Surau.co. Ketika kita menatap langit malam yang penuh bintang, ada rasa diam yang sebenarnya tidak pernah benar-benar diam. Langit itu hidup, berputar, mengalir, dan mengajak hati manusia ikut menari bersamanya. Inilah inti dari pemikiran yang mengalir dari Kitab Maqāṣid al-Falāsifah karya Abu Hamid al-Ghazālī — sebuah karya yang bukan hanya menjelaskan filsafat, tetapi juga menghidupkan kesadaran filsafat kosmos dalam diri manusia.
Frasa kunci utama “filsafat kosmos” menjadi jantung dari tulisan ini. Sejak paragraf pertama, kita belajar bahwa filsafat kosmos bukanlah teori dingin tentang benda-benda langit, melainkan cermin dari gerak batin manusia — sebab menurut Al-Ghazālī, alam dan jiwa adalah dua lembar dari satu kitab Ilahi yang sama.
Langit yang Bergerak, Hati yang Berpikir
Al-Ghazālī menulis dalam Maqāṣid al-Falāsifah:
“السماء تجري بأمر الله لا باختيارها، كما يجري القلب في طاعة خالقه إذا صفا من كدر الشهوة.”
“Langit bergerak atas perintah Allah, bukan atas kehendaknya sendiri, sebagaimana hati berjalan dalam ketaatan kepada Sang Pencipta ketika ia telah jernih dari kekeruhan nafsu.”
Gerak kosmis yang diuraikan Al-Ghazālī tidak sekadar astronomis, tetapi spiritual. Langit bukan hanya benda-benda yang berputar di atas kepala kita — ia adalah simbol keteraturan, kepasrahan, dan kehendak Ilahi yang bekerja tanpa henti.
Filsafat kosmos yang dijabarkan Al-Ghazālī adalah upaya memahami hubungan antara makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (manusia). Di sini, gerak langit bukan sekadar rotasi bintang-bintang, tapi metafora tentang bagaimana hati manusia pun bergerak — mencari keseimbangan, makna, dan sumber cahayanya.
Cahaya Akal, Bayangan Jiwa
Dalam bagian lain, Al-Ghazālī menulis:
“النفس مرآة للعقل، والعقل نورٌ من نور الله، فمن أظلمت نفسه لم يرَ أنوار السماوات.”
“Jiwa adalah cermin bagi akal, dan akal adalah cahaya dari cahaya Allah. Barang siapa jiwanya gelap, ia takkan melihat cahaya langit.”
Ini adalah ajakan lembut untuk menyadari bahwa pengetahuan sejati bukan hanya datang dari observasi luar, tapi juga dari pembersihan batin. Dalam konteks modern, kita terlalu sering memisahkan ilmu dari jiwa. Padahal, Al-Ghazālī mengingatkan bahwa akal tanpa hati hanyalah obor yang tak menyala.
Ketika filsafat kosmos dipahami secara rohaniah, setiap gerak bintang menjadi ayat. Setiap rotasi bumi adalah dzikir yang sunyi. Kita, manusia, pun diajak ikut berdzikir — bukan dengan kata-kata semata, tapi dengan kesadaran yang berputar menuju asal cahaya.
Gerak Kosmos dan Gerak Takdir
Al-Ghazālī menggambarkan keteraturan semesta bukan sebagai hasil kebetulan, melainkan cerminan dari kehendak Tuhan:
“ليس في فلكٍ من الأفلاك حركةٌ إلا وفيها حكمةٌ إلهيةٌ دقيقة، لا يحيط بها إلا من شاهدها بقلبٍ يقظٍ.”
“Tiada satu pun gerak di antara lingkaran langit melainkan di dalamnya terkandung hikmah Ilahi yang halus, yang takkan dipahami kecuali oleh hati yang terjaga.”
Gerak kosmos mengajarkan kita tentang kepastian dan keteraturan, sementara gerak hati mengajarkan kerendahan dan kerelaan. Keduanya berpadu, seperti bumi yang berputar tanpa kita sadari, membawa kehidupan di setiap detiknya.
Hati manusia pun demikian — ia berputar, sering kali tanpa sadar, mengelilingi pusat yang tak terlihat: Tuhan. Setiap ujian, setiap kegelisahan, adalah bagian dari orbit itu.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
“كُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ” (QS. Yasin: 40)
“Masing-masing beredar pada garis edarnya.”
Ini bukan hanya tentang matahari dan bulan, tapi juga tentang kita — manusia yang terus beredar dalam orbit takdir dan kehendak Ilahi.
Jiwa yang Berputar: Refleksi Manusia di Tengah Semesta
Dalam Maqāṣid al-Falāsifah, Al-Ghazālī menulis pula:
“من عرف حركة السماء بعقله ولم يعرف حركة قلبه بروحه، فهو في ظلمةٍ وإن كان في علمٍ.”
“Barang siapa memahami gerak langit dengan akalnya namun tak memahami gerak hatinya dengan ruhnya, maka ia tetap dalam kegelapan, meski dalam ilmu.”
Kutipan ini terasa seperti teguran lembut bagi manusia modern yang sibuk memahami dunia, tetapi melupakan dirinya sendiri. Kita berlari dalam orbit ambisi, pekerjaan, dan rutinitas, namun lupa bahwa hati juga perlu arah.
Filsafat kosmos mengingatkan bahwa memahami alam berarti juga memahami dirimu sendiri. Langit dan hati bukan dua hal yang terpisah — keduanya tunduk pada satu hukum: keteraturan dan kehendak Allah.
Menemukan Ketenangan dalam Gerak
Ketika langit berputar, ia tidak pernah merasa kehilangan arah. Ia hanya bergerak sesuai porosnya. Begitu pula hati: jika ia mengenal porosnya — yaitu Allah — maka setiap geraknya menjadi ibadah.
Allah berfirman:
“أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ” (QS. Ar-Ra’d: 28)
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
Gerak yang tampak sibuk di luar, justru bisa melahirkan diam yang dalam di dalam.
Itulah paradoks indah yang ditunjukkan oleh Al-Ghazālī: di balik gerak semesta, ada ketenangan hakiki; di balik putaran hati, ada pusat yang tetap.
Dan mungkin, seperti langit yang setia berputar sejak awal penciptaan, hati kita pun sedang berputar menuju cahaya yang sama — hanya saja kadang kita lupa melihatnya.
Penutup: Ketika Langit Mengajarkan Pasrah
Filsafat kosmos bukan sekadar wacana rasional, tapi jalan untuk menyadari bahwa segala sesuatu di alam semesta — dari bintang hingga bisikan hati — tunduk kepada satu kehendak.
Al-Ghazālī tidak hanya menulis tentang gerak langit; ia menulis tentang gerak cinta, karena di balik setiap rotasi ada kerinduan. Langit rindu kepada Tuhannya, sebagaimana hati manusia rindu kepada asalnya.
Maka, dalam setiap malam yang tenang, ketika kita menatap langit yang berputar, biarlah hati pun ikut berputar — bukan dalam gelisah, tapi dalam dzikir.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
