Khazanah
Beranda » Berita » Raga Hanyalah Tirai: Tentang Hubungan Jiwa dan Tubuh

Raga Hanyalah Tirai: Tentang Hubungan Jiwa dan Tubuh

Ilustrasi hubungan antara jiwa dan tubuh dalam filsafat Islam menurut Al-Ghazālī.
Visualisasi hubungan antara tubuh dan jiwa yang harmonis; tubuh sebagai wadah, jiwa sebagai cahaya kehidupan.

Surau.co. Ada saat-saat ketika tubuh terasa letih, tapi jiwa tetap ingin berjalan. Ada pula saatnya tubuh tampak segar, namun jiwa seakan terbaring diam. Dari sinilah filsafat jiwa dan tubuh menjadi renungan abadi—sebagaimana dibahas dengan indah oleh Imam Abu Hamid al-Ghazālī dalam Kitab Maqāṣid al-Falāsifah.

Menurut Al-Ghazālī, hubungan antara jiwa dan tubuh tidak sesederhana antara pengendara dan kendaraannya. Ia lebih halus dari itu. Jiwa bukan sekadar penumpang tubuh, dan tubuh bukan sekadar wadah kosong. Keduanya saling memantulkan makna, seperti cahaya yang memantul di atas air: tampak satu, tapi sejatinya berbeda.

Filsafat jiwa dan tubuh dalam pandangan Al-Ghazālī mengajarkan bahwa kehidupan manusia adalah dialog terus-menerus antara yang fana dan yang abadi, antara tanah dan cahaya.

Tubuh Sebagai Bayangan Jiwa

Dalam Maqāṣid al-Falāsifah, Al-Ghazālī menulis dengan kehalusan yang memikat:

“الجسد آلة النفس، به تعمل في عالم الحس، كما تعمل الملائكة في عالم الغيب.”
“Tubuh adalah alat bagi jiwa, dengannya jiwa bekerja di dunia indera, sebagaimana malaikat bekerja di alam gaib.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Tubuh, dalam pandangan ini, bukanlah penjara, melainkan alat bagi jiwa untuk mengenali dirinya sendiri. Jiwa memerlukan tubuh sebagaimana pena membutuhkan tangan untuk menulis. Tanpa tubuh, pengalaman tidak akan lahir; tanpa jiwa, tubuh hanya benda tak bernyawa.

Fenomena sehari-hari membuktikan hal ini: tubuh mungkin berada di rumah, tapi pikiran bisa menjelajah jauh; tubuh bisa tersenyum, tapi hati sedang menangis. Jiwa dan tubuh seolah menari bersama—kadang selaras, kadang bertubrukan.

Filsafat ini membuat kita lebih sadar: menjaga tubuh bukan sekadar urusan fisik, tapi juga spiritual. Karena melalui tubuhlah jiwa mengungkapkan doanya, cintanya, bahkan penderitaannya.

Ketika Jiwa Menggerakkan Tubuh, dan Tubuh Menyadarkan Jiwa

Al-Ghazālī berkata:

“النفس هي الآمرة والمحرّكة، والجسد هو المطيع والمنفّذ، ومن خالفهما تاه عن الحكمة.”
“Jiwa adalah yang memerintah dan menggerakkan, sedangkan tubuh adalah yang taat dan melaksanakan. Siapa yang memisahkan keduanya, ia akan tersesat dari hikmah.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Kita sering berpikir bahwa tubuh dan jiwa bekerja terpisah, padahal keduanya saling menyalakan. Ketika tubuh lelah, jiwa belajar sabar; ketika jiwa gundah, tubuh menjadi cermin yang memantulkan keresahan itu.

Dalam kehidupan modern, banyak orang merawat tubuhnya dengan disiplin, tapi membiarkan jiwanya kelaparan. Padahal, menurut Al-Ghazālī, keseimbangan antara keduanya adalah akar dari kebahagiaan. Tubuh adalah kebun tempat jiwa tumbuh; jika tanahnya keras, bunga pun tak akan mekar.

Cahaya Jiwa dalam Bayangan Tubuh

Al-Ghazālī menulis lagi dalam kalimat yang bergetar halus:

“النور الذي في النفس لا يُرى إلا من خلال الجسد، كما لا يُرى ضوء السراج إلا بزجاجته.”
“Cahaya yang ada dalam jiwa tidak akan terlihat kecuali melalui tubuh, sebagaimana cahaya lampu tidak tampak tanpa kacanya.”

Tubuh adalah wadah yang memantulkan cahaya batin. Setiap tindakan manusia—senyum, ucapan, tatapan—adalah cerminan dari keadaan jiwanya. Karena itu, ibadah dalam Islam tidak hanya melibatkan hati, tetapi juga tubuh: sujud, rukuk, sedekah, semua adalah gerak tubuh yang menghidupkan cahaya dalam diri.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Allah berfirman:

“قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا” (QS. Asy-Syams: 9–10)
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”

Menyucikan jiwa tidak berarti menolak tubuh, tetapi menundukkan tubuh agar menjadi jembatan menuju kesucian. Jiwa bersinar ketika tubuh tunduk kepada kebaikan, dan tubuh menjadi tenang ketika jiwa damai.

Tubuh: Bayangan yang Sementara, Jiwa: Hakikat yang Abadi

Dalam bagian lain Maqāṣid al-Falāsifah, Al-Ghazālī menulis:

“الروح باقيةٌ لا تفنى، والجسد فانٍ لا يبقى، فاعمل لما يبقى، ولا تُغْرَنّك الصورة الفانية.”
“Ruh itu abadi, tidak binasa; sedangkan tubuh fana, tidak kekal. Maka bekerjalah untuk yang abadi, dan jangan terpedaya oleh rupa yang sementara.”

Kutipan ini menegaskan pandangan Al-Ghazālī bahwa raga hanyalah tirai, bukan inti dari diri. Ia adalah pakaian sementara yang suatu saat akan ditanggalkan. Namun justru melalui pakaian inilah kita mengenal diri sejati.

Maka hidup yang bijak adalah hidup yang menghormati tubuh tanpa menyembahnya, dan menyucikan jiwa tanpa melupakannya.

Dalam keseharian, hal ini berarti menyeimbangkan dua kebutuhan: makan dan dzikir, tidur dan tafakur, bekerja dan berdoa. Karena tubuh dan jiwa seperti dua sayap burung—jika salah satunya patah, manusia tak akan bisa terbang.

Menemukan Diri di Balik Tirai Raga

Sering kali manusia baru menyadari keberadaan jiwanya ketika tubuhnya sakit, atau ketika kehilangan seseorang yang dicintai. Saat itu, barulah ia sadar bahwa tubuh hanyalah tirai—dan di baliknya ada sesuatu yang lebih hidup dari kehidupan itu sendiri.

Al-Ghazālī mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati lahir ketika manusia memandang tubuh sebagai ladang bagi jiwa untuk menanam kebaikan.

Ketika kita tersenyum kepada orang lain, tubuh kita sedang bekerja; tapi pada saat yang sama, jiwa sedang menebar cahaya. Ketika kita menahan amarah, tubuh mengekang diri, namun jiwa sedang belajar menjadi terang.

Penutup: Jiwa yang Menyalakan Tubuh

Hidup adalah gerak dua arah antara jiwa dan tubuh. Tubuh memberi pengalaman, jiwa memberi makna.

Sebagaimana Al-Ghazālī menulis dengan nada puitis di akhir pembahasan tentang ruh:

“ليس الجسد أنا، ولا النفس خارجي، بل أنا بينهما نورٌ يشهد الله.”
“Aku bukan tubuhku, dan bukan pula jiwaku semata; aku adalah cahaya di antara keduanya yang menyaksikan Allah.”

Maka, manusia sejati bukan yang kuat raganya atau tenang jiwanya, tetapi yang mampu menjadikan keduanya alat untuk mengenal Tuhan. Karena raga hanyalah tirai, dan jiwa adalah rahasia di baliknya.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement