Khazanah
Beranda » Berita » Menjauhi Syubhat: Zona Abu-Abu yang Bisa Menjerumuskan Menurut Kitab Bidayatul Hidayah

Menjauhi Syubhat: Zona Abu-Abu yang Bisa Menjerumuskan Menurut Kitab Bidayatul Hidayah

Ilustrasi simbolik tentang konsep syubhat menurut Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah
Lukisan realistik-filosofis seorang pemuda berdiri di antara dua sisi — terang dan gelap — dengan garis kabur di tengahnya. Ia berjalan pelan sambil menatap cahaya kecil di kejauhan, simbol dari kehati-hatian dan pencarian kebenaran.

Surau.co. Dalam kehidupan modern yang serba cepat ini, kita sering dihadapkan pada pilihan yang tidak sepenuhnya jelas. Ada yang tampak baik tapi terasa janggal, ada pula yang tampak sepele tapi menyisakan gelisah di hati. Inilah yang disebut wilayah syubhat — zona abu-abu antara halal dan haram, yang bagi sebagian orang terlihat aman, padahal di dalamnya tersimpan jebakan halus bagi hati.

Generasi Z, yang tumbuh di tengah teknologi dan informasi instan, sering kali dihadapkan pada situasi seperti ini. Misalnya, menerima endorse produk tanpa tahu jelas sumber dan etikanya, menggunakan aplikasi bajakan “karena semua orang juga begitu,” atau menyebar konten yang tidak sepenuhnya benar hanya demi viral. Semuanya tampak biasa — tapi apakah benar-benar aman secara moral?

Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah berkata dengan nada peringatan yang halus namun tajam:

وَاتَّقِ الشُّبُهَاتِ فَإِنَّهَا تُفْسِدُ الدِّينَ كَمَا يُفْسِدُ السِّمُّ الْبَدَنَ
“Jauhilah perkara syubhat, karena ia merusak agama sebagaimana racun merusak tubuh.”

Bagi al-Ghazali, syubhat bukan sekadar persoalan halal-haram, melainkan refleksi tentang kepekaan hati. Ia seperti racun tanpa warna — tidak terasa, tapi perlahan mematikan kesucian jiwa.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Pandangan Al-Qur’an tentang Kehati-hatian

Al-Qur’an mengajarkan prinsip kehati-hatian agar manusia tidak terjebak pada hal yang meragukan. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba jika kamu benar-benar beriman.” (QS. Al-Baqarah [2]: 278)

Ayat ini mengajarkan bahwa meninggalkan hal yang meragukan adalah bentuk ketakwaan. Tak jarang, sesuatu tidak tampak haram secara eksplisit, namun jika mendekati wilayah dosa, Islam menyarankan untuk menjauh — bukan karena takut semata, tetapi karena hati adalah cermin iman.

Menjauhi syubhat bukan berarti takut berlebihan, melainkan memilih selamat daripada menyesal. Karena iman tidak hanya hidup di logika, tetapi juga di rasa hati.

Hadis Tentang Syubhat: Batas Tipis yang Menentukan

Rasulullah ﷺ pernah memberikan panduan yang sangat relevan untuk memahami konsep syubhat. Beliau bersabda:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

إِنَّ الحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ، لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara yang samar (syubhat), yang tidak diketahui oleh banyak manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa kehidupan manusia tidak hanya terdiri dari dua warna — hitam dan putih — tetapi juga abu-abu yang menuntut kebijaksanaan.

Generasi sekarang hidup di tengah abu-abu moral yang lebih kompleks dari sebelumnya. Kita hidup di era algoritma yang menyesuaikan isi feed dengan selera pribadi, kadang membuat kita tak sadar sedang melanggar nilai-nilai. Menurut Imam al-Ghazali, orang beriman seharusnya lebih berhati-hati terhadap apa yang belum jelas statusnya, karena di sanalah ujian ketulusan hati berada.

Syubhat dalam Kehidupan Sehari-hari Generasi Z

Coba kita renungkan. Apakah menonton konten hiburan yang mengandung sedikit nilai negatif bisa disebut dosa? Atau membeli barang KW karena harganya terjangkau, padahal tahu itu melanggar hak cipta?

Inilah bentuk syubhat di zaman modern: perkara yang tampak ringan, tapi samar dalam moralitasnya.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Imam al-Ghazali menyebut bahwa seseorang yang ingin menjaga hatinya harus menjauh bahkan dari hal-hal yang tidak pasti. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau berkata:

مَنْ تَوَقَّى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ
“Barang siapa menjauhi perkara syubhat, maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya.”

Kalimat ini menggambarkan kedewasaan spiritual: bahwa orang bijak tidak hanya menghindari dosa besar, tapi juga menjauh dari area abu-abu yang bisa menyeretnya ke arah dosa.

Bahaya Zona Abu-Abu: Ketika Hati Tak Lagi Peka

Syubhat berbahaya bukan karena hukumnya belum jelas, tetapi karena ia menumpulkan hati.Ketika seseorang terlalu sering melangkah di wilayah abu-abu, batas moral dalam dirinya menjadi kabur. Ia tidak lagi merasa bersalah, bahkan menganggap kewajaran sebagai kebenaran. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa dosa yang tidak jelas ini membuat hati gelap:

وَإِذَا أَظْلَمَ الْقَلْبُ لَمْ يُبْصِرِ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ
“Apabila hati menjadi gelap, ia tidak lagi mampu melihat mana yang benar dan mana yang batil.”

Itulah sebabnya, banyak orang yang awalnya hanya “menoleransi sedikit keburukan,” akhirnya tenggelam di dalamnya. Hati yang terbiasa dengan syubhat perlahan kehilangan sensitivitas terhadap dosa.

Menguji Niat di Tengah Godaan Dunia Digital

Imam al-Ghazali menulis bahwa cara paling efektif menjauhi syubhat adalah dengan menjaga niat dan menata hati.

Dalam era digital, ujian syubhat hadir dalam bentuk baru: konten yang mengundang niat pamer, niat ingin viral, atau niat mencari validasi. Bahkan ibadah bisa terkontaminasi bila niatnya bergeser dari Allah ke pengakuan manusia.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Niat yang bersih membuat seseorang waspada terhadap perkara yang tidak jelas. Sebaliknya, niat yang rusak membuat seseorang mudah membenarkan hal yang salah dengan alasan yang tampak logis.

Kehati-hatian: Ciri Orang Berilmu

Menariknya, Imam al-Ghazali tidak menuntut umat Islam untuk menjadi kaku dalam bersikap. Beliau justru mengajarkan keseimbangan antara akal, hati, dan iman. Orang berilmu, kata beliau, adalah yang berhati-hati tanpa berlebihan, dan berani tanpa gegabah.

إِذَا أَشْكَلَ عَلَيْكَ أَمْرٌ فَاتْرُكْهُ، فَإِنَّ السَّلَامَةَ فِي التَّرْكِ
“Jika suatu perkara membuatmu ragu, maka tinggalkanlah, karena keselamatan ada dalam meninggalkannya.”

Prinsip sederhana ini sangat relevan bagi generasi muda yang hidup di tengah derasnya pilihan moral. Bukan semua hal harus dicoba, dan tidak setiap peluang harus diambil. Terkadang, kebijaksanaan justru terletak pada kemampuan menahan diri.

Syubhat dan Ketenangan Hati

Menjauhi syubhat bukan hanya soal ketaatan, tapi juga soal kedamaian batin. Ketika kita menjauhi hal-hal yang meragukan, hati menjadi lebih tenang karena tidak dihantui rasa bersalah. Rasulullah ﷺ bersabda:

دَعْ مَا يُرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يُرِيبُكَ
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, menuju apa yang tidak meragukanmu.” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini bisa kita jadikan panduan sehari-hari. Misalnya, ketika ragu apakah sebuah tindakan itu etis atau tidak, cukup tanya: Apakah aku akan tenang jika melakukannya? Jika jawabannya tidak, mungkin itu tanda bahwa tindakan tersebut berada di wilayah syubhat.

Menjauhi Syubhat Sebagai Jalan Kematangan Spiritual

Dalam Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali menggambarkan perjalanan spiritual sebagai tangga. Pada tahap awal, seseorang belajar meninggalkan dosa besar. Namun pada tingkat yang lebih tinggi, ia belajar menjauhi syubhat.

Inilah bentuk kematangan iman: bukan lagi hanya takut pada dosa, tapi juga sensitif terhadap hal-hal yang bisa menjauhkan dari Allah.

الْمُتَّقِي مَنْ تَرَكَ الْمُبَاحَ حَذَرًا مِنَ الْمَكْرُوهِ
“Orang yang bertakwa adalah yang meninggalkan hal-hal mubah karena khawatir terjerumus pada yang makruh.”

Kalimat ini mengajarkan bahwa ketakwaan tidak selalu diukur dari jumlah ibadah, tetapi dari ketelitian hati dalam menjaga diri.

Refleksi: Hidup di Dunia yang Serba Abu-Abu

Generasi Z hidup di zaman yang membingungkan: segalanya bercampur, antara benar dan salah, antara hiburan dan ibadah, antara ekspresi dan provokasi. Tapi mungkin, justru di sinilah latihan iman yang sesungguhnya.

Imam al-Ghazali tidak menuntut kita menjadi malaikat yang tak pernah salah. Beliau hanya mengajak untuk lebih peka terhadap rasa hati. Jika sesuatu menimbulkan kegelisahan, mungkin itu pertanda agar kita berhenti sejenak dan menimbang ulang.

Menjauhi syubhat bukan berarti menjauh dari dunia, tapi belajar berjalan hati-hati di dalamnya — agar langkah kita tidak tersesat di jalan yang samar.

Penutup

Hidup ini tidak hanya berisi terang dan gelap, tapi juga bayangan di antaranya. Di situlah ujian sejati berada. Orang bijak tidak mencari cahaya dengan memadamkan bayangan, tapi dengan menjaga agar dirinya tetap lurus di tengah keduanya.

Menjauhi syubhat bukan berarti menolak dunia, tapi menjaga agar hati tetap bersih di tengah kekacauan moral. Sebab, sebagaimana racun dalam air jernih, sedikit saja kelalaian bisa mengubah kejernihan menjadi keruh.

وَمَن يُوَقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Barang siapa dijauhkan dari sifat kikir (dan ketamakan) dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr [59]: 9)

Semoga kita menjadi bagian dari mereka yang selamat — bukan karena banyaknya amal, tetapi karena kejujuran hati untuk menjauhi yang meragukan, meski tampak sepele di mata manusia.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement