Khazanah
Beranda » Berita » Tentang Yang Satu: Asal dari Segala Asal, Yang Tak Pernah Terbelah

Tentang Yang Satu: Asal dari Segala Asal, Yang Tak Pernah Terbelah

Ilustrasi keesaan wujud menurut pandangan Al-Ghazali
Lukisan digital bergaya realistik yang menggambarkan sinar keesaan memancar ke alam semesta, menandakan kesatuan wujud dalam pandangan Al-Ghazālī.

Surau.co.
Dalam Maqāṣid al-Falāsifah, Al-Ghazālī menguraikan sesuatu yang sangat lembut namun mendasar: realitas tidak berlapis-lapis sebagaimana tampak oleh mata manusia. Di balik segala bentuk, warna, dan perubahan yang silih berganti, sesungguhnya hanya ada satu keberadaan sejati. Ia menyebutnya Yang Satu — asal dari segala asal, yang tak pernah berbilang, tak terpecah, dan tak tersentuh oleh waktu.

Konsep ini bukan sekadar filsafat; ia adalah cermin bagi jiwa. Sebab manusia sering kali merasa terpisah — dari Tuhan, dari sesama, bahkan dari dirinya sendiri. Padahal, sebagaimana diajarkan Al-Ghazālī, seluruh perbedaan hanyalah permukaan dari satu lautan yang sama. Jika seseorang mau menengok lebih dalam, maka yang banyak akan luruh dalam yang satu.


Sekilas tentang Penulis Kitab: Abu Hamid al-Ghazālī

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazālī (w. 505 H / 1111 M), dikenal sebagai Hujjat al-Islām, lahir di Ṭūs, Persia (kini Iran). Ia menguasai teologi, hukum Islam, filsafat, dan tasawuf. Namun pada puncak popularitasnya di Universitas Nizāmiyyah Baghdad, ia justru mengalami krisis eksistensial yang mengguncang jiwanya.

Dari pengembaraan batin itulah lahir karya-karya agung seperti Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Tahāfut al-Falāsifah, dan Maqāṣid al-Falāsifah. Dalam Maqāṣid, Al-Ghazālī tidak menolak filsafat, melainkan menuntun manusia untuk mengenali sumber segala pengetahuan: Sang Pencipta yang Esa. Dengan demikian, kitab ini menjadi ruang refleksi antara akal dan iman, antara logika dan cinta.


Yang Satu: Sebab Tanpa Sebab, Cahaya Tanpa Bayangan

Al-Ghazālī menegaskan bahwa segala sesuatu di dunia bergantung pada satu wujud yang tidak bergantung pada apa pun. Dialah sebab pertama, asal dari segala keberadaan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

قال الغزالي:
«الأولُ لا علةَ له، وهو علةُ كلِّ موجودٍ سواه، وبه قِيامُ الأشياءِ كلِّها.»
Artinya: “Yang Pertama tidak memiliki sebab, namun Dialah sebab bagi seluruh yang ada; dengan-Nya semua hal berdiri dan berwujud.”

Manusia sering mencari penyebab di balik penyebab: dari api yang menyalakan panas hingga matahari yang memberi siang. Namun, di ujung segala pencarian, Al-Ghazālī mengingatkan bahwa akan ada satu titik tunggal yang tak bergantung pada apa pun. Dialah yang mengadakan segalanya tanpa diadakan.

Ketika akal berhenti di sana, hati mulai bekerja. Sebab hanya hati yang mampu memahami bahwa Yang Satu tidak bisa dijelaskan, melainkan dirasakan. Ia hadir dalam setiap keberadaan, seperti cahaya yang menerangi tanpa terlihat sumbernya. Dengan begitu, pencarian intelektual berubah menjadi perjalanan spiritual yang menuntun manusia pada kesadaran terdalam.


Dunia yang Banyak, Tapi Tak Pernah Terpisah

Kehidupan modern kerap membuat manusia merasa tercerai dari makna. Setiap hal tampak berlawanan: ilmu dan agama, kerja dan ibadah, tubuh dan ruh. Padahal, menurut Al-Ghazālī, segala perbedaan itu hanyalah ekspresi dari satu realitas yang sama.

