SURAU.CO– Tokoh ini lebih dikenal dengan panggilan Abu Ishaq atau an-Nazzham. Nama sebenarnya ialah Ibrahim bin Sayyar bin Hani al-Bashri. An-Nazzham, boleh jadi, adalah nama yang orang lain berikan karena kepandaiannya menyusun kalimat-kalimat yang indah dan puitis. Para pengagum an-Nazzham selalu menganggapnya demikian.
An-Nazzham, lahir tahun 185 H/800 M, sejak muda sudah terkenal cerdas dan tangkas. Konon, pada suatu hari, ayahnya mengajak dia menemui Imam Khalil bin Ahmad untuk belajar tata bahasa dan sastra Arab. Dengan sebuah gelas di tangannya, Khalil ingin menguji an-Nazzham. “Coba kamu katakan bagaimana gelas ini?” katanya.
An-Nazzham balik bertanya, “Apakah Anda ingin aku akan mengatakan yang baik-baik saja atau yang buruknya juga?”
Guru ini mengatakan, “Yang baik-baiknya dulu.”
An-Nazzham kemudian menjawab, “Turika al-qadza wa la taqbal al-adza, wa la tastur ma wara-aha” (Ia memperlihatkan kepada Anda sebagai sesuatu yang kotor, tetapi ia tak mudah terkena barang yang kotor, ia kasat mata).
“Sekarang yang jeleknya,” kata Khalil. An-Nazzham mengatakan, “Yusri’ ilaiha al-kasr wa la taqbal al-jabr” (Ia mudah pecah dan tidak bisa ditambal). Mendengar jawaban-jawaban itu, Khalil merasa sangat kagum.
An-Nazzham belajar ilmu kalam kepada Abu Hudzail al-Allaf (135–236 H/753–850 M). Ia mempelajari ilmu ini secara luas, mendalam, komprehensif, dan melibatkan berbagai aliran pemikiran, antara lain Mu’tazilah, para filsuf aliran Naturalism, aliran Teologis, dan aliran Manawiyah (Manichainisme). Dengan cara studi komparatif ini, an-Nazzham akhirnya mampu menghasilkan pemikiran sendiri yang orisinal.
Kecerdasan an-Nazzham
An-Nazzham terkenal sangat lihai dalam berdebat. Ia seringkali dapat mematahkan argumentasi lawan-lawannya dengan mudah. Sebuah sumber mengatakan bahwa pada suatu hari, Shalih bin Abdul Quddus mendapat musibah karena anaknya meninggal dunia. Abu Hudzail al-Allaf dan an-Nazzham melayatnya. Ketika Abu Hudzail melihat Shalih kelihatan sangat terguncang, ia mengatakan,
“Aku kira, tidak ada alasan bagimu untuk bersedih hati, selama orang-orang sekitarmu masih tumbuh seperti tanaman.”
Mendengar nasihat itu, Shalih mengatakan,
“Aku benar-benar sedih, karena anakku itu belum sempat membaca buku Asy-Syukuk (skeptis).”
Saat Abu Hudzail menanyakan buku tersebut, Shalih mengatakan,
“Buku itu adalah karanganku. Siapa pun yang membacanya, pasti akan menjadi ragu terhadap apa yang telah terjadi. Ia mengira hal itu tidak pernah terjadi. Kemudian, apa yang akan terjadi akan ia anggap sudah terjadi.”
An-Nazzham menimpali, “Kalau begitu, Anda tentu ragu terhadap kematian anakmu. Aku harap, dia tidak mati. Kemudian, Anda juga tentu meragukan, apakah anakmu telah membaca buku Anda tersebut atau belum.” Mendengar ucapan an-Nazzham ini, Shalih diam saja.
Pemikiran an-Nazzham
An-Nazzham adalah guru dan pendiri aliran An-Nazzhamiyyah, sebuah aliran teologi yang diambil dari namanya sendiri. Pikiran-pikiran dan pendapatnya sangat orisinil. Misalnya, ia mengatakan bahwa Allah Swt. tidak bisa disifati “Berkuasa” atas segala hal yang buruk atau yang jahat. Hal-hal ini tidak dalam kekuasaan Tuhan. Selain itu, ia juga menolak konsep al-jauhar al-fard (atom) sebagai sesuatu yang tidak dapat terbagi. Ia berpendapat bahwa al-jauhar adalah kumpulan aradh (atribut/sifat).
Pendapatnya yang lain adalah bahwa penciptaan Tuhan atas alam adalah sekaligus (tidak secara bertahap). Mukjizat al-Qur’an hanyalah terjadi pada masalah berita-berita gaib. Dan jika dikatakan bahwa al-Qur’an tidak dapat ditiru oleh manusia, maka hal itu karena Allah Swt. meniadakan atau memalingkan para ahli bahasa Arab untuk bisa menandinginya. Andaikata tidak begitu, niscaya mereka bisa melakukannya.
Selanjutnya, an-Nazzham mengatakan bahwa mengetahui Tuhan adalah keharusan akal. Dengan kata lain, akal secara esensial pasti dapat mengetahui Tuhan, meskipun tanpa kehadiran agama sekalipun. Ijma’ (konsensus) dan qiyas (analogi), menurut an-Nazzham, tidak dapat menjadi dasar hukum. Menurut an-Nazzham, qadha’ (pengulangan) shalat tidak ada. Perceraian yang terucapkan dalam bahasa kiasan, tidak sah, meskipun dengan niat. Dan ia tidak memperbolehkan shalat Tarawih.
Karya-Karya an-Nazzham
An-Nazzham menulis sejumlah buku. Antara lain, An-Nukat. Buku ini membicarakan penolakannya terhadap argumen ijma’. Melalui buku ini, ia mengkritik para sahabat Nabi Saw. yang ia katakannya sebagai orang-orang yang sangat fanatik kesukuan.
Al-Khayyath, dalam bukunya Al-Intishar, mengatakan,
“Beberapa temanku memberitahukan bahwa menjelang kematiannya, Ibrahim bin Sayyar an-Nazzham, sempat berdoa, ‘Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa aku tidak main-main dalam membela ‘ketauhidan-Mu’ atau aku tidak bermazhab kepada siapa pun, maka hal itu justru karena aku ingin mengesakan-Mu. Andai kata ada hal-hal yang bertentangan dengan tauhid, maka aku sama sekali tidak terlibat. Ya Allah, jika Engkau Maha Tahu bahwa aku demikian, maka ampunilah dosa-dosaku dan mudahkan aku dalam sekarat maut ini.'”
Sesudah itu, ia meninggal dunia, tahun 221 H/835 M.(St.Diyar)
Referensi : Abdullah Musthafa Al-Maraghi, Ensiklopedia Lengkap Ulama Ushul Fiqh Sepanjang Masa, 2020.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
