Surau.co. Ulasan kitab Maqāṣid al-Falāsifah – Dalam lembar awal Maqāṣid al-Falāsifah, Al-Ghazālī seakan menyalakan lentera di tengah kegelapan akal manusia. Ia tidak sedang mengajar bagaimana membantah para filsuf, tetapi bagaimana memahami mereka—agar kita tidak menolak sebelum benar-benar mengenal. Kitab ini adalah perjalanan dari cahaya kecil pengetahuan menuju matahari kebijaksanaan. Di sanalah akal mulai menyala, bukan untuk menyaingi wahyu, tetapi untuk menemukan arah menuju-Nya.
Dalam bahasa Rumi, akal adalah kuda cahaya yang membawa jiwa menembus kabut kebodohan. Ia bukan tujuan, tetapi kendaraan untuk sampai pada makna. Seperti air yang jernih, akal hanya akan memantulkan langit bila tidak keruh oleh kesombongan.
Akal sebagai Jalan Menuju Hikmah
Al-Ghazālī membuka pembahasannya dengan logika—bukan karena ia dingin, tapi karena logika adalah tata adab berpikir. Ia menulis bahwa tanpa memahami cara akal bekerja, seseorang mudah terjebak dalam kepercayaan buta. Namun bagi beliau, logika bukanlah menara yang membatasi Tuhan, melainkan jembatan agar manusia memahami ciptaan-Nya secara tertib.
قال الغزالي في مقاصد الفلاسفة:
“المنطق ميزان العقول، فمن لم يعرفه لم يأمن الغلط في الفكر.”
Terjemahan: “Logika adalah timbangan bagi akal; siapa yang tak mengenalnya, tak akan aman dari kesalahan berpikir.”
Kata-kata itu terasa seperti teguran lembut bagi zaman ini, ketika banyak orang bicara sebelum berpikir, berdebat tanpa ilmu, dan merasa tahu segalanya dari layar kecil di genggaman. Al-Ghazālī mengingatkan: berpikir adalah ibadah, bila diiringi dengan niat mencari kebenaran, bukan kemenangan.
Dari Konsep ke Keberadaan
Dalam bab-bab selanjutnya, Maqāṣid al-Falāsifah membahas tentang esensi (mahiyyah) dan eksistensi (wujūd). Dua istilah yang di tangan Al-Ghazālī bukan hanya filosofis, tapi spiritual. Ia menulis bahwa segala sesuatu yang ada hanyalah cermin dari Wujud Hakiki. Bila manusia mengira dirinya berdiri sendiri, ia telah lupa bahwa keberadaannya hanyalah pinjaman.
قال:
“كل موجود مستفاد من الأول، لا قيام له بنفسه، وإنما هو شعاع من نوره.”
Terjemahan: “Setiap yang ada memperoleh keberadaannya dari Yang Pertama; tiada berdiri dengan dirinya, melainkan sinar dari cahaya-Nya.”
Begitulah, filsafat dalam tangan Al-Ghazālī menjadi dzikir yang berakal. Ia meminjam bahasa para filosof, tapi menenun makna sufistik di dalamnya. Ia tidak memusuhi akal, namun menundukkannya kepada cinta.
Jiwa yang Mengenal Dirinya
Setelah berbicara tentang wujud dan sebab, Al-Ghazālī memasuki pembahasan tentang jiwa. Baginya, jiwa bukan sekadar substansi yang berpikir, tetapi rahasia yang mengingat. Jiwa manusia berasal dari alam cahaya, turun ke dunia materi, lalu lupa akan asalnya. Filsafat hanya berarti jika menuntun jiwa kembali mengingat asal cahaya itu.
قال:
“النفس إذا عرفت ذاتها، عرفت ربها، فإنها مرآة لتجلي الحق.”
Terjemahan: “Ketika jiwa mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya, sebab ia adalah cermin dari tajalli Ilahi.”
Di sini, filsafat dan tasawuf bertemu. Pengetahuan bukan sekadar hasil berpikir, tetapi buah dari penyucian batin. Hanya hati yang bersih yang mampu menampung makna hakiki. Maka Al-Ghazālī tidak berhenti pada perdebatan logika, ia menuntun pembacanya untuk mengenali dirinya sendiri.
Tentang Cahaya Akal dan Cahaya Wahyu
Dalam bagian akhir kitab, Al-Ghazālī menunjukkan keseimbangan yang menakjubkan antara akal dan wahyu. Ia menulis bahwa keduanya tidak saling meniadakan, seperti matahari dan bulan yang sama-sama menerangi, hanya berbeda dalam cara mereka memantulkan cahaya. Akal menuntun manusia sampai di ambang pintu kebenaran, namun wahyu membuka pintunya.
قال:
“نور العقل يهدي إلى الباب، ونور الوحي يفتح له الباب.”
Terjemahan: “Cahaya akal menuntun menuju pintu, dan cahaya wahyu membukakan pintu itu.”
Kalimat ini menjadi puncak perjalanan intelektual dan spiritual dalam Maqāṣid al-Falāsifah. Bahwa ilmu bukan sekadar pengetahuan, tetapi perjalanan menuju pengenalan diri dan Tuhan. Dan di sanalah letak makna sejati dari “akal yang menyala”: bukan terang yang menyilaukan, tapi cahaya yang menuntun langkah menuju kebeningan hati.
Refleksi: Menyalakan Akal di Zaman yang Gelap
Zaman modern telah membuat banyak akal padam oleh hiruk-pikuk informasi. Kita sering merasa tahu segalanya, tapi lupa bagaimana berpikir dengan benar. Maqāṣid al-Falāsifah bukan kitab masa lalu; ia adalah cermin untuk masa kini. Ia mengajarkan bahwa berpikir adalah bagian dari ibadah, dan mencari kebenaran adalah bentuk tertinggi dari cinta.
Seperti yang diajarkan Al-Ghazālī, akal bukan untuk menantang wahyu, melainkan untuk memahami hikmah di baliknya. Ketika akal menyala dalam keikhlasan, ia akan menuntun hati kepada cahaya yang tak pernah padam.
Penutup: Saat Akal Bersujud
Membaca ulasan kitab Maqāṣid al-Falāsifah seperti menyaksikan dialog sunyi antara ilmu dan cinta. Al-Ghazālī mempertemukan keduanya tanpa pertentangan. Ia membuktikan bahwa kebenaran tidak hanya bisa dipahami oleh otak, tapi juga oleh hati yang jernih.
Maka ketika akal menyala, jangan biarkan ia terbakar oleh kesombongan. Jadikan ia pelita yang menuntun langkah menuju sumber cahaya segala cahaya.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
