Khazanah
Beranda » Berita » Bahasa Wujud: Saat Sesuatu Bicara tanpa Suara

Bahasa Wujud: Saat Sesuatu Bicara tanpa Suara

Ilustrasi sufi mendengarkan bahasa wujud dalam keheningan
Lukisan digital bergaya realistik menampilkan suasana senja dengan figur sufi memandang langit, menggambarkan percakapan diam antara manusia dan alam.

Surau.co. Maqāṣid al-Falāsifah karya Al-Ghazālī adalah cermin bagi siapa pun yang ingin memahami bukan hanya apa yang tampak, tetapi juga apa yang bergetar dalam diam. Dalam bab-bab metafisika, Al-Ghazālī menuntun pembacanya menembus batas kata menuju bahasa wujud — bahasa tanpa huruf dan tanpa bunyi, namun sarat makna dan cahaya.

Menurut beliau, segala sesuatu di dunia ini sedang berbicara. Daun yang gugur, air yang menetes, bahkan kesunyian malam adalah bagian dari percakapan agung antara ciptaan dan Penciptanya. Sayangnya, manusia sering kehilangan kemampuan mendengar karena hatinya dipenuhi kebisingan dunia.

Kitab ini tidak hanya mengajak akal untuk berpikir, tetapi juga untuk berhenti berdebat dan mulai mendengarkan. Di sanalah letak hikmah sejati: ketika kita tak lagi sibuk mencari suara, melainkan belajar memahami makna di balik keheningan.

Mengenali Suara yang Tak Terdengar

Dalam kehidupan modern, manusia terbiasa menilai dari bunyi dan tampilan. Namun, Al-Ghazālī mengingatkan bahwa keberadaan tidak selalu hadir dalam bentuk yang kasat mata. Setiap makhluk membawa pesan Ilahi yang hanya bisa dibaca oleh akal jernih dan hati yang tenang.

قال الغزالي:
«الوجود كلامٌ إلهيٌّ من غير حروفٍ، ومن لم يسمعه فَقَدْ أَصَمَّتْهُ الغفلة.»
“Keberadaan adalah kalam Ilahi tanpa huruf; siapa yang tak mendengarnya, telah dibisukan oleh kelalaiannya.”

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Orang yang sibuk mengejar dunia kerap kehilangan kepekaan mendengar wujud. Ia membaca banyak buku, tetapi lupa membaca dirinya. Ia memahami ribuan suara, tetapi gagal memahami diam. Padahal justru dalam diam, alam sedang berbicara kepada jiwa yang siap mendengarkan.

Esensi dan Keberadaan: Cermin dari Sang Sumber

Selanjutnya, Al-Ghazālī membedakan antara mahiyyah (hakikat sesuatu) dan wujūd (keberadaan). Hakikat adalah bentuk yang bisa dipikirkan; sementara keberadaan adalah cahaya yang membuatnya nyata. Dengan kata lain, hakikat ibarat cermin, sedangkan keberadaan adalah wajah yang memantul di dalamnya.

قال:
«الماهية ظلٌّ، والوجود نور، والنور أسبق من الظل.»
“Esensi adalah bayangan, keberadaan adalah cahaya; dan cahaya selalu lebih dahulu dari bayangan.”

Pemikiran ini bukan teori abstrak, tetapi ajakan untuk merenungi hidup. Sebagaimana bayangan tak mungkin ada tanpa cahaya, manusia pun tak akan ada tanpa Tuhan. Maka, mengenal keberadaan berarti mengenal sumber cahaya yang memancar di balik segala wujud.

