Fenomena ekstremisme dan radikalisme agama terus menjadi sorotan tajam di berbagai belahan dunia. Peristiwa-peristiwa tragis yang terjadi atas nama agama sering kali menyisakan pertanyaan besar tentang bagaimana paham kekerasan ini bisa tumbuh dan berkembang, terutama di tengah masyarakat Muslim. Pertanyaan mendasar seringkali muncul: apakah ekstremisme memiliki landasan tekstual dalam ajaran Islam itu sendiri? Dalam upaya menjawab pertanyaan krusial ini, studi terhadap kitab-kitab tafsir Al-Quran menjadi sangat relevan dan mendesak. Kitab tafsir, sebagai upaya para ulama untuk menjelaskan makna Al-Quran, memegang peran sentral dalam membentuk pemahaman keagamaan umat. Dengan menelaah berbagai corak tafsir, kita dapat memahami bagaimana ide-ide ekstremis bisa muncul dari penafsiran yang keliru atau sempit, serta bagaimana tafsir yang moderat dapat menjadi penangkal efektif.
Ekstremisme seringkali berakar pada penafsiran ayat-ayat Al-Quran dan hadis yang parsial, literal, dan tanpa mempertimbangkan konteks historis serta sosio-kultural pewahyuannya. Kelompok ekstremis cenderung mengambil potongan ayat yang mendukung agenda kekerasan mereka, mengabaikan ayat-ayat lain yang menyerukan perdamaian, kasih sayang, dan keadilan. Mereka sering kali menafsirkan konsep “jihad” hanya dalam pengertian perang fisik, mengesampingkan makna jihad dalam bentuk perjuangan moral, intelektual, dan sosial untuk kebaikan.
Salah satu contoh penafsiran bermasalah adalah ayat-ayat yang berbicara tentang peperangan. Kelompok ekstremis seringkali mengutip ayat-ayat tersebut tanpa menjelaskan kondisi dan batasan yang ditetapkan syariat Islam. Mereka mengabaikan prinsip-prinsip perang dalam Islam yang melarang pembunuhan warga sipil, perusakan lingkungan, dan penyerangan terhadap mereka yang tidak terlibat dalam konflik. Para penafsir klasik, seperti Imam al-Qurtubi atau Ibnu Katsir, selalu menyertakan asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) dan konteks historis untuk memberikan pemahaman yang komprehensif. Mereka menjelaskan bahwa ayat-ayat peperangan seringkali turun dalam konteks pertahanan diri atau penegakan keadilan setelah terjadi agresi.
Peran Kitab Tafsir dalam Membentuk Pandangan Keagamaan
Kitab tafsir memiliki kekuatan besar dalam membentuk pandangan dunia dan sikap keberagamaan individu serta komunitas. Sebuah tafsir yang menekankan inklusivitas, moderasi, dan kasih sayang akan menghasilkan pemahaman agama yang damai. Sebaliknya, tafsir yang cenderung eksklusif, menghakimi, dan membenarkan kekerasan dapat memicu munculnya pandangan ekstremis.
Para mufasir (penafsir Al-Quran) sepanjang sejarah Islam telah mengembangkan berbagai metodologi penafsiran. Ada yang menekankan pendekatan lughawi (linguistik), fiqhi (hukum), falsafi (filosofis), isyari (mistis), hingga ilmi (ilmiah). Keragaman metodologi ini menunjukkan kekayaan tradisi keilmuan Islam dalam memahami firman Tuhan. Namun, kelompok ekstremis seringkali mengabaikan keragaman ini dan memaksakan satu interpretasi tunggal sebagai kebenaran mutlak. Mereka menolak pendekatan hermeneutika yang mempertimbangkan perubahan zaman dan konteks baru.
Tafsir Moderat sebagai Benteng Anti-Ekstremisme
Untuk melawan narasi ekstremisme, kita membutuhkan pengarusutamaan tafsir yang moderat dan komprehensif. Tafsir moderat tidak hanya mempertimbangkan makna literal ayat, tetapi juga konteks historis, tujuan syariat (maqasid syariah), dan implikasi moralnya dalam kehidupan kontemporer. Para ulama moderat selalu menekankan pentingnya rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam) sebagai inti ajaran Islam.