قال:
«الكثرةُ مظاهرُ الواحد، فكلُّ ما ترى إنما هو صورةٌ مختلفةٌ من نورٍ واحد.»
Artinya: “Keragaman adalah penampakan dari Yang Satu; segala yang engkau lihat hanyalah bentuk-bentuk berbeda dari satu cahaya yang sama.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Kata-kata tersebut terasa sangat relevan saat ini. Di tengah arus perbedaan pandangan, keyakinan, dan pilihan hidup, Al-Ghazālī seolah berbisik: jangan biarkan perbedaan memecahmu. Sebaliknya, pahamilah bahwa di balik segala rupa, engkau dan yang lain berasal dari sumber yang sama.

Dengan menyadari hal itu, manusia akan lebih mudah menumbuhkan empati dan cinta. Sebab, mencintai yang lain berarti mengakui bagian dari dirinya sendiri.


Alam Sebagai Kitab Keesaan

Bagi Al-Ghazālī, alam semesta merupakan kitab terbuka tentang keesaan Tuhan. Dari rotasi bumi hingga tetes hujan yang jatuh, semua berjalan dalam keteraturan yang menandakan satu kehendak. Tidak ada yang kebetulan, karena setiap gerak menjadi bagian dari tarian tunggal semesta.

قال الغزالي:
«نظامُ العالمِ دليلٌ على وحدةِ المدبّر، إذ لا يُتصوَّر انتظامٌ من متعددِ الإرادات.»
Artinya: “Keteraturan alam menunjukkan kesatuan Sang Pengatur, sebab keteraturan tak mungkin lahir dari banyak kehendak yang berbeda.”

Selain itu, ayat Al-Qur’an juga menegaskan hal yang sama:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ
Artinya: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Dia Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” — (QS. ar-Ra‘d [13]: 16)

Dengan demikian, memahami alam berarti membaca tanda-tanda keesaan Tuhan. Melihat bunga mekar, mendengar ombak, bahkan merasakan kesedihan — semuanya adalah bahasa lembut dari Sang Satu yang berbicara tanpa suara. Dan karena itu, setiap detik kehidupan sesungguhnya mengandung pesan ketuhanan yang menunggu untuk disadari.


Jiwa Manusia: Cermin dari Keesaan

Menurut Al-Ghazālī, jiwa manusia merupakan refleksi paling halus dari Tuhan. Di dalamnya tersimpan cahaya pengetahuan, cinta, dan kesadaran. Bila jiwa dibersihkan dari keserakahan serta kebencian, maka ia akan memantulkan wajah Yang Satu sebagaimana cermin memantulkan cahaya matahari.

قال:
«النفسُ إذا صفَتْ من كدَرِ الطبع، تجلّى فيها نورُ الواحدِ بلا حجاب.»
Artinya: “Ketika jiwa telah bersih dari kekeruhan tabiat, maka cahaya Yang Satu tampak di dalamnya tanpa tirai.”

Oleh sebab itu, mengenal diri sendiri sama dengan mengenal Tuhan. Di kedalaman diri, terdapat sesuatu yang tidak diciptakan — sesuatu yang mengingat, menyembah, dan rindu kepada asalnya. Proses penyucian jiwa bukanlah perjalanan menjauh dari dunia, melainkan cara untuk kembali mengenali cahaya yang sejak awal sudah ada di dalam diri.


Refleksi: Kembali Menjadi Satu

Manusia sering hidup dalam jarak — antara dirinya dan Tuhan, antara dirinya dan sesama. Ia merasa terpisah, padahal keterpisahan itu hanyalah ilusi. Dalam kesadaran yang utuh, seseorang akhirnya memahami bahwa mencintai orang lain sama dengan mencintai Tuhan, dan menyakiti orang lain berarti melukai cermin yang sama.

Oleh karena itu, Al-Ghazālī mengajak manusia untuk kembali menyatu — bukan secara fisik, melainkan secara makna. Ketika hati menjadi tenang, dunia yang beragam justru tampak sebagai ladang untuk mengenal keesaan.

Pada akhirnya, kita tidak sekadar bagian dari semesta; kita adalah cara semesta mengenal Sang Satu.


Penutup: Yang Tak Pernah Terbelah

Segala sesuatu di dunia ini akan berubah, retak, dan berakhir. Namun Yang Satu tetap abadi. Ia tak bergantung pada waktu, tak terbatasi ruang, dan tak terpengaruh kehilangan. Dialah permulaan dan penghabisan, yang di awal tak didahului apa pun dan di akhir tak disusul siapa pun.

Dalam diam, seluruh alam seakan mengucapkan satu kalimat yang sama:
Dia-lah Yang Satu, asal dari segala asal, yang tak pernah terbelah.

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement