Surau.co. Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, istilah “teman” terasa ringan diucapkan tapi berat maknanya. Kita bisa punya ribuan pengikut di media sosial, tapi tak punya satu pun teman sejati yang mampu menegur saat salah. Padahal, dalam pandangan Islam, pertemanan bukan sekadar interaksi sosial, tapi bagian dari perjalanan spiritual.
Imam al-Ghazali, dalam Bidayatul Hidayah, menulis bahwa teman memiliki pengaruh langsung terhadap iman dan akhlak seseorang. Teman adalah cermin, dan apa yang tampak di dalamnya adalah pantulan diri kita sendiri. Bila cermin itu jernih, kita akan belajar memperbaiki diri. Tapi jika cermin itu buram, kita bisa kehilangan arah tanpa sadar.
Generasi Z hidup di masa di mana hubungan manusia semakin cair—pertemanan bisa berakhir hanya karena perbedaan pendapat kecil, atau sebaliknya, bisa tumbuh dari sekadar “like” di unggahan media sosial. Namun, di balik semua kemudahan itu, ada kebutuhan spiritual yang tetap sama sejak zaman Rasulullah ﷺ: kebutuhan akan teman yang menuntun pada kebaikan.
Pandangan Al-Qur’an: Teman Bisa Menyelamatkan, tapi Juga Menjerumuskan
Al-Qur’an sudah memberi isyarat tentang betapa kuatnya pengaruh teman terhadap arah hidup seseorang. Dalam Surah al-Furqan [25]: 27–28, Allah menggambarkan penyesalan orang yang salah memilih teman di akhirat kelak:
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا يَا وَيْلَتَىٰ لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا
“Dan (ingatlah) hari ketika orang zalim menggigit kedua tangannya seraya berkata, ‘Aduhai, seandainya dulu aku mengambil jalan bersama Rasul! Celakalah aku! Seandainya aku tidak menjadikan si fulan itu sebagai teman akrab.’”
Ayat ini menggambarkan betapa sebuah persahabatan bisa menentukan keselamatan seseorang. Teman yang salah bisa menjadi sebab seseorang menjauh dari petunjuk, bahkan sampai pada penyesalan abadi.
Namun sebaliknya, Rasulullah ﷺ juga bersabda:
الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang berada di atas agama teman dekatnya. Maka hendaklah kalian memperhatikan dengan siapa kalian berteman.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadis ini bukan hanya nasihat sosial, tapi peringatan psikologis: teman membentuk pola pikir, kebiasaan, bahkan iman. Apa yang kita dengar, tonton, dan diskusikan bersama teman akan perlahan membentuk siapa kita.
Imam al-Ghazali dan Konsep “Teman sebagai Jalan Iman”
Dalam Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali menulis panjang tentang bagaimana memilih dan menjaga teman. Beliau menegaskan bahwa pertemanan yang baik adalah bagian dari ibadah.
صَاحِبْ مَنْ يُذَكِّرُكَ اللهَ رُؤْيَتُهُ، وَيَزِيدُ فِي عِلْمِكَ مَنْطِقُهُ، وَيُرَغِّبُكَ فِي الآخِرَةِ عَمَلُهُ
“Bertemanlah dengan orang yang, bila engkau melihatnya, engkau teringat kepada Allah; bila ia berbicara, engkau bertambah ilmu; dan bila engkau melihat amalnya, engkau terdorong untuk beramal akhirat.”
Kalimat ini menjadi standar emas dalam memilih teman. Dalam pandangan beliau, teman sejati adalah pengingat dan penyembuh, bukan penghibur sementara. Persahabatan yang baik bukan hanya tentang kesamaan selera musik atau gaya hidup, tapi tentang bagaimana seseorang membantu kita menjadi lebih baik—secara moral, intelektual, dan spiritual.
Namun, Imam al-Ghazali juga tidak menafikan bahwa pertemanan bisa membawa mudarat. Beliau menulis dengan tegas:
إِيَّاكَ وَمُصَاحَبَةَ الأَحْمَقِ وَالفَاسِقِ، فَإِنَّ طَبْعَهُمَا يَعْدِي كَالنَّارِ تُحْرِقُ الْجَارَ
“Jauhilah berteman dengan orang bodoh dan orang fasik, karena tabiat mereka menular seperti api yang membakar tetangga.”
Beliau tidak melarang bergaul dengan siapa pun, tapi mengingatkan bahwa kedekatan emosional adalah hal yang tidak boleh diberikan sembarangan. Sebab hati manusia, seperti spons, mudah menyerap keburukan dari lingkungan tanpa sadar.
Makna “Cermin Iman” di Zaman yang Serba Terpantul
Ungkapan “teman adalah cermin” bukan sekadar kiasan. Secara psikologis, manusia memang belajar dari pantulan perilaku orang lain. Apa yang dianggap normal di lingkaran pertemanan, lambat laun menjadi normal pula bagi kita.
Jika seseorang dikelilingi oleh orang yang jujur, ia akan merasa canggung untuk berbohong. Tapi bila ia terbiasa bergaul dengan orang yang gemar menipu, dosa itu akan tampak ringan. Itulah mengapa Imam al-Ghazali menekankan pentingnya lingkungan yang menumbuhkan iman.
Bagi generasi Z, yang hidup di tengah budaya “semua orang bebas jadi apa saja”, konsep ini mungkin terasa membatasi. Tapi justru di situlah relevansinya. Dalam dunia di mana “semua benar menurut versinya masing-masing”, kita butuh teman yang berani berkata, “Hei, yang kamu lakukan salah.”
Teman sejati bukan yang selalu sepakat, tapi yang berani menegur tanpa menghakimi. Dalam Islam, nasihat yang tulus adalah tanda cinta, bukan tanda benci.
Antara Teman Dunia dan Teman Akhirat
Pertemanan di dunia bisa berakhir kapan saja—karena waktu, jarak, atau perbedaan tujuan. Tapi ada jenis pertemanan yang melampaui batas duniawi: ukhuwah karena iman.
Rasulullah ﷺ bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ … وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ
“Tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah pada hari tiada naungan selain naungan-Nya… di antaranya dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Cinta karena Allah berarti menempatkan nilai kebenaran di atas ego. Teman seperti ini tidak menjauh ketika kita menegur, dan tidak memuji berlebihan ketika kita berbuat benar.
Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa salah satu ciri sahabat sejati adalah mau mengingatkanmu dalam diam dan mendoakanmu dalam senyap.
الصَّدِيقُ الْحَقِيقِيُّ هُوَ الَّذِي يَنْصَحُكَ سِرًّا وَيَدْعُو لَكَ جَهْرًا
“Teman sejati adalah yang menasihatimu dengan diam-diam dan mendoakanmu dengan terang-terangan.”
Tantangan Pertemanan di Era Digital
Dulu, teman adalah orang yang bisa kita temui, tatap, dan dengar suaranya langsung. Sekarang, sebagian besar interaksi sosial berpindah ke layar. Kita bisa berteman dengan orang di benua lain, tapi merasa kesepian di rumah sendiri.
Fenomena ini membuat makna “teman” menjadi kabur. Di satu sisi, jejaring sosial memperluas peluang silaturahmi; di sisi lain, ia membuka ruang bagi hubungan yang dangkal. Banyak orang merasa punya banyak teman, padahal yang mereka punya hanyalah koneksi, bukan kedekatan.
Imam al-Ghazali tentu hidup jauh sebelum media sosial ada, tapi nasihat beliau tetap relevan: “Jangan sembarangan menautkan hati.” Dalam konteks modern, itu berarti tidak semua orang yang memberi atensi layak mendapat tempat dalam hidup kita. Teman yang sejati bukan yang sering muncul di notifikasi, tapi yang tetap hadir ketika notifikasi berhenti.
Menjadi Teman yang Baik, Bukan Sekadar Mencari yang Baik
Banyak orang sibuk mencari teman yang sempurna, padahal yang lebih penting adalah berusaha menjadi teman yang baik. Imam al-Ghazali menulis:
كُنْ صَاحِبًا كَمَا تُحِبُّ أَنْ تُصَاحَبَ
“Jadilah teman sebagaimana engkau ingin diperlakukan sebagai teman.”
Pesan sederhana ini mengandung makna mendalam: pertemanan yang baik tidak datang dari ekspektasi, tapi dari kontribusi.
Dalam kehidupan generasi muda, menjadi teman yang baik berarti berani mendengarkan tanpa menghakimi, memberi ruang untuk tumbuh, tapi juga mengingatkan saat melenceng. Tidak semua teguran harus keras, tapi setiap nasihat harus tulus.
Teman yang baik bukan yang membuat hidupmu mudah, tapi yang membuat hidupmu bermakna. Dalam konteks spiritual, mereka adalah orang-orang yang mendorongmu mendekat kepada Allah, bukan menjauh dari-Nya.
Refleksi: Persahabatan sebagai Jalan Menuju Ketenangan
Jika dipikir-pikir, manusia tidak pernah bisa hidup sepenuhnya sendiri. Bahkan Nabi Muhammad ﷺ pun dikelilingi sahabat yang saling menguatkan dalam dakwah dan ujian. Artinya, mencari dan menjaga teman baik bukan sekadar kebutuhan sosial, tapi bagian dari sunnah kehidupan.
Di antara tanda kebesaran Allah adalah ketika seseorang dipertemukan dengan teman yang membawa ketenangan. Teman yang tidak menuntut banyak, tapi menghadirkan rasa aman. Teman seperti ini adalah nikmat yang jarang disadari, sampai kita kehilangannya.
Dalam Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali menulis kalimat yang bisa kita renungkan:
مَنْ لَمْ يَجِدْ صَاحِبًا صَالِحًا فَلْيَكُنْ صَاحِبًا لِلْكُتُبِ وَالذِّكْرِ
“Barang siapa tidak menemukan teman yang saleh, maka jadikanlah buku dan zikir sebagai teman.”
Pesan ini meneguhkan: bahkan ketika dunia terasa sepi, selama hati masih terhubung dengan Allah, kita tidak benar-benar sendirian.
Penutup
Teman yang baik adalah cermin yang tak hanya memantulkan wajahmu, tapi juga hatimu. Jika kamu melihat kesabaran dalam diri temanmu, berarti kamu masih punya peluang belajar. Jika kamu melihat keburukan, berarti itu peringatan agar kamu tidak sama.
Dalam setiap hubungan, selalu ada pilihan: menjadi cermin yang jernih atau bayangan yang menggelapkan. Maka, di antara banyak hal yang harus dijaga di zaman yang serba cepat ini, jagalah siapa yang kamu sebut “teman.” Sebab pada akhirnya, seperti kata Imam al-Ghazali, pertemanan bukan hanya tentang dunia—tapi tentang siapa yang kelak menggandeng tanganmu menuju surga.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
