Yerusalem, kota yang disucikan oleh tiga agama samawi, menyimpan sejarah panjang konflik dan koeksistensi. Namun, di tengah narasi yang kompleks ini, tersimpan sebuah babak gemilang yang diukir oleh Khalifah Umar bin Khattab pada abad ke-7 Masehi. Kisah penaklukan Yerusalem oleh pasukan Muslim di bawah kepemimpinan beliau bukan hanya sekadar catatan ekspansi militer, melainkan sebuah manifestasi nyata dari nilai-nilai toleransi, keadilan, dan perlindungan terhadap hak-hak minoritas. Warisan ini terus bergema hingga kini, menjadi teladan penting bagi dunia yang haus akan perdamaian.
Latar Belakang Penaklukan yang Unik
Pada masa itu, Yerusalem berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Bizantium. Setelah pengepungan yang berlangsung selama beberapa waktu, para pemimpin Kristen di kota tersebut sepakat untuk menyerah. Namun, mereka mengajukan satu syarat krusial: penyerahan kota hanya akan dilakukan langsung kepada Khalifah Umar bin Khattab. Permintaan ini menunjukkan betapa besar reputasi keadilan dan integritas Umar yang telah menyebar luas, bahkan di kalangan non-Muslim. Mereka percaya bahwa di tangan Umar, keselamatan dan hak-hak mereka akan terjamin.
Umar, yang saat itu berada di Madinah, menanggapi permintaan tersebut dengan penuh tanggung jawab. Ia melakukan perjalanan menuju Yerusalem, sebuah perjalanan yang sederhana namun sarat makna. Kedatangan beliau disambut dengan penuh hormat oleh para pemimpin Kristen, termasuk Sophronius, Patriark Yerusalem. Momen bersejarah ini menjadi saksi bisu lahirnya sebuah dokumen yang kemudian dikenal sebagai “Piagam Umar” atau “Perjanjian Elia”.
Piagam Umar: Sebuah Monumen Toleransi
Piagam Umar adalah sebuah deklarasi yang menjamin kebebasan beragama dan perlindungan bagi penduduk Yerusalem, khususnya umat Kristen dan Yahudi. Dokumen ini bukanlah sekadar kesepakatan politik; ia merupakan pernyataan prinsip yang mendasari hubungan antara penguasa Muslim dan warga non-Muslim. Dalam piagam ini, Umar secara eksplisit menyatakan:
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah jaminan keamanan yang diberikan oleh hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, kepada penduduk Aelia [Yerusalem]. Beliau memberikan kepada mereka jaminan keamanan atas jiwa mereka, harta benda mereka, gereja-gereja mereka, salib-salib mereka, orang-orang sakit mereka, dan seluruh komunitas mereka. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki, tidak akan dihancurkan, dan tidak akan diambil sedikit pun dari mereka. Tidak seorang pun dari mereka akan dipaksa meninggalkan agamanya, dan tidak seorang pun dari mereka akan diganggu.”
Kutipan ini secara gamblang menunjukkan komitmen Umar untuk menjaga keberadaan komunitas agama lain. Ia tidak hanya menjamin keamanan fisik, tetapi juga kebebasan beribadah dan kepemilikan aset keagamaan. Hal ini sangat kontras dengan praktik-praktik penaklukan pada masa itu, di mana seringkali penguasa baru memaksakan agama atau menghancurkan simbol-simbol keagamaan yang berbeda.
Melampaui Sekadar Kata-kata: Tindakan Nyata Umar
Komitmen toleransi Umar tidak berhenti pada Piagam. Ada beberapa insiden yang secara anekdot maupun historis tercatat, memperkuat citra beliau sebagai pemimpin yang adil dan menghormati keyakinan lain. Salah satu kisah yang paling terkenal adalah ketika Umar diundang untuk shalat di dalam Gereja Makam Kudus. Beliau menolak, dengan alasan bahwa jika beliau shalat di dalamnya, maka umat Islam di kemudian hari akan mengklaim gereja tersebut sebagai masjid.
Sebaliknya, beliau memilih untuk shalat di luar gereja, di sebuah tempat yang sekarang dikenal sebagai Masjid Umar. Tindakan ini merupakan sebuah pelajaran yang mendalam tentang bagaimana seorang pemimpin dapat menjunjung tinggi prinsip kebebasan beragama dan mencegah potensi konflik di masa depan. Keputusan bijaksana ini memastikan bahwa situs suci tersebut tetap menjadi milik umat Kristen, sebuah warisan yang berlanjut hingga hari ini.
Dampak Jangka Panjang dan Relevansi Modern
Jejak toleransi yang ditinggalkan oleh Umar bin Khattab di Yerusalem memiliki dampak yang luar biasa. Selama berabad-abad, umat Kristen dan Yahudi dapat hidup berdampingan dengan umat Muslim di kota suci tersebut, menjalankan ibadah mereka dengan relatif aman. Meskipun ada pasang surut dalam sejarah, fondasi toleransi yang diletakkan oleh Umar tetap menjadi referensi penting.
Kisah Umar di Yerusalem adalah bukti bahwa koeksistensi damai antaragama bukanlah utopia, melainkan sebuah kemungkinan nyata yang dapat diwujudkan melalui kepemimpinan yang berintegritas dan komitmen terhadap keadilan. Di tengah konflik dan ketegangan yang sering melanda dunia modern, terutama di wilayah-wilayah multireligius, warisan Khalifah Umar menawarkan sebuah model inspiratif. Ia mengajarkan pentingnya menghormati perbedaan, melindungi hak-hak minoritas, dan membangun jembatan dialog daripada dinding permusuhan.
Warisan Abadi di Tengah Kota Suci
Hingga kini, Yerusalem tetap menjadi kota yang kompleks, namun semangat toleransi yang diwariskan oleh Umar bin Khattab terus menjadi bagian tak terpisahkan dari identitasnya. Setiap batu, setiap situs suci, seolah menceritakan kembali kisah kepemimpinan yang adil dan inklusif. Kisah ini bukan hanya milik umat Muslim; ia adalah warisan kemanusiaan yang universal, sebuah pengingat bahwa di tengah perbedaan, persatuan dan penghormatan adalah jalan menuju kedamaian sejati.
Mempelajari jejak toleransi Umar bin Khattab di Yerusalem berarti merenungkan nilai-nilai yang esensial bagi peradaban. Ini adalah kisah tentang bagaimana kekuatan militer dapat diiringi dengan kebesaran jiwa, dan bagaimana penaklukan dapat menghasilkan perlindungan serta kebebasan. Warisan ini, lebih dari sekadar sejarah, adalah sebuah pesan abadi bagi kita semua.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
