Khazanah
Beranda » Berita » Cahaya Akal Aktif: Di Mana Tuhan Menyentuh Pikiran Manusia

Cahaya Akal Aktif: Di Mana Tuhan Menyentuh Pikiran Manusia

Cahaya akal aktif menggambarkan sentuhan Ilahi pada pikiran manusia menurut filsafat Al-Ghazālī.
Ilustrasi simbolik hubungan antara akal manusia dan cahaya Ilahi yang menuntunnya pada pengetahuan sejati.

Surau.co. Pernahkah kamu merasa tiba-tiba memahami sesuatu — seolah ada cahaya kecil yang menyala di dalam kepala? Dalam sekejap, hal yang rumit menjadi terang. Itulah momen yang oleh para filsuf disebut sebagai sentuhan akal aktif, dan oleh Imam Abu Hamid al-Ghazālī dalam Kitab Maqāṣid al-Falāsifah disebut sebagai tempat di mana Tuhan menyentuh pikiran manusia.

Bagi Al-Ghazālī, akal aktif bukan sekadar bagian dari otak yang berpikir, melainkan jembatan antara pengetahuan manusia dan cahaya Ilahi. Ia adalah pancaran dari sumber kebenaran, yang ketika disentuh oleh kesucian hati, mampu menyingkap tabir pengetahuan sejati.

Ketika Cahaya Ilahi Menyentuh Akal Manusia

Dalam Maqāṣid al-Falāsifah, Al-Ghazālī menulis:

“العقل الفعّال نورٌ من أنوار الله، يُشرق على النفس فتدرك حقائق الأشياء كما هي.”
“Akal aktif adalah cahaya dari cahaya-cahaya Allah, yang memancar ke dalam jiwa hingga ia dapat memahami hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya.”

Cahaya akal aktif bukanlah hasil dari belajar semata. Ia datang sebagai pancaran dari Tuhan kepada jiwa yang siap menerimanya. Oleh karena itu, seseorang bisa memiliki banyak ilmu, tapi tetap gelap dalam makna — sebab cahaya belum menyentuhnya.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Dalam kehidupan modern, kita sering menemukan orang yang tahu banyak tapi kehilangan arah. Pengetahuannya luas, namun tidak menuntunnya pada kebenaran. Al-Ghazālī ingin mengingatkan: ilmu sejati bukan hanya hasil berpikir keras, melainkan hasil berpikir dengan hati yang bersih.

Akal Bukan Musuh Iman, Tapi Jalannya

Filsafat akal sering disalahpahami seolah menyingkirkan peran Tuhan. Padahal, bagi Al-Ghazālī, akal justru adalah sarana untuk mengenali Tuhan dengan lebih dalam. Ia menulis:

“العقل دليل الإيمان، فمن أطفأ نوره عاش في ظلمة الجهل وإن كان من العلماء.”
“Akal adalah penuntun iman; siapa yang memadamkan cahayanya, hidupnya akan gelap dalam kebodohan meski ia tampak berilmu.”

Akal dan iman bukan dua kutub yang bertentangan. Iman tanpa akal adalah kepercayaan buta, sementara akal tanpa iman adalah kesombongan kering. Keduanya harus berpadu agar manusia bisa melihat dunia dengan jernih.

Dalam kehidupan sehari-hari, keseimbangan ini bisa dirasakan saat kita dihadapkan pada pilihan moral. Misalnya, ketika hati ingin marah tapi akal menuntun untuk sabar, di sanalah dua cahaya bertemu. Akal menjaga arah, sementara iman memberi kekuatan untuk melangkah.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Pikiran yang Tersucikan Menjadi Cermin Kebenaran

Menurut Al-Ghazālī, cahaya akal aktif tidak akan masuk ke dalam jiwa yang kotor oleh keserakahan dan kesombongan. Ia menulis dengan keindahan yang khas:

“النفس الكدرة لا تعكس أنوار العقل، كما لا يعكس الماء العكر صورة السماء.”
“Jiwa yang keruh tidak dapat memantulkan cahaya akal, sebagaimana air yang keruh tak mampu memantulkan langit.”

Kutipan ini menjadi pelajaran mendalam tentang pentingnya menyucikan batin. Dalam filsafat Al-Ghazālī, pengetahuan tidak bisa dicapai hanya dengan membaca, tetapi dengan menjadi bersih.

Orang yang jujur, sabar, dan ikhlas akan memiliki pikiran yang jernih. Dalam kejernihan itu, cahaya pengetahuan turun dengan mudah. Sementara orang yang hatinya penuh kebencian, meski cerdas sekalipun, hanya akan melihat kabut dalam pikirannya.

Pengetahuan sebagai Bentuk Dzikir

Salah satu pandangan paling indah dari Al-Ghazālī adalah bahwa berpikir itu sendiri adalah bentuk ibadah. Ia berkata:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

“التفكر عبادة العقول، وبه تتصل النفوس بالعقل الفعّال، فيفيض عليها من أنواره.”
“Berpikir adalah ibadahnya akal; dengannya jiwa terhubung dengan akal aktif, lalu mengalir ke dalamnya cahaya pengetahuan.”

Merenung tentang hidup, tentang alam, bahkan tentang diri sendiri — semuanya adalah dzikir yang menggunakan akal. Karena itu, manusia tidak diciptakan untuk sekadar percaya buta, tapi untuk mengetahui dengan cinta.

Dalam Al-Qur’an, Allah berulang kali menyeru:

“أَفَلَا تَعْقِلُونَ” (Apakah kamu tidak berpikir?)
(QS. Al-Baqarah: 44)

Ayat ini bukan sekadar perintah intelektual, tapi panggilan spiritual. Berpikir adalah cara jiwa menatap wajah Tuhan melalui jendela ciptaan-Nya.

Akal Aktif: Antara Manusia dan Langit

Bagi Al-Ghazālī, akal aktif adalah “malaikat pengetahuan” yang menjadi penghubung antara Tuhan dan manusia. Ia bukan entitas fisik, melainkan tingkat kesadaran yang tinggi — tempat akal manusia berjumpa dengan cahaya Tuhan.

“بين الإنسان وربّه عقلٌ فعّال، من عرفه عرف طريق السماء.”
“Antara manusia dan Tuhannya ada akal aktif; siapa yang mengenalnya, mengenal jalan menuju langit.”

Kutipan ini menyiratkan bahwa manusia tidak terputus dari langit. Setiap kali ia berpikir dengan hati yang suci, ia sedang menapaki tangga menuju pengetahuan Ilahi.

Fenomena ini terasa dalam kehidupan spiritual: ketika seseorang membaca ayat-ayat Tuhan dan tiba-tiba tersentuh hatinya, itu bukan sekadar proses logis — melainkan momen di mana akal aktif bekerja, menyingkap makna yang sebelumnya tersembunyi.

Pengetahuan yang Membawa Kedekatan

Al-Ghazālī menutup pandangan tentang akal aktif dengan kalimat yang penuh cahaya:

“غاية العقل أن يعرف الله، فإذا عرفه سكن في نوره، وانتهت إليه رحلة العلم.”
“Tujuan akhir akal adalah mengenal Allah; ketika ia telah mengenal-Nya, ia berdiam dalam cahaya-Nya, dan berakhirlah perjalanan ilmu.”

Pengetahuan sejati bukan tentang menguasai, tetapi tentang mendekat. Ketika akal menyadari sumber cahayanya, maka ia berhenti menjadi sombong. Ia tidak lagi mencari untuk menang, tapi untuk memahami.

Maka, belajar dan berpikir adalah bentuk cinta — cinta yang berusaha mendekati asal cahaya. Dalam diri manusia, akal adalah obor, dan dalam obor itu, Tuhan sedang berbicara lewat cahaya.

Penutup: Di Mana Tuhan Menyentuh Pikiran

Cahaya akal aktif bukan teori yang jauh di awan. Ia hadir dalam setiap kilasan pemahaman, dalam setiap keindahan yang kita pahami dengan hati. Ia adalah tempat di mana Tuhan menyentuh pikiran manusia, agar manusia mengingat siapa sumber segala cahaya.

Ketika akal berpikir, hati mencinta, dan keduanya bersujud kepada kebenaran — di situlah ilmu menjadi ibadah, dan berpikir menjadi doa.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi BEdoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement