Surau.co. Manusia sering kali merasa dirinya baik-baik saja, padahal di dalam hati, ada luka yang tidak kasatmata. Luka yang bukan berasal dari benda tajam, melainkan dari pikiran, keinginan, dan kekecewaan yang menumpuk. Inilah wilayah yang dibicarakan oleh Abū Bakr Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī dalam Kitab al-Ṭibb al-Rūḥānī — karya yang mengajak kita melihat jiwa sebagaimana seorang tabib memeriksa tubuh. Al-Rāzī, yang dikenal sebagai seorang dokter besar dan filsuf, menulis kitab ini bukan sekadar untuk menyembuhkan penyakit jasmani, melainkan penyakit rohani yang lebih dalam: iri, dengki, marah, kesombongan, dan ketamakan.
Menurut al-Rāzī, akal manusia ibarat tabib, sedangkan hati adalah pasiennya. Tabib tidak hanya menunggu keluhan pasien, tapi juga harus mengerti akar penyakitnya. Begitu pula akal: ia ditugaskan meneliti luka-luka batin dan menimbangnya dengan hikmah.
Menyadari Luka yang Tak Terlihat
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering berlari mengejar sesuatu: kesuksesan, pengakuan, cinta, atau keamanan. Namun, ketika semua itu tak kunjung diraih, muncul kegelisahan yang tak terdefinisi. Seseorang bisa terlihat ceria di luar, tetapi hatinya sepi dan penuh luka di dalam. Al-Rāzī menulis:
“فَكُلُّ نَفْسٍ لَهَا دَاءٌ، وَإِنَّمَا يَشْفِيهَا الْعَقْلُ إِذَا أَخَذَ يَتَدَبَّرُهَا بِالْعِلْمِ وَالْفِكْرِ.”
“Setiap jiwa memiliki penyakitnya, dan tiada yang menyembuhkannya kecuali akal yang menelitinya dengan ilmu dan renungan.”
Kata-kata ini mengandung hikmah mendalam: bahwa manusia harus berani menatap dirinya sendiri tanpa topeng. Akal bukan sekadar alat berpikir, tetapi cahaya yang menuntun hati keluar dari gelapnya kebingungan.
Saat Hati Menolak Obatnya
Namun, seperti pasien yang keras kepala, hati kadang menolak obat. Kita tahu apa yang benar, tetapi memilih jalan yang menyakitkan. Dan kita tahu kesombongan merusak, tetapi tetap membangga-banggakan diri. Kita tahu amarah membakar, tetapi tak juga mau padamkan bara di dada. Al-Rāzī menulis dengan penuh ketajaman:
“وَمِنَ النُّفُوسِ مَا تَكْرَهُ الْمَوْعِظَةَ كَمَا يَكْرَهُ الْمَرِيضُ الْدَّوَاءَ الْمُرَّ، وَإِنْ كَانَ فِيهِ شِفَاؤُهُ.”
“Ada jiwa-jiwa yang membenci nasihat sebagaimana orang sakit membenci obat pahit, meskipun di dalamnya terdapat kesembuhan.”
Bukankah kita sering demikian? Kita tahu kata-kata lembut yang menyentuh nurani, tapi menolaknya karena ego masih ingin menang. Al-Rāzī mengingatkan, bahwa obat rohani memang pahit—namun di balik kepahitan itu, ada pemulihan yang indah.
Akal sebagai Cermin dan Penuntun
Akal dalam pandangan al-Rāzī bukan hanya alat logika, tetapi juga pengendali moral. Ia seperti cermin yang menampilkan wajah sejati kita. Dalam salah satu nasihatnya, beliau berkata:
“إِذَا أَصَابَكَ الْغَضَبُ فَتَذَكَّرْ قُبْحَ الْغَضَبِ، فَإِنَّ الْعَقْلَ إِذَا حَضَرَ ذَهَبَ الشَّرُّ.”
“Apabila engkau dikuasai amarah, ingatlah keburukan amarah itu; sebab ketika akal hadir, keburukan akan sirna.”
Di sini, al-Rāzī menegaskan hubungan erat antara pengetahuan dan kesadaran diri. Akal yang aktif tidak sekadar tahu sesuatu itu buruk, tetapi menghidupkan kesadaran moral yang menuntun tindakan.
Dalam kehidupan modern, pesan ini terasa relevan. Banyak orang tahu arti sabar, tapi sedikit yang menyalakan sabar dalam dirinya. Akal yang jernih bukan berarti kering dari rasa, melainkan mengatur rasa agar tetap berada di jalan yang lurus.
Ketenangan sebagai Buah dari Keseimbangan
Hidup yang sehat bukan hidup tanpa rasa sakit, tetapi hidup yang memahami makna setiap rasa sakit itu. Dalam Kitab al-Ṭibb al-Rūḥānī, al-Rāzī menulis:
“السَّعَادَةُ فِي قُدْرَةِ النَّفْسِ عَلَى إِدَارَةِ شَهَوَاتِهَا وَغَضَبِهَا.”
“Kebahagiaan terletak pada kemampuan jiwa mengatur nafsu dan amarahnya.”
Ketika akal dan hati bekerja seimbang, manusia menjadi tenang. Ia tidak lagi mudah terombang-ambing oleh pujian atau celaan, tidak terseret oleh ambisi yang membutakan, tidak pula terpuruk oleh kehilangan.
Allah SWT mengingatkan dalam Al-Qur’an:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ (الرعد: 28)
“Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
(QS. Ar-Ra’d: 28)
Zikir di sini bukan hanya ucapan, melainkan kesadaran penuh bahwa segala sesuatu berasal dan kembali kepada-Nya. Di titik ini, akal menjadi tabib yang menunjuk arah, dan hati menjadi pasien yang rela disembuhkan.
Refleksi: Menjadi Tabib bagi Diri Sendiri
Setiap manusia pada dasarnya memiliki dua wilayah di dalam dirinya: yang berpikir dan yang merasa. Jika akal menuntun dan hati mendengar, kehidupan menjadi jernih. Namun jika hati memimpin tanpa bimbingan akal, maka kehidupan mudah tersesat oleh keinginan yang liar.
Al-Rāzī mengajarkan keseimbangan—bukan menolak perasaan, tetapi menuntunnya agar tidak melampaui batas. Ia mengajak kita menjadi dokter bagi jiwa sendiri: memeriksa luka batin, mengenali sebabnya, lalu menyembuhkannya dengan hikmah dan kesabaran.
Sebagaimana tubuh yang butuh istirahat, jiwa pun perlu hening untuk pulih. Dalam kesunyian, akal berbicara dengan lembut kepada hati: “Tenanglah, semua luka ini adalah guru yang menyamar.” Dan hati, perlahan, belajar untuk percaya.
Penutup: Akal dan Hati, Dua Sayap Jiwa
Kesehatan rohani adalah perjalanan panjang. Ia menuntut ketulusan untuk melihat ke dalam, keberanian untuk berubah, dan kesabaran untuk terus memperbaiki diri. Al-Rāzī tidak menulis Kitab al-Ṭibb al-Rūḥānī untuk para filsuf semata, tetapi untuk siapa pun yang ingin hidup dengan jiwa yang sehat.
Dalam setiap pergulatan, akal adalah tabib yang menuntun, hati adalah pasien yang ingin sembuh, dan Tuhan adalah sumber segala penyembuhan. Seperti kata al-Rāzī, “Jangan biarkan akalmu tidur, sebab saat ia tertidur, hawa nafsu akan menjadi tabib yang menyesatkan.”
Maka marilah kita rawat jiwa ini—dengan berpikir jernih, merasa tulus, dan mengingat Allah di setiap helaan napas.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
