Surau.co. Setiap generasi memiliki tantangan moralnya sendiri. Di era Generasi Z yang serba cepat dan digital, hubungan antara anak dan orang tua sering kali bergeser menjadi formalitas. Banyak anak yang sibuk mengejar validasi media sosial, sementara suara lembut orang tua di rumah perlahan memudar di antara notifikasi dan layar kaca. Namun, Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah mengingatkan bahwa keberkahan hidup bukan terletak pada seberapa jauh kita melangkah, tetapi seberapa dalam kita menghormati mereka yang melahirkan dan membesarkan kita.
Hormati orang tua bukan hanya ajaran moral klasik, tetapi fondasi spiritual yang menanamkan keberkahan pada setiap langkah hidup. Al-Qur’an menegaskan hal ini dengan jelas dalam surah Al-Isra ayat 23:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu.” (QS. Al-Isra: 23)
Ayat ini menegaskan bahwa setelah menyembah Allah, kewajiban paling besar adalah berbakti kepada orang tua. Dua hal ini tidak bisa dipisahkan, karena hubungan dengan Allah akan terasa hampa jika hubungan dengan orang tua rusak.
Kehormatan Orang Tua dalam Pandangan Imam al-Ghazali
Dalam Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali memberikan penjelasan mendalam tentang adab terhadap orang tua. Beliau menulis:
فَإِنْ كَانَا حَيَّيْنِ فَأَطِعْهُمَا وَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا وَأَكْثِرِ الدُّعَاءَ لَهُمَا
“Jika keduanya masih hidup, maka taatilah mereka, perbaikilah pergaulanmu dengan mereka, dan perbanyaklah doa untuk mereka.”
Kalimat ini mengandung makna yang luas. Ketaatan dan doa bukan sekadar bentuk formal penghormatan, tetapi refleksi dari hati yang bersyukur. Bagi Imam al-Ghazali, ketaatan pada orang tua bukan berarti kehilangan kebebasan berpikir, melainkan latihan spiritual untuk menundukkan ego dan menumbuhkan cinta tanpa syarat.
Beliau juga menegaskan bahwa seorang anak yang menghormati orang tuanya sejatinya sedang mendidik jiwanya sendiri. Penghormatan itu menumbuhkan empati, melatih kesabaran, dan memurnikan niat dalam berbuat baik. Dengan menghormati orang tua, seseorang sedang belajar tentang cinta yang tidak menuntut balasan—nilai yang semakin langka di zaman serba transaksional ini.
Refleksi Generasi Z: Antara Kemandirian dan Kepatuhan
Generasi Z dikenal mandiri, kritis, dan melek teknologi. Namun di sisi lain, kemandirian yang tidak dibingkai oleh nilai bisa menjelma menjadi sikap acuh terhadap orang tua. Banyak remaja yang merasa cukup dengan menelpon sesekali atau sekadar mengirim pesan singkat “aku sayang ibu” di Hari Ibu, tapi lupa menghadirkan kehadiran nyata di waktu yang lain.
Padahal, penghormatan kepada orang tua bukan tentang seberapa banyak ucapan kasih, tetapi tentang seberapa dalam kepedulian diwujudkan. Imam al-Ghazali menegaskan bahwa adab tidak hanya diukur dari kata, melainkan dari perilaku yang lembut dan sikap penuh hormat. Beliau menerangkan:
وَلَا تَرْفَعْ صَوْتَكَ عَلَيْهِمَا، وَلَا تُحَدِّثْهُمَا بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ
“Janganlah engkau meninggikan suaramu di hadapan mereka, dan jangan berbicara dengan cara yang menyakitkan atau menyebut-nyebut jasa.”
Pesan ini terasa relevan di tengah budaya komunikasi digital yang kadang kering dari adab. Menghormati orang tua tidak cukup hanya dengan tidak membantah, tetapi juga menjaga tutur kata, ekspresi, dan perhatian—terutama di saat mereka menua dan membutuhkan empati lebih dari sekadar logika.
Berbakti Sebagai Jalan Spiritual, Bukan Beban Tradisi
Bagi sebagian anak muda, ajaran menghormati orang tua mungkin terdengar seperti beban moral masa lalu. Tapi dalam perspektif al-Ghazali, berbakti justru merupakan jalan penyucian hati. Melayani orang tua, bahkan dalam hal kecil seperti menyajikan air atau mendengarkan cerita lama, adalah bentuk mujahadah—perjuangan melawan ego.
Dalam Bidayatul Hidayah, beliau menjelaskan bahwa setiap amal kebaikan yang dilakukan kepada orang tua memiliki nilai spiritual yang tinggi karena dilakukan tanpa pamrih duniawi. Al-Ghazali menerangkan:
وَاعْلَمْ أَنَّ رِضَا اللّٰهِ فِي رِضَا الْوَالِدَيْنِ وَسَخَطَهُ فِي سَخَطِهِمَا
“Ketahuilah, ridha Allah terletak pada ridha kedua orang tua, dan murka-Nya ada pada murka mereka.”
Kalimat ini mengandung hikmah mendalam. Dalam logika spiritual, restu orang tua adalah cerminan restu Tuhan. Maka, keberkahan bukan datang dari kecerdasan semata, tetapi dari hati yang tahu berterima kasih.
Ketika Restu Jadi Energi Kehidupan
Kisah-kisah klasik para ulama sering menunjukkan bagaimana doa orang tua mengubah nasib anak. Banyak dari mereka yang menjadi tokoh besar bukan karena kecerdasan luar biasa, tapi karena restu dan doa ibunya yang tidak henti. Bagi Imam al-Ghazali, restu itu bukan sekadar simbol, tapi energi batin yang menguatkan ruh seseorang untuk istiqamah di jalan kebaikan.
Di tengah gaya hidup modern, Generasi Z bisa memaknai ulang berbakti bukan sebagai kewajiban kaku, melainkan investasi spiritual. Menyisihkan waktu untuk pulang, membantu keperluan sederhana, atau sekadar mendengarkan tanpa menghakimi adalah bentuk penghormatan yang bermakna.
Al-Qur’an menegaskan dalam surah Luqman ayat 14:
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
“Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.”
Ayat ini mengingatkan, bahwa rasa lemah dan cinta seorang ibu serta perjuangan ayah tak boleh dilupakan, meski dunia mengajarkan untuk fokus pada diri sendiri.
Makna Sosial dari Menghormati Orang Tua
Berbakti kepada orang tua tidak hanya berdampak spiritual, tetapi juga sosial. Generasi yang menghormati orang tua akan tumbuh menjadi generasi yang menghormati sesama. Dari rumah yang penuh kasih dan penghormatan, lahirlah masyarakat yang beradab.
Imam al-Ghazali tidak hanya menulis untuk membentuk individu saleh, tetapi juga komunitas yang sehat. Dalam konteks modern, penghormatan kepada orang tua bisa diterjemahkan sebagai penghormatan kepada generasi sebelumnya—guru, tokoh masyarakat, dan orang yang berjasa. Dengan demikian, nilai ini menembus batas keluarga dan membentuk tatanan sosial yang saling menghargai.
Menjaga Tradisi Adab di Era Digital
Generasi Z memiliki peluang besar untuk melestarikan nilai penghormatan ini dengan cara yang kreatif. Membuat konten inspiratif tentang kasih orang tua, mengabadikan momen kebersamaan keluarga, atau menulis refleksi di media sosial tentang perjuangan mereka bisa menjadi bentuk modern dari birrul walidain—berbakti kepada orang tua.
Namun, yang paling penting adalah konsistensi dalam tindakan nyata. Menghormati tidak berhenti di layar, tapi dimulai dari senyum di pagi hari, sapaan lembut, dan doa yang terucap lirih sebelum tidur.
Penutup
Dalam dunia yang semakin individualis, nasihat Imam al-Ghazali terasa seperti cahaya lembut di ujung malam. Menghormati orang tua bukan sekadar kewajiban moral, tapi jalan menuju hidup penuh keberkahan. Ridha mereka adalah ridha Tuhan, dan doa mereka adalah bahan bakar spiritual yang membuat langkah kita mantap di jalan kebaikan.
Ketika seseorang menunduk mencium tangan ibunya, ia bukan sedang merendahkan diri, tetapi sedang meninggikan derajat jiwanya. Karena sesungguhnya, setiap keberhasilan anak adalah gema dari doa orang tua yang pernah mengalir tanpa henti di malam-malam sunyi.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
