Khazanah
Beranda » Berita » Jangan Percaya Semua yang Dikatakan Nafsu

Jangan Percaya Semua yang Dikatakan Nafsu

manusia berdiri di antara badai dan cahaya sebagai simbol pertarungan antara nafsu dan akal
ilustrasi realis menggambarkan manusia dalam perenungan antara dua kekuatan batin — nafsu yang gelap dan akal yang bercahaya

Surau.co. Di dalam diri manusia ada suara yang lembut namun berbahaya—ia pandai membujuk, pintar menipu, dan tak pernah lelah membenarkan dirinya sendiri. Suara itu adalah nafsu. Abū Bakr Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī, sang tabib besar dari Persia, menulis dalam Kitab al-Ṭibb al-Rūḥānī bahwa sebagian besar penyakit jiwa berawal dari kepercayaan yang berlebihan pada bisikan nafsu.

Bagi al-Rāzī, manusia bukanlah makhluk yang sekadar bernafas dan berpikir, melainkan makhluk yang terus diuji oleh tarik-menarik antara akal dan syahwat. Ia berkata,

“النفس تميل إلى اللذة وإن كانت مضرة، والعقل يكرهها وإن كانت محبوبة.”
“Jiwa condong kepada kenikmatan walau itu berbahaya, sementara akal menolaknya meski tampak menyenangkan.”

Keseimbangan antara keduanya menentukan apakah seseorang hidup dalam kedamaian atau keterpurukan.

Ketika Nafsu Menyamar Menjadi Kebutuhan

Dalam keseharian, sering kali kita tertipu oleh wajah lembut nafsu. Ia datang membawa alasan-alasan rasional: “Aku butuh ini,” “Aku pantas mendapatkannya,” atau “Semua orang juga melakukannya.” Padahal, di balik itu tersembunyi keinginan yang tak pernah puas.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Al-Rāzī menulis:

“من أطاع شهوته ذل، ومن ملكها عزّ.”
“Barang siapa menuruti hawa nafsunya, ia akan hina; dan siapa yang menguasainya, ia akan mulia.”

Betapa benar kalimat itu. Kita hidup di zaman di mana kesenangan bisa dibeli, perhatian bisa disewa, dan validasi bisa dicari di layar kaca. Nafsu menyamar sebagai kebutuhan psikologis, padahal ia hanyalah rasa lapar tanpa ujung.

Namun, manusia tetap punya kuasa untuk memilih. Dalam diri kita, akal dan hati adalah dua lentera yang bisa menyingkap tipuan gelap dari nafsu. Ketika keduanya berpadu, kita mampu melihat mana yang benar-benar perlu, dan mana yang hanya pelarian.

Akal Sebagai Penuntun Jiwa

Bagi al-Rāzī, akal adalah tabib spiritual. Ia menyembuhkan jiwa dengan ilmu, menenangkan hati dengan pemahaman, dan mengarahkan perilaku menuju kebaikan. Tanpa akal, manusia berjalan seperti pengembara tanpa peta.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Dalam al-Ṭibb al-Rūḥānī ia menulis:

“العقل هو الذي يميز بين الخير والشر، ويهدي إلى الفضيلة، ويمنع من الرذيلة.”
“Akal adalah yang membedakan antara kebaikan dan keburukan, membimbing pada kebajikan, dan mencegah dari kehinaan.”

Kutipan ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga kejernihan berpikir. Banyak orang terperosok dalam penyesalan bukan karena tak tahu mana yang benar, tetapi karena mereka mengabaikan suara akal dan memilih suara nafsu yang lebih manis.

Rasulullah ﷺ pun pernah bersabda:

“لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِندَ الْغَضَبِ.”
“Bukanlah orang kuat itu yang pandai bergulat, tetapi yang kuat adalah yang mampu menguasai dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Hadis ini selaras dengan nasihat al-Rāzī. Menguasai diri adalah bentuk tertinggi dari kekuatan spiritual. Sebab, pertempuran terbesar tidak terjadi di medan perang, melainkan di dalam dada.

Menjaga Ketenangan di Tengah Badai Keinginan

Hidup tidak akan pernah bebas dari keinginan. Namun, keinginan yang tak terkendali akan menjerat manusia dalam kegelisahan yang terus bertambah. Setiap kali satu nafsu terpenuhi, nafsu lain muncul dengan wajah baru.

Al-Rāzī memperingatkan:

“من تعود كثرة الشهوات لم يزل في نقص من عقله وفضيلته.”
“Barang siapa terbiasa menuruti banyak keinginan, maka akalnya dan kebajikannya akan terus berkurang.”

Kata “naks” (berkurang) dalam kalimat itu adalah peringatan lembut: bahwa menuruti semua keinginan tidak hanya mengurangi kebijaksanaan, tetapi juga mengikis martabat batin.

Namun, menahan diri bukan berarti menolak kebahagiaan. Justru, dengan mengekang nafsu, seseorang menemukan kebahagiaan yang lebih dalam—kebahagiaan yang tidak bergantung pada apa yang dimiliki, melainkan pada kedamaian yang tumbuh dari dalam.

Al-Qur’an mengajarkan:

“وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ، فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ.”
“Dan ia menahan diri dari keinginan hawa nafsu, maka sungguh surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Nāzi‘āt: 40–41)

Ayat ini menegaskan bahwa mengendalikan nafsu bukan sekadar pilihan moral, tapi jalan menuju ketenangan abadi.

Melatih Diri untuk Mendengarkan Akal

Dalam kehidupan sehari-hari, latihan melawan nafsu bukan sekadar menjauh dari hal-hal haram, tapi juga dari segala yang membuat akal tumpul: amarah yang tak perlu, iri yang membakar, atau penyesalan yang berulang.

Caranya sederhana—tapi tidak mudah: berhenti sejenak sebelum bereaksi. Ketika hati mulai tergoda oleh sesuatu yang tampak manis, tanyakan: Apakah ini kebutuhan jiwa, atau hanya bisikan nafsu yang ingin menang?

Al-Rāzī mengajarkan introspeksi sebagai metode pengobatan diri. Ia menulis:

“راقب نفسك في كل حال، فإنها عدوة لك إن لم تكن عليها حاكماً.”
“Awasilah dirimu dalam setiap keadaan, karena ia bisa menjadi musuhmu jika engkau tidak memerintahinya.”

Merenungi kalimat ini, kita belajar bahwa disiplin bukan bentuk pengekangan, melainkan cara untuk menjadi merdeka.

Penutup: Jiwa yang Merdeka

Ketika manusia berhenti mempercayai semua yang dikatakan nafsu, ia mulai mendengar suara akalnya sendiri—suara yang tenang, jernih, dan menuntun pada kebijaksanaan. Di situlah awal dari kemerdekaan batin.

Seperti ladang yang subur setelah hujan, jiwa yang dikuasai akal akan menumbuhkan kebahagiaan yang tidak mudah layu. Maka, sebagaimana pesan al-Rāzī, jangan percayai semua bisikan nafsu. Dengarkan akalmu, dan biarkan ia menjadi penuntun dalam perjalanan menuju kedamaian sejati.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement