Surau.co. Dalam kehidupan yang penuh distraksi, mempertahankan konsistensi di jalan kebaikan sering kali terasa lebih sulit daripada memulainya. Banyak orang bisa semangat beribadah setelah mendengar ceramah inspiratif atau usai menghadiri kajian, tapi tak sedikit yang kehilangan semangat setelah beberapa hari. Di sinilah makna istiqamah diuji—bukan dalam euforia, tapi dalam kesunyian usaha sehari-hari.
Istiqamah, secara sederhana, berarti tetap teguh di jalan yang benar meski dihadang godaan dan keletihan. Namun dalam praktiknya, istiqamah bukan hanya perkara mental kuat atau disiplin tinggi. Ia adalah perpaduan antara ketulusan hati, kesadaran diri, dan cinta pada kebenaran.
Generasi Z, yang hidup dalam arus informasi dan kebebasan pilihan, menghadapi ujian istiqamah dengan bentuk baru: dari notifikasi media sosial yang tak henti, hingga godaan hidup instan yang membuat nilai-nilai kebaikan sering tampak “tidak relevan.” Namun, apakah memang sulit istiqamah, atau justru kita belum benar-benar memahami bagaimana seni menjalaninya?
Pesan Al-Qur’an tentang Keteguhan
Al-Qur’an berulang kali menekankan pentingnya istiqamah sebagai tanda keimanan yang sejati. Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata: ‘Tuhan kami adalah Allah’ kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada ketakutan atas mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati.” (QS. Al-Ahqaf [46]: 13)
Ayat ini bukan hanya memuji keyakinan, tapi menegaskan bahwa istiqamah adalah kelanjutan dari iman. Mengucapkan “Tuhan kami adalah Allah” mudah, tetapi bertahan dengan konsisten dalam pengakuan itu membutuhkan kesungguhan luar biasa.
Menariknya, Al-Qur’an tidak menjanjikan bahwa orang istiqamah akan bebas dari cobaan. Justru, cobaan adalah bukti cinta Tuhan, ujian yang mengasah keteguhan. Bagi generasi yang tumbuh di era serba cepat, istiqamah bisa berarti sabar dalam belajar, jujur saat tak diawasi, atau menolak ikut tren yang menyalahi nilai moral. Semua itu, meski tampak sederhana, adalah bentuk perjuangan spiritual yang tinggi nilainya.
Makna Istiqamah Menurut Imam al-Ghazali
Dalam Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa istiqamah bukan hanya tentang mengulang kebiasaan baik, tetapi tentang menjaga niat dan hati agar tetap lurus di setiap langkah. Beliau menulis:
الاستقامة هي الثبات على طريق الحق بلا ميلٍ إلى اليمين أو الشمال
“Istiqamah adalah keteguhan di jalan kebenaran tanpa condong ke kanan atau ke kiri.”
Bagi Imam al-Ghazali, istiqamah bukan berarti tidak pernah salah, melainkan tetap berusaha kembali ke arah yang benar setiap kali tergelincir. Beliau menegaskan bahwa manusia sejati bukanlah yang tidak jatuh, tapi yang setiap kali jatuh, segera bangkit dengan kesadaran baru.
Keterangan ini terasa menenangkan, karena sering kali kita merasa gagal hanya karena tidak sempurna. Padahal, istiqamah bukan tentang kesempurnaan, melainkan tentang kesetiaan pada arah.
Godaan di Zaman Modern: Ketika Lelah Jadi Alasan
Bagi banyak anak muda hari ini, godaan istiqamah datang bukan dari kemaksiatan besar, tapi dari rasa lelah, jenuh, dan kehilangan arah. Konsumsi informasi tanpa batas membuat otak mudah penat, dan hati kehilangan fokus. Sering kali kita bukan malas berbuat baik, tapi kehilangan makna dari kebaikan itu sendiri.
Imam al-Ghazali memahami hal ini jauh sebelum era digital. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau menulis dengan lembut namun tajam:
إِيَّاكَ وَالْغُفْلَةَ فَإِنَّهَا مَبْدَأُ كُلِّ شَرٍّ
“Waspadalah terhadap kelalaian, karena ia adalah awal dari segala keburukan.”
Kelalaian bukan hanya lupa berzikir, tapi juga lupa tujuan. Ketika seseorang hidup tanpa arah, ia mudah tergoda oleh apa pun yang tampak lebih menarik. Maka istiqamah bukan sekadar bertahan di jalan lurus, tapi tetap sadar mengapa kita berjalan di sana.
Konsistensi Kecil yang Menyelamatkan
Rasulullah ﷺ mengajarkan prinsip luar biasa tentang makna istiqamah dalam kehidupan sehari-hari:
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dilakukan terus-menerus meskipun sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini mengajarkan bahwa kebaikan tidak diukur dari besar-kecilnya, tapi dari konsistensinya. Satu doa setiap pagi lebih berharga daripada seribu doa yang hanya diucapkan sekali. Satu sedekah kecil tapi rutin bisa lebih mulia daripada donasi besar yang disertai pamer.
Bagi generasi muda yang sering dituntut serba cepat dan hasil instan, prinsip ini terasa sangat relevan. Istiqamah bukan tentang menjadi “sempurna”, tapi tentang menjadi stabil dalam kebaikan kecil. Dalam hal ini, keikhlasan lebih penting daripada kuantitas.
Seni Bertahan: Belajar dari Diri Sendiri
Menjadi istiqamah memerlukan seni tersendiri: seni menjaga semangat di tengah rutinitas, seni mengatur ulang arah ketika tersesat, dan seni memaafkan diri ketika lemah. Dalam perjalanan spiritual, kita sering naik-turun, tapi selama arah kita tetap menuju kebaikan, maka kita masih berada di jalan lurus.
Imam al-Ghazali mengingatkan bahwa seseorang tidak bisa istiqamah tanpa mengenali kelemahannya sendiri. Beliau berkata:
مَن عَرَفَ نَفْسَهُ عَرَفَ رَبَّهُ
“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”
Kalimat ini menegaskan bahwa kejujuran terhadap diri sendiri adalah kunci istiqamah. Tidak perlu menutupi kegagalan di balik topeng kesalehan, karena kejujuran kepada diri adalah langkah pertama untuk memperbaikinya.
Istiqamah di Dunia yang Tidak Stabil
Dunia yang kita tinggali kini bergerak cepat, terlalu cepat bahkan untuk merenung. Hari ini kita bisa termotivasi setelah melihat video inspiratif, besok kita bisa tenggelam dalam drama kehidupan digital. Istiqamah dalam konteks ini bukan hanya tentang menjaga ibadah, tapi juga tentang menjaga keseimbangan batin di tengah turbulensi hidup.
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan pentingnya keteguhan dalam setiap keadaan:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan.” (QS. Hud [11]: 112)
Perintah ini sederhana tapi berat: tetaplah seperti diperintahkan, bukan seperti yang nyaman. Dalam kalimat itu tersimpan pesan mendalam bahwa istiqamah membutuhkan keberanian untuk melawan arus, bahkan ketika arus itu membawa banyak orang ke arah yang berbeda.
Menjaga Istiqamah dengan Komunitas dan Lingkungan
Imam al-Ghazali menekankan pentingnya lingkungan yang baik untuk menjaga keteguhan. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau menulis bahwa teman dan lingkungan yang saleh adalah “penolong terbesar bagi hati yang ingin tetap hidup.”
Beliau mengibaratkan manusia seperti bara api kecil yang akan padam jika sendirian, tapi tetap menyala jika bergabung dengan bara lain. Karena itu, istiqamah bukan perjuangan soliter. Butuh dukungan, pengingat, dan kadang, pelukan hangat dari sesama pencari kebaikan.
Bagi generasi Z, ini berarti bijak memilih komunitas digital dan sosial. Jika lingkaran pertemanan mendorong pada kebaikan, maka istiqamah bukan lagi beban, melainkan kebiasaan yang menyenangkan.
Ketulusan: Nafas Panjang Istiqamah
Bagi Imam al-Ghazali, rahasia istiqamah bukan terletak pada disiplin semata, tapi pada ketulusan niat. Beliau menerangkan:
مَنْ أَخْلَصَ نِيَّتَهُ اسْتَقَامَ عَمَلُهُ
“Barang siapa memurnikan niatnya, maka amalnya akan istiqamah.”
Konsistensi sejati lahir dari cinta, bukan paksaan. Orang yang berbuat baik karena cinta kepada Allah tidak akan lelah, karena hatinya menikmati apa yang dilakukannya. Sebaliknya, mereka yang berbuat karena gengsi atau tuntutan sosial akan mudah menyerah ketika tidak mendapat pengakuan.
Maka seni istiqamah sejati adalah mencintai kebaikan itu sendiri. Ketika hati sudah mencintai, istiqamah bukan lagi kewajiban, tapi kebutuhan.
Penutup
Menjadi istiqamah tidak berarti hidup tanpa jatuh. Justru dalam setiap jatuh, kita menemukan makna baru dari perjuangan. Dalam setiap ragu, kita belajar bahwa iman butuh diperbarui. Dalam setiap kegagalan, kita disadarkan bahwa Allah tidak menilai hasil, tapi kesungguhan.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah [94]: 6)
Ayat ini bukan sekadar penghiburan, tapi janji bahwa istiqamah tak pernah sia-sia. Setiap langkah kecil di jalan lurus tercatat sebagai bukti kesetiaan, bahkan jika tak ada yang melihat.
Maka bertahanlah, meski perlahan. Luruslah, meski sendirian. Karena istiqamah bukan soal siapa yang paling cepat mencapai akhir, tetapi siapa yang tetap melangkah meski godaan tak pernah reda.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
