Surau.co. Kesombongan tidak selalu tampak jelas. Kadang, ia hadir lembut seperti angin yang menyentuh hati tanpa disadari. Abū Bakr Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī dalam Kitab al-Ṭibb al-Rūḥānī menggambarkan kesombongan sebagai penyakit halus yang menempel di jiwa dan perlahan membusukkan hati jika dibiarkan. Menurutnya, kesadaran diri dan pengendalian hati menjadi obat paling mujarab untuk menyembuhkan penyakit tersebut.
Menyadari Kesombongan yang Lembut
Dalam keseharian, manusia sering terjebak dalam bentuk-bentuk kesombongan kecil: ingin dihargai lebih, merasa lebih tahu, atau menilai orang lain dengan rendah. Sekilas tampak biasa, tetapi sebenarnya sikap seperti ini perlahan menggerogoti kejernihan hati. Akibatnya, cara berpikir, berbicara, dan bertindak ikut terdistorsi oleh dorongan ego.
Namun demikian, kesombongan tidak selalu hadir dalam bentuk yang keras. Ia justru kerap bersembunyi dalam kelembutan: dalam senyum yang ingin dipuji, dalam ucapan yang tampak sopan tetapi mengandung rasa lebih tinggi dari orang lain. Al-Rāzī menulis:
“الكبرياء الصامتة أخطر من كل داء ظاهر.”
“Kesombongan yang diam lebih berbahaya daripada penyakit yang terlihat.”
Sikap ini ibarat racun yang menetes perlahan, merusak hubungan dengan sesama dan melemahkan hubungan dengan Tuhan. Lambat laun, seseorang menjadi sulit menerima nasihat dan kehilangan kepekaan spiritual.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر.”
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi kesombongan.” (HR. Muslim)
Hadis ini memperingatkan bahwa bahkan kesombongan sekecil debu pun mampu menutup pintu kebahagiaan sejati.
Penyakit yang Tak Kasatmata, Tapi Menggerogoti
Kesombongan lembut kerap membuat manusia tidak sadar akan bahayanya. Seseorang bisa tersenyum ramah sambil merasa lebih unggul dari orang lain, atau memberi bantuan sambil berharap pujian. Al-Rāzī menulis:
“من لم يعرف كبرياءه لم يعرف دواء نفسه.”
“Barang siapa tidak mengenal kesombongannya, ia tidak akan menemukan obat bagi dirinya.”
Pernyataan itu menjelaskan betapa pentingnya mengenali sisi gelap dalam diri. Tanpa kesadaran, kesombongan tumbuh diam-diam di lingkungan kerja, keluarga, bahkan pertemanan. Akibatnya, manusia kehilangan empati dan membangun tembok halus yang memisahkan dirinya dari kehangatan hubungan sosial.
Di sisi lain, orang yang mau mengakui kekurangannya justru lebih mudah menemukan ketenangan. Sebab, pengakuan membuka ruang untuk bertumbuh dan memperbaiki diri.
Mengolah Hati Agar Tetap Bersih
Untuk menyembuhkan kesombongan, al-Rāzī menekankan pentingnya introspeksi dan pengendalian diri. Menurutnya, logika dan refleksi batin dapat menyingkap sisi gelap yang sering disamarkan oleh senyum dan kata-kata manis.
Ia menulis:
“النفس لا تهتدي إلا بالاعتراف بعيوبها.”
“Jiwa tidak akan menemukan petunjuk kecuali dengan mengakui kekurangannya.”
Karena itu, langkah pertama adalah mengenali niat di balik setiap tindakan. Sebelum berbicara atau bertindak, tanyakan pada diri sendiri: apakah ini murni karena kebaikan, atau karena ingin dipuji? Pertanyaan sederhana itu, bila dijawab jujur, mampu menenangkan hati dan membuka jalan menuju keikhlasan.
Allah berfirman:
“وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا.”
“Dan janganlah engkau berjalan di bumi dengan angkuh; sesungguhnya engkau tidak akan menembus bumi dan tidak akan setinggi gunung.” (QS. Al-Isra: 37)
Ayat ini menegaskan bahwa kesombongan lahir dari lupa: lupa bahwa semua yang kita miliki hanyalah titipan, dan segala kehebatan hanyalah anugerah Tuhan.
Cinta dan Kerendahan Hati Sebagai Obat
Al-Rāzī menulis dengan lembut:
“التواضع والحب يطهران القلب من أدران الكبرياء.”
“Kerendahan hati dan cinta membersihkan hati dari kotoran kesombongan.”
Artinya, cinta dan kerendahan hati adalah dua obat yang bekerja bersamaan. Cinta menumbuhkan empati, sementara kerendahan hati menjaga jiwa agar tidak tinggi hati. Dengan begitu, manusia bisa melihat dunia dari ketinggian yang benar: bukan di atas orang lain, melainkan di atas hawa nafsunya sendiri.
Dalam kehidupan nyata, orang yang rendah hati biasanya lebih disukai, dihormati, dan mampu menciptakan kedamaian di lingkungannya. Sebaliknya, orang yang sombong mudah kehilangan teman, bahkan kehilangan ketulusan dalam ibadah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“من تواضع لله رفعه.”
“Barang siapa merendahkan diri karena Allah, Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim)
Kerendahan hati, dengan demikian, bukan tanda kelemahan. Ia justru bukti kekuatan sejati — kemampuan untuk menguasai diri dan menerima kenyataan bahwa semua manusia setara di hadapan Tuhan.
Langkah Praktis Mengurangi Kesombongan
Kesombongan tidak akan hilang hanya dengan pengetahuan. Ia memerlukan latihan batin yang terus-menerus. Beberapa langkah sederhana dapat membantu:
-
Refleksi diri setiap malam, menilai niat dan tindakan sepanjang hari.
-
Bersyukur tanpa membandingkan diri dengan orang lain.
-
Memberi pujian tulus untuk melatih empati dan kejujuran hati.
-
Mengingat kefanaan hidup, bahwa segalanya akan kembali kepada Tuhan.
Al-Rāzī menulis:
“العلاج يبدأ بالوعي، والوعي ينير الطريق إلى القلب النقي.”
“Penyembuhan dimulai dari kesadaran, dan kesadaran menerangi jalan menuju hati yang murni.”
Oleh sebab itu, semakin sering manusia berlatih sadar, semakin kecil ruang bagi kesombongan untuk tumbuh.
Penutup: Penyakit yang Bisa Disembuhkan
Kesombongan lembut memang sulit dikenali, tetapi bukan berarti tidak dapat disembuhkan. Dengan kesadaran yang jujur, pengendalian hati, dan cinta yang tulus, penyakit ini dapat diubah menjadi pelajaran hidup yang berharga. Al-Rāzī percaya bahwa setiap manusia memiliki kemampuan alami untuk menyucikan hatinya sendiri.
Pada akhirnya, ketika kesombongan sirna, jiwa terasa ringan, hubungan menjadi harmonis, dan hati menikmati kedamaian sejati. Seni menyembuhkan jiwa bukan perjalanan singkat, melainkan proses panjang yang penuh refleksi, cinta, dan kerendahan hati.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