Ketika seseorang menyadari hal ini, pandangannya terhadap dunia berubah. Ia berhenti melihat benda sebagai benda. Ia mulai melihat tanda-tanda. Batu bukan sekadar batu, tetapi saksi kekekalan. Air bukan sekadar air, melainkan lambang kasih. Langit tidak hanya ruang, tapi ayat yang terus dibacakan tanpa suara.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Diamnya Alam adalah Dzikir yang Tak Henti

Al-Ghazālī menulis dengan kelembutan yang tajam: seluruh ciptaan sedang berdzikir, hanya manusia yang lupa bergabung. Ia mengajak pembacanya untuk kembali menyimak bahasa wujud yang senantiasa memuji Sang Pencipta.

قال الغزالي:
«كلُّ موجودٍ مسبّحٌ وإن لم يُسمع تسبيحه، فإنّ الوجودَ نفسُه تسبيح.»
“Setiap yang ada sedang bertasbih, meski suaranya tak terdengar; sebab keberadaan itu sendiri adalah tasbih.”

Pernyataan ini selaras dengan firman Allah:

وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ
“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, hanya saja kalian tidak memahami tasbih mereka.” (QS. Al-Isrā’ [17]: 44)

Dengan demikian, setiap makhluk memiliki bahasanya masing-masing untuk memuji Sang Pencipta. Bagi Al-Ghazālī, tugas manusia bukan hanya mendengar bunyi, tetapi memahami makna — bukan dengan telinga, melainkan dengan hati.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Mendengar dengan Hati, Bukan dengan Telinga

Manusia modern hidup di tengah hiruk pikuk yang membuatnya kehilangan kemampuan mendengar makna. Mereka mendengar suara, tetapi tidak menangkap pesan. Untuk memahami bahasa wujud, seseorang harus berlatih hening — sebab hanya dalam hening, makna berani berbisik.

Dalam Maqāṣid al-Falāsifah, Al-Ghazālī menulis bahwa pemahaman sejati bukan hasil dari banyak membaca, melainkan dari kejernihan hati yang disinari kesadaran.

قال:
«الفهم إشراق، لا تحصيل، والنور يُعطى لمن صفا قلبه.»
“Pemahaman adalah pancaran cahaya, bukan hasil kumpulan ilmu; cahaya itu diberikan hanya kepada hati yang jernih.”

Kata-kata itu terasa seperti air bagi jiwa yang haus. Kini, informasi melimpah, tetapi kebijaksanaan semakin langka. Banyak orang tahu segalanya, namun sedikit yang benar-benar mengerti. Karena itu, Al-Ghazālī mengajak kita berhenti mendengar dunia, dan mulai mendengar hati.

Refleksi: Wujud yang Menyapa Setiap Hari

Setiap hari, alam menyapa manusia dengan bahasa halusnya. Ketika mentari terbit, ia berpesan bahwa hidup baru dimulai. Saat malam datang, ia mengingatkan bahwa segala hal fana harus beristirahat. Bahkan rasa kehilangan pun berbicara lembut, mengajarkan tentang ketergantungan kepada Yang Abadi.

Al-Ghazālī mengajarkan bahwa mengenal keberadaan berarti berjalan menuju pengenalan terhadap Tuhan. Ia tidak meminta kita menolak dunia, melainkan menembusnya. Dunia, bagi beliau, bukan penghalang spiritualitas — justru ia adalah kitab terbuka yang menunggu dibaca dengan lembut.

Penutup: Saat Wujud Menjadi Doa

Ketika seseorang memahami bahasa wujud, ia berhenti berbicara berlebihan. Ia mulai mendengar lebih dalam. Setiap napas menjadi dzikir, setiap pandangan menjadi tafakur. Ia tak lagi mencari tanda di luar dirinya, sebab seluruh keberadaannya telah menjadi tanda itu sendiri.

Maqāṣid al-Falāsifah bukan sekadar kitab filsafat; ia adalah undangan untuk melihat dunia sebagai kitab kedua setelah Al-Qur’an — kitab yang ditulis dengan cahaya keberadaan.

Pada akhirnya, dalam setiap wujud, Tuhan sedang berbicara.
Kita hanya perlu belajar diam agar dapat mendengar-Nya.

* Reza A.S.
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement