Khazanah
Beranda » Berita » Menghindari Ghibah: Menjaga Kehormatan Orang Lain

Menghindari Ghibah: Menjaga Kehormatan Orang Lain

Ilustrasi simbolik tentang bahaya ghibah dan pentingnya menjaga ucapan menurut Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah.
Ilustrasi filosofis seorang manusia duduk di depan cermin, dari mulutnya keluar asap hitam berbentuk wajah orang lain. Warna dominan: abu gelap dan keemasan lembut, menggambarkan refleksi dan penyesalan.

Surau.co. Di era media sosial, berbicara tentang orang lain seolah jadi kegiatan sehari-hari. Dari gosip selebritas hingga drama teman kantor, semuanya jadi bahan obrolan ringan yang terasa “tidak berbahaya.” Bahkan, generasi Z sering menyebutnya dengan istilah spill, tea, atau curhat receh. Namun, di balik itu semua, ada satu hal yang sering terlupakan: ghibah.

Dalam Islam, ghibah bukan sekadar kebiasaan buruk, tapi dosa besar yang bisa merusak amal. Al-Qur’an dengan tegas menggambarkannya :

وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentu kamu merasa jijik.” (QS. Al-Hujurat [49]: 12)

Ghibah, menurut ayat ini, bukan hanya salah ucap — ia adalah bentuk kanibalisme moral. Saat kita membicarakan aib seseorang, sejatinya kita sedang memakan kehormatannya, bahkan tanpa izin.

Makna Ghibah Menurut Imam al-Ghazali

Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah menjelaskan bahwa ghibah adalah menyebut sesuatu tentang orang lain yang tidak ia sukai jika didengar, baik benar maupun salah. Beliau menulis:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

الْغِيبَةُ أَنْ تَذْكُرَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ وَلَوْ كَانَ فِيهِ
“Ghibah adalah ketika engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia benci, meski hal itu benar adanya.”

Dengan kata lain, ghibah bukan diukur dari kebenaran isi ucapan, tapi dari niat dan akibatnya. Bahkan jika fakta yang disampaikan benar, tetap termasuk ghibah bila disampaikan tanpa manfaat yang sahih. Imam al-Ghazali kemudian menambahkan bahwa ghibah lebih berbahaya daripada zina, karena dosa zina bisa diampuni dengan tobat kepada Allah, sedangkan ghibah butuh permintaan maaf dari orang yang digunjing.

Pandangan ini membuat kita sadar: yang keluar dari lisan tidak pernah benar-benar “netral.” Ia bisa menyelamatkan atau menjerumuskan.

Ghibah dalam Dunia Digital

Jika di masa lalu ghibah terjadi di warung kopi atau beranda rumah, kini ia menjelma di group chat, kolom komentar, dan Twitter thread. Kita mungkin tidak menyebut nama secara langsung, tapi sindiran, story, atau komentar sarkastik sudah cukup menebar bara kecil dalam hubungan sosial.

Imam al-Ghazali mungkin tidak hidup di era scroll tanpa henti, tapi pesannya tetap relevan. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau menulis:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

فَاحْفَظْ لِسَانَكَ مَا اسْتَطَعْتَ فَإِنَّهُ أَخْطَرُ أَعْضَائِكَ
“Jagalah lidahmu sekuat yang kau mampu, karena ia adalah anggota tubuhmu yang paling berbahaya.”

Bagi generasi yang terbiasa mengekspresikan opini di dunia digital, nasihat ini terdengar seperti pengingat keras: berhati-hatilah, karena “lidah virtual” pun punya konsekuensi nyata.

Mengapa Ghibah Terasa Menyenangkan?

Secara psikologis, manusia cenderung merasa “lebih baik” saat membicarakan kelemahan orang lain. Ghibah memberi sensasi kekuasaan sosial, seolah kita tahu lebih banyak, lebih benar, atau lebih tinggi. Namun, rasa “menang” itu sesungguhnya palsu.

Rasulullah ﷺ bersabda:

ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ غِيبَةٌ
“Menyebut saudaramu dengan hal yang ia benci adalah ghibah.” (HR. Muslim)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Dalam hadis lain, beliau bersabda:

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ، وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ
“Iman seorang hamba tidak akan lurus sampai hatinya lurus, dan hatinya tidak akan lurus sampai lisannya lurus.” (HR. Ahmad)

Artinya, setiap kali lidah tergelincir dalam ghibah, iman pun terguncang. Ghibah bukan sekadar soal etika sosial, tapi soal kebersihan hati. Orang yang gemar menggunjing sesungguhnya sedang menumpahkan racun ke dalam dirinya sendiri.

Ketika Ghibah Dibungkus Amal Baik

Salah satu jebakan halus dalam ghibah adalah menyelipkannya dalam bentuk “nasihat” atau “kekhawatiran.” Misalnya, kalimat seperti, “Aku kasihan sama dia, ya, tapi memang dari dulu agak sombong.” Kalimat ini terdengar empatik, padahal menyimpan racun. Imam al-Ghazali mengingatkan bahwa bentuk ghibah bisa sangat lembut, bahkan disamarkan dalam doa atau kepedulian semu.

Beliau menerangkan:

إِيَّاكَ أَنْ تَتَسَتَّرَ بِذِكْرِ اللَّهِ وَذِكْرِ الدِّينِ فِي الْغِيبَةِ
“Waspadalah dari menutupi ghibah dengan menyebut nama Allah atau alasan agama.”

Ghibah seperti ini sering terjadi di lingkungan yang tampak religius. Kita merasa sah mengomentari orang lain “demi kebaikan,” padahal hatinya justru merasa lebih suci. Padahal, seperti kata al-Ghazali, tidak ada racun yang lebih halus daripada merasa diri lebih baik.

Dampak Sosial dari Ghibah

Ghibah tidak hanya merusak hubungan dua orang, tapi juga ekosistem sosial. Ia menumbuhkan rasa tidak percaya, menciptakan permusuhan diam-diam, dan menebar prasangka. Dalam lingkungan kerja, kampus, atau komunitas, ghibah bisa menghancurkan solidaritas yang dibangun bertahun-tahun.

Lebih dalam lagi, ghibah melemahkan kemampuan kita untuk berempati. Saat seseorang jadi bahan gunjingan, kita belajar untuk mengobjektifikasi manusia lain — melihatnya bukan sebagai pribadi utuh, tapi sekadar topik menarik. Lama-lama, kita kehilangan kemampuan mencintai tanpa menghakimi.

Menghindari Ghibah di Dunia Nyata dan Maya

Menjaga diri dari ghibah memang tidak mudah, apalagi di era digital yang serba terbuka. Namun, Imam al-Ghazali memberikan beberapa latihan sederhana dalam Bidayatul Hidayah:

  1. Tahan diri sebelum bicara.
    Tanyakan tiga hal: Apakah ini benar? Apakah ini perlu? Apakah ini bermanfaat? Jika salah satu jawabannya “tidak,” diam adalah pilihan terbaik.
  2. Alihkan pembicaraan.
    Ketika orang lain mulai bergosip, ubah topik dengan hal yang lebih ringan atau lucu. Diam bukan berarti setuju, tapi cara elegan untuk keluar dari dosa berjamaah.
  3. Ingat aib diri sendiri.
    Al-Ghazali menulis:

مَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ عَنْ عُيُوبِ النَّاسِ فَهُوَ الْحَكِيمُ
“Barang siapa sibuk memperbaiki aib dirinya sendiri hingga lupa aib orang lain, dialah orang yang bijak.”

Orang yang sibuk memperbaiki diri tidak sempat mengurus kesalahan orang lain.

Ghibah dan Kesehatan Mental

Menariknya, menghindari ghibah bukan hanya urusan moral, tapi juga kesehatan mental. Penelitian psikologi menunjukkan bahwa orang yang sering bergosip negatif cenderung memiliki tingkat stres dan kecemasan lebih tinggi. Menggunjing orang lain membuat otak kita terus memutar ulang perasaan negatif: iri, marah, atau benci.

Sebaliknya, membiasakan berbicara hal positif meningkatkan hormon dopamin dan memperkuat hubungan sosial yang sehat. Dalam konteks spiritual, hal ini selaras dengan prinsip Islam: kata yang baik adalah sedekah. Rasulullah ﷺ bersabda:

وَالكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Kata yang baik adalah sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, setiap kali kita menahan lidah dari ghibah, kita bukan hanya menghindari dosa, tapi juga sedang bersedekah kepada diri sendiri dengan menjaga ketenangan batin.

Ketika Lidah Jadi Cermin Hati

Lidah adalah jendela hati. Apa yang keluar darinya menunjukkan apa yang ada di dalam dada. Al-Ghazali menyebut ghibah sebagai tanda hati yang kotor — karena seseorang yang damai tidak akan menikmati kejatuhan orang lain.

Dalam kehidupan sehari-hari, menjaga lidah berarti belajar empati: memahami bahwa setiap orang punya perjuangan dan luka yang tidak selalu terlihat. Kita mungkin melihat kesalahannya, tapi tidak tahu apa yang membuatnya sampai di titik itu.

Menghindari ghibah bukan soal membenarkan semua orang, tapi tentang memilih untuk tidak memperkeruh dunia yang sudah cukup bising dengan kebencian.

Menjaga Kehormatan Orang Lain Adalah Menjaga Dirimu

Ketika kita menjaga kehormatan orang lain, sebenarnya kita sedang menjaga kehormatan diri sendiri. Dalam logika spiritual, setiap perbuatan akan kembali pada pelakunya. Orang yang suka membuka aib orang lain akan melihat aibnya terbuka suatu hari nanti. Sebaliknya, siapa yang menutupinya akan dilindungi Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
“Barang siapa menutupi aib seorang Muslim, Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat.” (HR. Muslim)

Menjaga lidah bukan hanya bentuk ibadah, tapi juga investasi sosial dan spiritual. Setiap kata yang kita tahan adalah benteng bagi harga diri kita sendiri.

Penutup

Dalam dunia yang ramai oleh komentar, thread, dan gosip, diam bisa jadi bentuk ibadah yang paling mulia. Imam al-Ghazali menerangkan:

الصَّمْتُ سَلَامَةٌ، وَالْكَلَامُ تَحْتَ الْمُسَاءَلَةِ
“Diam itu keselamatan, sementara ucapan selalu dalam pertanggungjawaban.”

Maka, sebelum kita mengetik komentar atau berbagi cerita tentang orang lain, mungkin ada baiknya berhenti sejenak. Tarik napas, tahan jempol, dan ingat: menjaga kehormatan orang lain adalah menjaga kedamaian hatimu sendiri.

Karena pada akhirnya, tidak semua hal yang kita tahu perlu dikatakan, dan tidak semua hal yang kita dengar perlu disebarkan. Ada keindahan dalam diam yang bijak — diam yang menjaga cinta, menghormati manusia, dan menumbuhkan ketenangan.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement