Surau.co. Dalam lembar-lembar Maqāṣid al-Falāsifah, Al-Ghazālī menuntun pembacanya berjalan pelan di jalan sunyi antara wujud dan esensi, antara yang tampak dan yang tersembunyi. Ia mengajak kita untuk berhenti sejenak dan bertanya: apakah yang kita sebut “nyata” benar-benar nyata, atau hanya bayangan yang memantulkan sesuatu yang lebih hakiki? Sebagaimana bayangan dan cahaya.
Kitab ini bukan sekadar kumpulan teori filsafat. Ia adalah perjalanan ruhani yang halus, di mana akal dan hati berjalan beriringan. Al-Ghazālī menulis bukan hanya dengan pena, tapi dengan pengalaman batin seorang yang telah menyelami kedalaman akal dan menemukan cahaya Tuhan di ujungnya.
Sekilas tentang Sang Penulis: Abu Hamid al-Ghazālī
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazālī (w. 505 H / 1111 M) adalah ulama, filsuf, dan sufi besar dari Ṭūs, Persia (kini Iran). Ia dikenal dengan gelar Hujjat al-Islām karena kedalaman ilmunya dalam berbagai disiplin — dari logika, teologi, hingga tasawuf. Setelah menguasai ilmu kalam dan filsafat, ia mengalami krisis spiritual yang membawanya meninggalkan jabatan dan ketenaran, memilih hidup dalam pengasingan dan kontemplasi.
Di masa itu ia menulis Maqāṣid al-Falāsifah — “Tujuan Para Filsuf” — bukan untuk menyebarkan ajaran filsafat Yunani, tetapi untuk memahami dan kemudian menilai mereka dengan jernih. Kitab ini menjadi langkah awal menuju karya monumentalnya, Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filsuf). Namun, Maqāṣid sendiri tetap istimewa: ia memperlihatkan betapa cemerlangnya Al-Ghazālī memahami jalan akal dan jiwa manusia.
Bayangan dan Cahaya: Siapa yang Lebih Nyata?
Di dalam kitabnya, Al-Ghazālī menjelaskan bahwa setiap makhluk adalah cermin yang memantulkan keberadaan Tuhan. Wujud manusia, pohon, laut, bahkan udara, tidak berdiri sendiri. Semua hanyalah refleksi dari keberadaan hakiki yang tunggal.
قال الغزالي:
«الوجود الحقيقي واحد، وسائر الموجودات ظلاله.»
Artinya: “Keberadaan yang hakiki hanya satu, dan seluruh yang ada hanyalah bayangannya.”
Pernyataan ini mengubah cara kita memandang dunia. Ia mengingatkan bahwa segala sesuatu yang kita lihat bukanlah tujuan akhir, melainkan tanda menuju Sang Sumber. Dunia ini adalah cermin, dan kita hidup di dalam pantulannya. Namun banyak manusia terjebak mencintai bayangan dan lupa pada cahaya yang menciptakan pantulan itu.
Hidup Sehari-hari di Dunia Bayangan
Fenomena ini begitu dekat dengan kehidupan modern. Manusia berlomba-lomba mengejar bentuk, nama, dan citra. Di media sosial, misalnya, kita sibuk menata pantulan diri — wajah, pencapaian, status — seolah itu hakikat. Tapi seperti kata Al-Ghazālī, semua itu hanyalah zill (bayangan).
قال:
«الناسُ يرون الصورة وينسون الأصل، فيعبدون ما لا يبقى وينسون من لا يزول.»
Artinya: “Manusia melihat bentuk dan melupakan asalnya, mereka mengabdi pada yang fana dan melupakan Yang Tak Pernah Sirna.”
Kutipan ini terasa seperti nasihat bagi manusia abad digital: jangan terjebak dalam citra, sebab kebenaran tidak berada di layar, melainkan di kesadaran.
