwa. Tanpa kehendak-Nya, api bisa menyentuh kapas tanpa menghanguskan apa pun — sebagaimana yang terjadi pada kisah Nabi Ibrahim:

“قُلْنَا يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ” (QS. Al-Anbiyā’: 69)
“Kami berfirman: ‘Hai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.’”

Kebakaran, panas, dan nyala adalah hukum yang tunduk, bukan berkuasa. Di balik semua sebab, ada kehendak yang mutlak.

Keteraturan Alam Bukan Bukti Kemandirian, Tapi Kepatuhan

Dalam keseharian, manusia sering menganggap alam berjalan otomatis. Bumi berputar, musim berganti, waktu bergerak — seolah tanpa pengawasan. Padahal, keteraturan itu adalah bentuk kepatuhan.

Al-Ghazālī menulis:

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

“النظام الكوني طاعةٌ مستمرةٌ لأمر الله، لا استقلال فيها لشيءٍ من الموجودات.”
“Tatanan kosmos adalah ketaatan yang terus-menerus terhadap perintah Allah; tidak ada satu pun makhluk yang berdiri sendiri di dalamnya.”

Setiap gerak di alam semesta adalah kepatuhan. Angin tidak bertiup karena hukum fisika, tetapi karena diperintah untuk bertiup. Gunung berdiri tegak bukan karena kekuatannya, tetapi karena dijaga oleh kehendak yang lebih tinggi.

Fenomena ini bisa kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Kadang manusia merasa sudah mengatur segalanya, tapi hal kecil — seperti hujan yang datang lebih awal, atau kejadian tak terduga — mengingatkan bahwa kendali kita hanyalah sebagian kecil dari cerita besar ciptaan.

Mengapa Manusia Perlu Menyadari Rahasia Kausalitas

Dalam filsafat Al-Ghazālī, memahami sebab akibat bukan sekadar teori, tapi jalan menuju kerendahan hati. Ia menulis:

“من عرف أن الأسباب لا تعمل بذاتها، علم أن التوكل هو عين العقل.”
“Barang siapa memahami bahwa sebab-sebab tidak bekerja dengan sendirinya, maka ia tahu bahwa tawakal adalah puncak dari akal.”

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Tawakal bukan pasrah tanpa usaha, melainkan pengakuan bahwa hasil tidak pernah sepenuhnya berada di tangan kita. Kita tetap bekerja, berpikir, dan berjuang — tapi dengan kesadaran bahwa yang menumbuhkan hasil hanyalah Tuhan.

Seorang petani menanam benih, tapi yang membuatnya tumbuh adalah kehendak Ilahi. Seorang penulis menulis kalimat, tapi yang memberi makna dalam hati pembaca adalah Tuhan. Bahkan napas yang keluar dari paru-paru pun bukan hasil kendali penuh manusia, tapi bagian dari sistem ketaatan tubuh kepada aturan Ilahi.

Kausalitas dan Keindahan Takdir

Salah satu sisi paling lembut dari filsafat kausalitas Al-Ghazālī adalah pandangannya tentang takdir. Ia menulis:

“الأقدار ليست قيدًا للعقل، بل مرآةٌ يرى فيها العاقل حكمة الله في ترتيب الأسباب.”
“Takdir bukanlah belenggu bagi akal, melainkan cermin tempat orang berakal melihat kebijaksanaan Allah dalam menata sebab-sebab.”

Takdir tidak berarti manusia tidak punya kebebasan. Justru, dalam kerangka sebab dan akibat itulah manusia diberi ruang untuk memilih, merasakan, dan belajar. Tuhan menulis takdir bukan untuk meniadakan kehendak, tetapi untuk menuntun kehendak agar tetap dalam orbit cahaya-Nya.

Fenomena kecil seperti keterlambatan, pertemuan tak terduga, atau perubahan rencana — semuanya bukan kebetulan. Ada pola yang lebih halus di baliknya. Al-Ghazālī mengajak kita untuk berhenti menganggap dunia sebagai mesin, dan mulai melihatnya sebagai ayat-ayat yang hidup.

Melihat Alam sebagai Doa yang Berjalan

Jika setiap sebab adalah kepatuhan, maka seluruh alam sejatinya sedang berdoa. Setiap gerak daun, hembusan angin, dan detak jantung adalah bentuk dzikir yang tidak terdengar.

Al-Qur’an menyinggung hal ini dengan indah:

“وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَٰكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ” (QS. Al-Isrā’: 44)
“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak memahami tasbih mereka.”

Ketika kita menyadari rahasia kausalitas, dunia yang tampak biasa berubah menjadi tempat yang hidup dan penuh makna. Tidak ada daun yang gugur tanpa izin, tidak ada langkah yang tersesat tanpa arah.

Filsafat Al-Ghazālī bukan sekadar mengajarkan berpikir, tapi melatih cara memandang: bahwa dunia ini bukan kumpulan benda mati, melainkan orkestra yang bergerak di bawah irama kehendak Tuhan.

Penutup: Ketika Semua Terjadi, Tapi Tak Ada yang Berdiri Sendiri

Rahasia kausalitas mengajarkan kita bahwa tidak ada sesuatu pun yang benar-benar “berdiri sendiri.” Segala sesuatu bergantung pada yang lain, dan semua akhirnya bermuara pada-Nya.

Al-Ghazālī dengan lembut menunjukkan bahwa memahami sebab dan akibat bukan untuk menghilangkan misteri, tapi untuk mengenali Tuhan di balik setiap peristiwa.

Ketika manusia memahami ini, hidup menjadi tenang. Tidak ada lagi rasa sombong ketika berhasil, dan tidak ada putus asa ketika gagal — karena setiap kejadian adalah bagian dari rencana yang lebih besar.

Dan di titik itu, manusia akan tahu: semua terjadi bukan karena kebetulan, tetapi karena ada kasih yang mengatur dari balik segala sebab.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatiff Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement