Khazanah
Beranda » Berita » Ketika Jiwa Turun dari Cahaya: Tentang Nafas Pertama Kehidupan

Ketika Jiwa Turun dari Cahaya: Tentang Nafas Pertama Kehidupan

Cahaya turun ke tubuh manusia sebagai simbol jiwa dan kehidupan pertama.
Ilustrasi hubungan antara alam cahaya dan kehidupan manusia; jiwa sebagai pancaran ruh Ilahi yang hadir di dunia.

Surau.co. Ada sesuatu yang sangat lembut dalam diri manusia yang tidak bisa dijelaskan dengan logika semata: jiwa. Ia datang dari tempat yang tidak kita ingat, namun seluruh rindu kita selalu menuju ke sana. Dalam Kitab Maqāṣid al-Falāsifah, Imam Abu Hamid al-Ghazālī berbicara tentang asal mula jiwa dengan cara yang begitu indah—menggabungkan rasionalitas filsafat dan kelembutan spiritualitas.

Filsafat jiwa, sebagaimana diuraikan Al-Ghazālī, bukan sekadar teori tentang “apa itu hidup.” Ia adalah percakapan batin tentang dari mana kita datang, mengapa kita hidup, dan ke mana akhirnya kita kembali. Dalam setiap napas, kata Al-Ghazālī, ada jejak cahaya dari tempat asalnya.

Asal Jiwa: Dari Cahaya ke Dunia

Al-Ghazālī menulis dalam Maqāṣid al-Falāsifah:

“النفس جوهرٌ روحانيٌّ من عالم النور، سُجِنت في الجسد لتعرف طريقها إلى الأصل.”
“Jiwa adalah substansi ruhani dari alam cahaya, yang dikurung dalam jasad agar ia mengenali jalan pulangnya kepada asalnya.”

Kalimat ini membuka pemahaman mendalam bahwa kehidupan di dunia bukanlah tempat utama jiwa, melainkan tempat belajar mengenali arah pulang. Jiwa yang berasal dari cahaya turun ke dunia bukan untuk terperangkap, tetapi untuk menemukan makna hidup melalui pengalaman, cinta, kesedihan, dan pencarian.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Fenomena sehari-hari—seperti rasa rindu tanpa sebab, tangisan tanpa alasan, atau kekosongan di tengah kesibukan—bisa jadi adalah tanda-tanda bahwa jiwa sedang mengenang rumah asalnya.

Dalam konteks ini, filsafat jiwa bukan hal asing, melainkan sangat manusiawi. Sebab setiap orang, entah ia ilmuwan, penyair, atau orang biasa, pasti pernah merasa: “Aku berasal dari sesuatu yang lebih tinggi dari ini.”

Kehidupan sebagai Perjalanan Turun dan Naik

Al-Ghazālī menjelaskan bahwa dunia bukanlah penjara abadi, melainkan jalan tengah.

“نزول النفس إلى الجسد ابتلاءٌ لا عذاب، وسعيها للعودة عبادةٌ لا هروب.”
“Turunnya jiwa ke dalam tubuh adalah ujian, bukan siksaan; dan usahanya untuk kembali adalah ibadah, bukan pelarian.”

Setiap manusia sedang melakukan perjalanan spiritual—dari cahaya menuju bumi, lalu kembali ke cahaya. Dalam perjalanan itu, jiwa mengalami penyempurnaan.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Al-Qur’an pun mengisyaratkan hal yang sama:

“يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً” (QS. Al-Fajr: 27–28)
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai.”

Ayat ini seolah menjawab rindu paling purba dalam diri manusia: keinginan untuk kembali.

Setiap kali kita menenangkan diri, berzikir, atau merenung di tengah malam yang hening, sebenarnya jiwa sedang mengingat asalnya. Ia tahu bahwa dunia hanyalah jeda di antara dua cahaya: cahaya asal dan cahaya akhir.

Nafas Pertama dan Kesadaran Hidup

Ketika manusia lahir dan menarik napas pertamanya, menurut Al-Ghazālī, yang sesungguhnya hidup bukanlah daging atau darahnya, tetapi cahayanya.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

“الحياة ليست حركة الجسد، بل إشراق النفس فيه، فإذا غابت النفس، بقي الجسد صورةً بلا معنى.”
“Kehidupan bukanlah gerak tubuh, melainkan pancaran jiwa di dalamnya. Ketika jiwa pergi, tubuh hanya tinggal bentuk tanpa makna.”

Filsafat jiwa ini memberi arah baru pada cara kita memandang kehidupan. Manusia bukan sekadar makhluk biologis, tetapi entitas ruhani yang sedang menjalani fase material.

Itulah sebabnya mengapa seseorang bisa hidup secara fisik, tapi mati secara batin. Karena jiwa yang redup tidak lagi menyinari tubuhnya. Dan sebaliknya, ada orang sederhana yang hidupnya penuh cahaya, karena jiwanya terhubung dengan sumber asal.

Ketika Dunia Menjadi Cermin Jiwa

Dunia, bagi Al-Ghazālī, bukan tempat yang harus ditinggalkan, tetapi cermin yang menampakkan keadaan jiwa.

“العالم مرآة النفس، يرى الإنسان فيه صفاءه أو كدره بحسب نظره.”
“Dunia adalah cermin bagi jiwa; manusia melihat di dalamnya kejernihan atau kekeruhannya sesuai dengan pandangannya.”

Jika hati kita keruh, dunia tampak gelap. Namun jika jiwa jernih, bahkan kesulitan pun tampak sebagai jalan rahmat.

Fenomena ini mudah kita rasakan. Saat hati gembira, semua tampak indah. Tapi ketika marah atau kecewa, segalanya terasa suram. Dunia tidak berubah—yang berubah hanyalah lensa jiwa kita.

Filsafat jiwa dalam Maqāṣid al-Falāsifah mengajak manusia untuk memperbaiki pandangan batinnya, bukan sekadar keadaan luar. Karena dunia ini hanya pantulan dari cermin di dalam diri.

Menemukan Kembali Nafas Cahaya

Filsafat jiwa bukan sekadar teori, melainkan ajakan untuk kembali bernapas dengan kesadaran. Ketika kita bernapas dengan penuh dzikir, kita sedang menghidupkan cahaya asal dalam diri.

Allah berfirman:

“وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي” (QS. Al-Hijr: 29)
“Dan Aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku.”

Ayat ini bukan hanya kisah tentang penciptaan Adam, tetapi tentang setiap jiwa manusia. Dalam diri kita ada tiupan yang sama—cahaya kecil dari sumber yang tak pernah padam.

Maka setiap kali hati terasa gelap, kembali bernapaslah dengan sadar. Sebab dalam setiap tarikan napas yang disertai dzikir, jiwa sedang mengingat rumahnya.

Penutup: Jiwa yang Turun untuk Mengenali Cahaya

Ketika jiwa turun dari cahaya, ia tidak kehilangan asalnya. Ia hanya sedang belajar mengenali bentuk-bentuk baru dari cinta: cinta dalam kehilangan, cinta dalam kerja, cinta dalam doa yang tak kunjung dijawab.

Al-Ghazālī melalui filsafat jiwanya mengajarkan bahwa hidup bukan sekadar untuk bertahan, tapi untuk mengenali kembali cahaya yang dulu kita bawa dari langit. Dan pada akhirnya, semua jalan akan kembali menuju sumbernya.

Seperti yang beliau isyaratkan dengan penuh kelembutan:

“من عرف نفسه، عرف أنه من نورٍ، ومن عرف نوره، لم يضل في ظلمة.”
“Barang siapa mengenali dirinya, ia tahu bahwa dirinya berasal dari cahaya; dan barang siapa mengenali cahayanya, ia tidak akan tersesat dalam kegelapan.”

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement