Surau.co. Kebahagiaan sering kali dikejar ke luar diri, seolah tumbuh di taman orang lain. Namun, dalam pandangan Abū Bakr Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī dalam Kitab al-Ṭibb al-Rūḥānī, kebahagiaan bukan hadiah dunia luar, melainkan hasil pengolahan batin yang cerdas dan sadar. Seperti ladang yang digarap dengan sabar, jiwa manusia dapat menumbuhkan kebahagiaan jika ia memahami bagaimana menanamnya di ladang akal.
Al-Rāzī, seorang filsuf dan tabib besar, memandang akal sebagai “penyembuh tertinggi”. Ia percaya bahwa penyakit jiwa tidak kalah nyata dibanding penyakit tubuh. Maka, tugas manusia bukan hanya menyehatkan raga, tetapi juga menata pikiran agar menghasilkan keseimbangan.
Menyadari Luka yang Tak Terlihat
Dalam kehidupan modern yang serba cepat, banyak orang hidup dalam kelelahan batin. Kita sering tampak sehat, tapi di balik tawa ada kepenatan jiwa yang tak terucap. Di sinilah al-Rāzī memulai pesannya—bahwa setiap gejala batin perlu dikenali dengan jujur, sebagaimana tabib mengenali sumber demam.
Ia menulis dalam al-Ṭibb al-Rūḥānī:
“اعلم أن أول الدواء معرفة الداء.”
“Ketahuilah bahwa permulaan dari setiap pengobatan adalah mengenali penyakit itu sendiri.”
Kata-kata ini terdengar sederhana, namun penuh makna. Banyak penderitaan lahir bukan dari besarnya ujian, tapi dari ketidaktahuan akan akar luka. Orang sering mengobati gelisah dengan hiburan, padahal sumbernya adalah pikiran yang tak berdamai.
Keseimbangan antara Akal dan Nafsu
Menurut al-Rāzī, akal harus menjadi pengendali nafsu, bukan sebaliknya. Bila hawa nafsu dibiarkan memimpin, jiwa menjadi budak keinginan. Namun, jika akal memimpin dengan bijak, kebahagiaan menjadi buah yang matang dari pohon kesadaran.
Dalam satu bagian ia menulis:
“العقل طبيب النفس، والهوى داؤها، فإن اتبعته مرضت، وإن خالفته صحت.”
“Akal adalah tabib bagi jiwa, sedangkan hawa nafsu adalah penyakitnya. Jika engkau mengikutinya, engkau akan sakit; jika engkau menentangnya, engkau akan sembuh.”
Kutipan ini adalah pelajaran besar bagi siapa pun yang mencari ketenangan. Di tengah derasnya keinginan dan hasrat konsumtif, manusia butuh keberanian untuk menolak yang berlebih. Sebab, tidak semua yang menyenangkan menyehatkan. Kadang yang pahit justru menyembuhkan.
Mengobati Jiwa dengan Kesadaran
Al-Rāzī tidak sekadar memerintahkan manusia untuk “berpikir positif”. Ia justru mengajak kita mengenali mekanisme batin yang menciptakan penderitaan. Dalam kitabnya ia menulis:
“من لم يعرف مقدار الأشياء لم يسلم من الإفراط والتفريط.”
“Barangsiapa tidak mengetahui kadar sesuatu, ia tidak akan selamat dari sikap berlebihan maupun kekurangan.”
Artinya, kebahagiaan lahir dari kesadaran tentang proporsi. Makan secukupnya, mencintai sewajarnya, bekerja tanpa melupakan istirahat—semua adalah bentuk kebijaksanaan akal dalam menjaga harmoni.
Rasulullah ﷺ pun menegaskan keseimbangan ini:
قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: “إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ.”
“Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak atasmu, dirimu memiliki hak atasmu, dan keluargamu memiliki hak atasmu, maka berikanlah kepada setiap yang berhak akan haknya.” (HR. Bukhari)
Hadis ini selaras dengan pandangan al-Rāzī: bahwa kebahagiaan bukanlah hasil pemaksaan diri untuk selalu gembira, tetapi kemampuan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Tentang Ketenangan yang Tidak Bisa Dibeli
Dalam refleksinya yang mendalam, al-Rāzī mengingatkan bahwa harta dan kedudukan sering kali menipu manusia dari kebahagiaan sejati. Ia menulis:
“من طلب السرور في المال لم يزل مهموماً، ومن طلبه في العقل وجده دائماً.”
“Barangsiapa mencari kebahagiaan dalam harta, ia takkan lepas dari kesedihan; namun siapa yang mencarinya dalam akal, ia akan menemukannya selamanya.”
Betapa dalam pesan ini. Manusia modern sering terjebak dalam perlombaan tanpa garis akhir—mengejar lebih banyak, tanpa tahu apa yang sebenarnya dicari. Padahal kebahagiaan bukanlah hasil dari kepemilikan, melainkan kedewasaan berpikir.
Di sinilah makna menanam kebahagiaan di ladang akal. Sebab akal yang sehat mampu menumbuhkan ketenangan di tengah gersangnya dunia.
Refleksi: Merawat Akal, Merawat Jiwa
Kita bisa belajar dari cara al-Rāzī menyatukan logika dan spiritualitas. Baginya, kebahagiaan tidak cukup dicapai dengan doa tanpa tindakan, atau ilmu tanpa perenungan. Ia adalah hasil dari sinergi keduanya.
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
“قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا.”
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9–10)
Ayat ini adalah kunci dari seluruh pesan al-Ṭibb al-Rūḥānī: bahwa jiwa perlu disucikan, bukan dengan melarikan diri dari dunia, tapi dengan menatanya melalui akal yang tercerahkan.
Al-Rāzī tidak menolak dunia, ia hanya mengingatkan agar dunia tidak menawan pikiran. Karena hanya akal yang merdeka mampu menciptakan kebahagiaan sejati.
Penutup: Saat Akal Menjadi Taman
Menanam kebahagiaan di ladang akal berarti belajar menikmati kehidupan dengan penuh kesadaran. Seperti petani yang sabar menunggu panen, kita perlu menanam pikiran baik, menyiangi prasangka, dan menyirami hati dengan pengetahuan yang menenangkan.
Sebab, sebagaimana kata al-Rāzī, kebahagiaan bukanlah hadiah, melainkan hasil dari pengolahan diri yang terus-menerus. Dan siapa pun yang menanam dengan akal yang jernih, akan menuai kedamaian yang abadi.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
