Khazanah
Beranda » Berita » Ketika Jiwa Ingin Pulang: Tentang Kerinduan yang Menyembuhkan

Ketika Jiwa Ingin Pulang: Tentang Kerinduan yang Menyembuhkan

ilustrasi manusia berjalan malam menuju cahaya tanda pulang jiwa
Seorang pejalan hati berjalan di jalan rembulan yang membentang, dikelilingi bayangan panjang, menuju cahaya samar yang melambangkan rumah jiwa

Surau.co. Dalam malam sunyi, ketika hati terasa perih oleh jarak dan penatnya rutinitas, kadang kita merindukan satu kepulangan — bukan sekadar pulang ke rumah tubuh, melainkan ke rumah jiwa. Ketika jiwa ingin pulang, ia mendesak kita untuk berhenti sejenak, mendengarkan gemuruhnya, dan menapaki jalan penyembuhan yang kadang tersembunyi. Dalam konteks itu, karya Kitab al-Ṭibb al-Rūḥānī karya Abū Bakr Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī memberi kita cahaya kecil: bagaimana kerinduan spiritual bisa menjadi obat batiniah yang menyembuhkan luka yang tidak nampak.

Menyelami Sebuah Terapi Jiwa

Kitab al-Ṭibb al-Rūḥānī (كتاب الطب الروحاني) secara harfiah berarti “Kitab Pengobatan Rohani”. Buku ini bukan buku kedokteran biasa, melainkan catatan meditasi etis dan spiritual dari seorang pemikir besar. Dalam tradisi pengobatan Islam klasik, tubuh dan jiwa tidak bisa dipisahkan; luka hati memengaruhi raga, dan guncangan raga dapat merusak ruh. Al-Rāzī menempatkan pengobatan rohani sebagai salah satu aspek penting moralitas dan kedalaman manusia.

Di tengah peta kehidupan sehari-hari—di kantor, sekolah, rumah kecil kita—seringkali kita disibukkan hingga lupa menengok alam batin. Gejolak kecil seperti kecemasan tentang masa depan, rasa kurang cukup, kerinduan terhadap Tuhan atau makna hidup, bisa tumbuh menjadi luka yang dalam. Di sinilah “ketika jiwa ingin pulang” menjadi panggilan lembut: kembali merawat rangkaian makna yang tertinggal.

Jejak Kutipan dari Al-Ṭibb al-Rūḥānī

Kita sebaiknya meresapi sebagian kalimat dari karya al-Rāzī ini untuk merasakan nada kesedihan, kerinduan, sekaligus pengobatan yang ditawarkan:

وَمَا الْقَلْبُ إِلَّا مِرْآةٌ تَتَكَوَّنُ مِنْ أَنفَاسِ الْجَوامِدِ
“Dan hati tak lain adalah cermin yang terbentuk dari hembusan napas benda-benda mati.”
Makna: hati itu seperti kaca penerima goresan dan sinar; ia bisa tampak jernih atau kusam.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

وَلا يَشْفِي الرُوحَ إِلَّا مِئَادَةُ التَّذَكُّرِ بِاللَّهِ
“Tak menyembuhkan jiwa kecuali kembali menyebut Allah.”
Makna: obat hakiki bagi jiwa adalah mengingat Tuhan, menggugah kesadaran spiritual.

فَإِنَّ الأَوْجَاعَ لَا تُكْشَفُ إِلَّا بِمِفْتَاحِ الاِسْتِغْفَارِ وَالدُّعَاءِ
“Sungguh, luka-luka tak terbuka kecuali dengan kunci istighfar dan doa.”
Makna: pertobatan dan doa adalah pintu agar luka batin terlihat dan dapat diobati.

وَالصَّبْرُ عَلَى اللُّجَاجِ قَلَمٌ يُدَوِّنُ حِكْمَةَ الأَيّامِ
“Kesabaran terhadap kerikil kehidupan adalah pena yang menuliskan kebijaksanaan hari-hari.”
Makna: ujian dan kesabaran itu menoreh pelajaran dalam catatan batin kita.

Kutipan-kutipan tersebut menggambarkan nada halus al-Rāzī: ia tak menawarkan ramuan kimia, melainkan bahan rohani — doa, istighfar, kesabaran — sebagai medium penyembuhan.

Fenomena Kerinduan Sehari-hari yang Menyembuhkan

Kita mungkin merasakan rindumu terhadap seseorang yang jauh, rumah kampung halaman, atau bahkan kerinduan pada masa kecil yang polos. Dalam momen-momen itu, kita sadar bahwa kerinduan tidak selalu melukai; bisa pula menggerakkan hati kita untuk kembali ke pangkuan makna, menata ulang prioritas, dan merawat jiwa yang terasa gersang.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Coba pikirkan ketika seseorang mendapat kabar gembira setelah sekian lama berpisah, dan air mata hadir tanpa ragu. Di sana, kerinduan menjadi medium penyembuhan: menyadarkan bahwa di balik jarak, ada cinta yang belum hilang. Demikian pula ketika kita mengingat Allah dalam sunyi, menyebut nama-Nya dalam hening malam — itulah saat jiwa pulang ke asalnya.

Kitab al-Ṭibb al-Rūḥānī mengajarkan agar setiap kerinduan diarahkan pada yang hak: bukan sekadar kerinduan dunia, tetapi kerinduan kepada Tuhan, kepada kebaikan, kepada makna hidup yang lebih tinggi. Al-Rāzī menganggap bahwa jiwa yang rindu kepada Tuhan akan menemukan ketenteraman jauh lebih kuat daripada obat apa pun.

Langkah Praktis: Menuntun Jiwa Pulang

Berikut beberapa langkah sederhana yang bisa kita praktikkan untuk membiarkan “ketika jiwa ingin pulang” menjadi proses penyembuhan:

  • Praktik Zikir Harian
    Sisihkan waktu lima—sepuluh menit di pagi atau malam untuk menyebut nama-nama Allah, “Allah, ar-Rahman, ar-Rahim…” Heningkan dada.
  • Menulis Surat untuk Jiwa
    Tulislah seolah-olah kamu menuliskan surat kepada bagian terdalammu: keluh, harap, syukur. Biarkan kata-kata rindu keluar.
  • Merenung pada Kutipan Rohani
    Ambil satu kutipan seperti “فَإِنَّ الأَوْجَاعَ لَا تُكْشَفُ إِلَّا بِمِفْتَاحِ الاِسْتِغْفَارِ وَالدُّعَاءِ” dan renungkan selama beberapa jam dalam doa.
  • Berbagi Cerita Spiritual
    Berceritalah pada sahabat tentang kerinduanmu pada makna hidup, bukan soal curhat biasa, melainkan mengajak dialog spiritual.
  • Tindak Lanjut Kecil
    Misalnya: memberi sedekah kecil, menolong tetangga, atau mengirim salam kepada orang yang jauh. Ini cara meruahkan kerinduan dalam tindakan nyata.

Tafsir Spiritual dari Kerinduan

Kerinduan sering dianggap kelemahan atau kelemahan emosional, tapi al-Rāzī mengajarkannya sebagai tanda panggilan: jiwa berusaha pulang. Ketika kita menyejukkan kerinduan itu dengan doa dan istiqamah, kita membiarkan jiwa kita kembali menemukan titik-titik keseimbangan. Dan ketika kita menyadari bahwa kerinduan kepada Tuhan adalah kerinduan utama, maka luka sekunder — kesepian, resah, hampa — akan terobati sedikit demi sedikit.

Bahkan dalam ayat suci pun tercermin bahwa hati manusia diciptakan untuk mengenal dan mencintai Tuhan. Allah berfirman:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

قُلْ إنَّمَا أَعِظُكُمْ بِوَاحِدَةٍ أَن تَقُومُوا لِلَّهِ مَثْنَىٰ وَفُرَادَىٰ
“Katakan: sesungguhnya aku hanya menasihati kalian satu hal: bahwa hendaklah kamu berdiri (ibadah) kepada Allah berpasang-pasangan dan seorang diri.” (QS. Saba’ : 46)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa manusia memiliki kecenderungan internal — baik dalam keramaian maupun kesendirian — untuk berpaling kepada Tuhan.

Menjadi Pelabuhan bagi Jiwa Sendiri

Dalam arus kesibukan, mudah bagi kita mengabaikan ketika jiwa kita gemetar, ketika rindu muncul sebagai jeritan halus. Namun jika kita memilih untuk merenungi, menuliskan, dan mendekatkan diri kepada Tuhan, maka “ketika jiwa ingin pulang” justru mengantarkan kita pada penyembuhan yang paling hakiki. Kitab al-Ṭibb al-Rūḥānī mengingatkan bahwa pengobatan spiritual bukan teoritis semata, melainkan perjalanan manusiawi: menjadi sahabat hati sendiri.

Semoga kita masing-masing mendapatkan momen pulang: pulang kepada kesadaran diri, pulang kepada Tuhan. Dan dalam pulang itu, jiwa kita bisa tertambal, tenang, dan kembali utuh.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement