SURAU.CO– Imam Ahmad bin Hanbal lahir di Baghdad, Irak, tahun 164 H/780 M. Ayahnya menjabat sebagai Wali Kota Sarkhas dan pendukung pemerintahan Abbasiyah. Sejak kecil, al-Imam al-Faqih al-Muhaddits ini sudah kelihatan cerdas. Ia mulai belajar hadis pada usia 16 tahun. Imam asy-Syafi’i mengatakan,
“Ketika aku keluar dari Baghdad, aku tidak meninggalkan di sana orang yang paling ahli tentang fikih, yang paling saleh, paling sederhana, dan paling pandai, kecuali Ahmad bin Hanbal.”
Sementara, Ibnu Madini mengatakan,
“Allah telah menguatkan Islam melalui dua orang; Abu Bakar pada masa pemberontakan kaum murtad, dan Ahmad bin Hanbal pada zaman mihnah (inkuisisi).”
Sewaktu mendengar Imam Ahmad bin Hanbal mengalami penyiksaan, orang-orang bertanya kepada Bisyr bin al-Harts, “Bagaimana jika Anda tampil dan berbicara seperti Ahmad?”
Bisyr bin al-Harts menjawab, “Aku pasti tidak akan mampu. Ahmad itu seperti para nabi.”
Imam Ahmad bin Hanbal saat menerima nasihat Abu Bakar al-Marwazi
Konon, pada waktu Imam Ahmad bin Hanbal mendapat tekanan dan penyiksaan berat, Abu Bakar al-Marwazi pernah menyampaikan nasihatnya:
“Ahmad, mereka memukuli Anda, padahal Allah berfirman, ‘Janganlah kamu binasakan dirimu sendiri.’ “
Mendengar ucapan itu, Imam Ahmad bin Hanbal langsung berdiri dan berkata: “Marwazi, silakan Anda keluar dari sini, dan lihatlah di luar.”
Marwazi pun keluar. “Begitu aku keluar,” kata Marwazi, “aku melihat banyak orang di serambi istana Khalifah. Mereka membawa kertas dan pena. Aku tanyakan, ‘Untuk apa semua ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami menunggu dan akan menulis apa yang dikatakan Ahmad.’ ”
Kemudian, Marwazi kembali lagi menemui Imam Ahmad bin Hanbal sambil menceritakan apa yang terjadi. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan:
“Marwazi, apakah aku menyesatkan mereka? Aku yakin tidak. Biarlah aku mati, asal tidak menyesatkan orang-orang itu.”
Marwazi akhirnya hanya bergumam, “Ia memang laki-laki yang mengorbankan dirinya karena Allah.”
Kedudukan Imam Ahmad bin Hanbal
Qutaibah mengatakan, “Ketika Sufyan ats-Tsauri meninggal dunia, kesalehan hilang bersamanya. Waktu Imam asy-Syafi’i wafat, Sunnah-Sunnah Nabi Saw. ikut tenggelam bersamanya. Dan ketika Imam Ahmad bin Hanbal meninggal, bid’ah bermunculan di mana-mana. Imam Ahmad bin Hanbal, di tengah-tengah umatnya, seakan-akan berfungsi seperti nabi.”
Abu Umar an-Nahhas, begitu mendengar nama Imam Ahmad bin Hanbal ia dengarkan, langsung mendoakan:
“Semoga Allah merahmatinya. Betapa pintarnya dia dalam agama. Betapa sabarnya dan betapa bersahajanya dia. Dia sangat mirip dengan orang-orang saleh dan persis seperti para ulama salaf. Dunia ia tawarkan padanya, tapi dia tolak. Semua bid’ah dia basmi.”
Semua komentar mengenai Imam Ahmad bin Hanbal itu telah membuat nama dan kedudukannya semakin tinggi. Apalagi, kita melihat bahwa mereka yang memberi komentar tersebut bukanlah orang-orang yang mempunyai kepentingan apa pun dan tidak pula karena takut. Ucapan-ucapan itu meluncur dari lubuk hati yang tulus dan karena Allah.
Deretan murid-murid Imam Ahmad bin Hanbal
Di antara sekian banyak orang yang belajar kepada Imam Ahmad bin Hanbal adalah Abdullah bin Ahmad, putranya sendiri; Abdullah bin Sa’id al-Wahsyi, Ahmad bin al-Hasan at-Tirmidzi, Ahmad bin Shalih al-Mishri, Hasan bin Shabah al-Washithi, Abdul Wahhab bin Abdul Hakam al-Warraq, Ishaq bin Hanbal, pamannya, Ishaq bin Ibrahim al-Baghawi, Abu Daud al-Sijistani (penulis kitab As-Sunan), Abu Bakar al-Marwazi, Muhammad bin Ismail at-Tirmidzi, al-Hasan bin Ali al-Iskafi, dan al-Hasan bin Muhammad al-Anmathi.
Pembela hadis yang gigih
Imam Ahmad bin Hanbal terkenal luas sebagai pembela hadis Nabi Saw. yang sangat gigih. Hal ini dapat kita lihat dari cara-cara yang ia gunakan dalam memutuskan hukum. Ia tidak suka menggunakan akal (ra’yu), kecuali dalam keadaan sangat terpaksa atau sangat perlu, serta sebatas jika ia tidak menemukan hadis yang menjelaskannya.
Dasar-dasar fikih Imam Ahmad bin Hanbal
Dalam kitab I’lam al-Muwaqqi’in, Ibnu al-Qayyim mengemukakan dasar-dasar yang Imam Ahmad bin Hanbal pakai dalam memutuskan hukum. Fatwa-fatwa Ahmad berdasar atas lima hal:
Pertama, Nash al-Qur’an dan hadis marfu’. Selama ada teks ini, Ahmad pasti akan memutuskannya berdasarkan teks tersebut. Ia tidak akan mengambil dasar lain dari mana pun dan dari siapa pun. Karena itu, dalam persoalan perempuan yang dicerai ba’in, misalnya, ia tidak memedulikan pendapat Umar bin Khatthab. Hal ini karena masih ada hadis Nabi Saw. dari Fatimah binti Qais. Ahmad tidak juga mendahulukan penggunaan qiyas atau qaul shahabi (pendapat sahabat), dan ia menolak kemungkinan ijma’.
Kedua, fatwa para sahabat. Apabila ia mengetahui ada fatwa salah seorang sahabat Nabi Saw. dan tidak ada fatwa lain yang menandinginya, ia akan mengambilnya. *”Itu bukanlah ijma’,” katanya. Ia mendahulukan fatwa sahabat daripada akal atau qiyas.
Ketiga, apabila terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat Nabi Saw., ia akan memilih pendapat yang lebih dekat dengan bunyi teks al-Qur’an atau hadis, dan tidak akan mencari yang lainnya. Dan apabila tidak jelas, ia akan mengatakan bahwa persoalan tersebut masih diperselisihkan. Jadi, dalam hal ini, ia tidak mengambil kesimpulan apa pun.
Pandangannya mengenai hadis mursal, hadis dha’if dan qiyas
Keempat, hadis mursal dan hadis dha’if. Ini ia tempuh apabila ia tidak menjumpai ada hadis lain yang setingkat. Yang Imam Ahmad maksud dengan hadis dha’if ialah “yang tidak batil,” atau “tidak munkar”, atau yang di dalamnya tidak terdapat perawi yang muttaham. Hadis dha’if menurut Ahmad ia masukkan dalam kategori sahih atau hasan. Ahmad memang tidak membagi kualitas hadis kepada sahih, hasan, dan dha’if, melainkan hanya dua saja; sahih dan dha’if. Jika dalam hal ini tidak terdapat hadis lain yang setingkat atau tidak ada pendapat sahabat dan tidak pula ada kesepakatan sahabat yang menentangnya, ia akan mendahulukannya daripada qiyas.
Kelima Qiyas. Ia memakai dasar hukum ini hanya dalam keadaan tertentu. Dalam arti lain, apabila tidak ada dalil lain, baik dari hadis Nabi Saw., pendapat para sahabat, hadis mursal, ataupun hadis dha’if.”
Selanjutnya, apabila antara dalil-dalil tadi saling bertentangan, Imam Ahmad bin Hanbal akan mengambil jalan tawaqquf (tidak mengambil keputusan apa pun). Bahkan, ia sendiri termasuk orang yang sangat tidak suka bahkan melarang memberikan fatwa dalam hal-hal yang tidak pernah ada dasar dari generasi salaf.
Warisan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal
Sebenarnya, Imam Ahmad bin Hanbal tidak banyak menulis pikiran-pikirannya. Orang yang berperan besar dalam menulis pemikirannya adalah para muridnya, terutama anaknya sendiri; Abdullah bin Ahmad. Ia mengumpulkan berbagai pikiran, fatwa, maupun pendapat sang guru dengan baik.
Dari kumpulan fatwa Imam Ahmad bin Hanbal antara lain kita temukan dalam buku yang ia beri judul Musnad. Buku ini memuat 30.000 hadis Nabi Saw.. Ia menulis bab-babnya berdasarkan nama sahabat Nabi Saw.. Mengenai karya ini, Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan kepada anaknya: “Peliharalah kitab ini baik-baik, kelak ia akan menjadi panduan orang.”
Hanbal bin Ishaq, berkata, “Kitab ini ia tulis bersama-sama Shalih dan Abdullah. Setelah itu, Ahmad bin Hanbal membacakannya kepada kami bertiga dan tidak ada orang lain. Imam Ahmad bin Hanbal ketika itu mengatakan: ‘Isi kitab ini aku pilih dari 750.000 hadis. Apabila ada perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, mereka diharapkan dapat kembali kepada kitab ini, lalu mereka ambil. Di luar itu, tidak dapat dijadikan hujjah (argumen).’ “Abdullah bin Ahmad sendiri mengumpulkan hadis-hadis tersebut pada waktu masih kuliah kepada ayahnya. Kitab Musnad ini telah mereka cetak sejak tahun 1311 H di Kairo dalam 6 jilid.
Karangan Imam Ahmad bin Hanbal yang lain adalah Kitab at-Tafsir (di dalamnya terhimpun 120 ribu hadis), Kitab ash-Shalat (dicetak tahun 1323 H oleh al-Khanji), Ar-Radd ‘ala az-Zanadiqah, Ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah, Fadhail ash-Shahabat, Al-Manasik al-Kabir, Al-Manasik ash-Shaghir, dan As-Sunan. Kitab terakhir ini mengetengahkan prinsip-prinsip akidah Imam Ahmad bin Hanbal.
Sementara itu, beberapa tulisan yang memuat pikiran-pikiran Imam Ahmad bin Hanbal yang para muridnya himpun antara lain Masail Hanbal dan Masail Daud (dicetak tahun 1353 H oleh percetakan Al-Manar).(St.Diyar)
Referensi : Abdullah Musthafa Al-Maraghi, Ensiklopedia Lengkap Ulama Ushul Fiqh Sepanjang Masa, 2020.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