Antara Esensi dan Keberadaan
Dalam Maqāṣid al-Falāsifah, Al-Ghazālī membedakan antara mahiyyah (esensi, “apa itu”) dan wujūd (keberadaan, “ada itu”). Esensi adalah gambaran mental tentang sesuatu, sedangkan keberadaan adalah kenyataan aktualnya. Namun, keduanya tidak bisa dipisahkan — ibarat api dan panas, cermin dan cahaya.
قال:
«الماهية من حيث هي هي، لا توصف بالوجود ولا بالعدم، وإنما الوجود عارضٌ لها.»
Artinya: “Esensi, dilihat dari dirinya sendiri, tidak bisa disifati ada atau tiada; keberadaan hanyalah sifat yang menempel padanya.”
Filsafat ini menuntun kita merenungkan diri: siapakah “aku”? Apakah aku ini hanya kumpulan nama, tubuh, dan pikiran — atau ada sesuatu yang lebih halus, yang tetap ada ketika semuanya lenyap?
Pertanyaan itu tidak untuk dijawab tergesa-gesa, melainkan untuk dihayati. Sebab seperti Rumi berkata: “Ketika kamu berhenti mencari dengan mata, hatimu mulai melihat.”
Cermin Diri: Jalan Menuju Pengenalan Tuhan
Dalam perjalanan spiritual, Al-Ghazālī menemukan bahwa mengenali diri adalah jalan tercepat menuju pengenalan Tuhan. Karena diri adalah cermin yang memantulkan wujud-Nya, maka semakin jernih hati, semakin jelas pantulan itu terlihat.
قال الغزالي:
«من عرف نفسه فقد عرف ربه، فإن النفس مرآةٌ يتجلى فيها الحق.»
Artinya: “Barangsiapa mengenal dirinya, sungguh ia mengenal Tuhannya, sebab jiwa adalah cermin tempat hakikat memantul.”
Inilah inti Maqāṣid al-Falāsifah: bahwa filsafat sejati bukan untuk berdebat, tapi untuk membersihkan pandangan. Ketika akal jernih dan hati bening, maka keberadaan tampak apa adanya — tidak menipu, tidak memisah.
Cahaya Al-Qur’an dalam Memahami Wujud
Pemikiran Al-Ghazālī bersandar kuat pada cahaya wahyu. Ia melihat bahwa Al-Qur’an sendiri mengajarkan cara memandang keberadaan dengan hati yang terbuka.
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Artinya: “Allah adalah cahaya langit dan bumi.” — (QS. An-Nūr [24]: 35)
Ayat ini bukan hanya pernyataan teologis, tapi juga panduan ontologis: seluruh wujud hanyalah pantulan cahaya Ilahi. Tanpa-Nya, tidak ada apa pun yang terlihat — karena bahkan “ada” itu sendiri adalah karunia dari-Nya.
Refleksi: Menjadi Jernih dalam Melihat Nyata
Hidup ini penuh pantulan. Kadang kita memuja bayangan dan lupa pada cahaya yang membuatnya ada. Al-Ghazālī mengajak kita membersihkan cermin hati agar cahaya wujud yang sejati bisa memantul dengan sempurna.
Ketika hati penuh ambisi, pantulan itu terdistorsi. Tapi saat hati jernih, kita akan menyadari bahwa segalanya datang dari satu sumber. Dalam kesadaran itu, “aku” dan “Engkau” tidak lagi berjarak — karena bayangan akhirnya mengenali cahaya yang membuatnya ada.
Penutup: Siapa yang Sebenarnya Nyata?
Di ujung renungan ini, pertanyaan itu kembali muncul: siapa yang sebenarnya nyata? Dunia yang kita lihat, atau sumber cahaya yang membuatnya tampak?
Al-Ghazālī memberi jawabannya dengan keheningan: yang nyata hanyalah Dia. Kita semua hanyalah pantulan yang sementara, tapi di dalam pantulan itu ada kesempatan untuk mengenal-Nya.
Ketika seseorang menyadari bahwa dirinya hanyalah cermin, ia tidak lagi mencari kemuliaan dari pantulan. Ia hanya ingin tetap jernih, agar cahaya kebenaran terus bersinar tanpa terhalang.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