Beberapa ciri tafsir moderat meliputi:
-
Holistik: Memahami ayat secara keseluruhan, tidak parsial, dan menghubungkannya dengan ayat-ayat lain serta hadis.
-
Kontektual: Mempertimbangkan asbabun nuzul dan situasi historis turunnya ayat.
-
Memperhatikan Maqasid Syariah: Mengutamakan tujuan-tujuan luhur syariat seperti menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
-
Inklusif: Mengajarkan toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan, baik antarumat beragama maupun sesama Muslim.
-
Menjauhi Takfiri: Menghindari praktik mengkafirkan orang lain yang berbeda pandangan keagamaan.
Kitab-kitab tafsir yang diakui secara luas dalam tradisi Sunni, seperti Tafsir al-Tabari, Tafsir al-Razi, Tafsir al-Manar, dan karya-karya ulama Nusantara seperti Tafsir Al-Azhar Buya Hamka, seringkali menampilkan corak moderat ini. Mereka memberikan penjelasan yang mendalam dan berimbang, jauh dari semangat ekstremisme.
Menafsir Ulang Konsep Jihad dan Kafir
Dua konsep yang paling sering disalahgunakan oleh kelompok ekstremis adalah “jihad” dan “kafir”. Seperti disebutkan sebelumnya, jihad dalam tafsir moderat mencakup perjuangan spiritual melawan hawa nafsu (jihad akbar), perjuangan intelektual untuk menyebarkan ilmu, dan perjuangan sosial untuk menegakkan keadilan. Peperangan (jihad asghar) hanyalah salah satu bentuk jihad, yang terikat pada aturan ketat dan bukan tujuan utama.
Demikian pula dengan konsep “kafir”. Dalam Al-Quran, istilah ini memiliki berbagai konotasi, mulai dari menolak kebenaran hingga ingkar nikmat. Kelompok ekstremis seringkali menyempitkan makna kafir menjadi “musuh Islam” yang halal darahnya. Padahal, Islam mengajarkan untuk berbuat baik kepada siapa pun, bahkan kepada non-Muslim yang tidak memerangi Islam, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran Surah Al-Mumtahanah ayat 8:
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Ayat ini secara jelas menunjukkan prinsip inklusivitas dan perdamaian dalam Islam, yang seringkali diabaikan oleh kelompok ekstremis.
Tantangan dan Solusi: Memperkuat Moderasi Beragama
Tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana agar tafsir moderat ini dapat diakses dan dipahami secara luas oleh umat. Di era digital, informasi, termasuk tafsir Al-Quran, sangat mudah diakses, namun tidak semua sumber memiliki validitas dan metodologi yang benar.
Beberapa solusi yang dapat kita lakukan adalah:
-
Edukasi Berkelanjutan: Mengadakan kajian-kajian tafsir Al-Quran dengan narasumber yang kredibel dan moderat.
-
Literasi Media: Meningkatkan kemampuan umat dalam menyaring informasi keagamaan di internet, mengenali sumber-sumber yang valid dan menghindari provokasi ekstremis.
-
Peran Lembaga Keagamaan: Lembaga seperti MUI, NU, Muhammadiyah, dan lembaga pendidikan Islam harus proaktif menyebarkan narasi tafsir moderat.
-
Inovasi Konten: Membuat konten tafsir yang menarik dan mudah dicerna oleh berbagai kalangan, termasuk melalui media sosial, video, dan podcast.
-
Penguatan Dialog Antarumat Beragama: Mendorong dialog dan kerja sama antarumat beragama untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan toleran.
Ekstremisme bukanlah bawaan inheren dari ajaran Islam, melainkan hasil dari penafsiran yang keliru dan sempit terhadap teks-teks suci. Kitab tafsir, dengan kekayaan tradisi keilmuannya, menawarkan kerangka untuk memahami Islam secara komprehensif, moderat, dan damai. Dengan mengarusutamakan tafsir yang menekankan inklusivitas, kontekstualitas, dan maqasid syariah, kita dapat membentengi masyarakat dari penetrasi ideologi ekstremisme. Upaya kolektif dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk memastikan bahwa pemahaman agama yang diajarkan dan diamalkan adalah Islam yang rahmatan lil alamin.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
