Khazanah
Beranda » Berita » Imam Asy-Syafi’i: Keilmuan, Kepribadian, dan Warisan Pemikirannya

Imam Asy-Syafi’i: Keilmuan, Kepribadian, dan Warisan Pemikirannya

Ahmad bin Hanbal: Imam Mazhab Pembela Akidah Ahlussunnah
Ilustrasi diskusi guru dengan muridnya.

SURAU.CO– Nama asli Imam Asy-Syafi’i ialah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Ubaid bin Hasyim bin al-Muthallib bin Abdi Manaf bin Qushay; kakek Nabi Muhammad Saw. Tahun 198 H, ia pergi ke Baghdad lagi untuk ketiga kalinya. Tetapi, tidak lama kemudian, ia berangkat menuju Mesir.

Sudah menjadi kebiasaan jamaah haji Mesir pada waktu itu, apabila mereka telah selesai menunaikan hajinya di Makkah, mereka berziarah ke makam Rasulullah Saw. di Madinah. Mereka juga memanfaatkan kesempatan itu untuk mengaji kitab Al-Muwattha’ di Masjid Nabawi. Sebelumnya, mereka telah mengenal kitab ini ketika di Mesir melalui para ulama mereka, antara lain Abdullah bin Abdul Hakam, Asyhab, Ibnu al-Qasim, dan al-Laits bin Sa’ad. Para ulama ini sebenarnya mendengar kitab tersebut dari Imam al-Syafi’i. Sebaliknya, sang Imam juga telah mendengar, meskipun serba sedikit, tentang Mesir dan kehidupan masyarakatnya. Imam asy-Syafi’i berharap dengan penuh antusias bisa mengunjungi dan menetap di kota itu untuk menyampaikan pikiran-pikirannya.

Berangkat bersama gubernur Mesir

Dengan ditemani Abbas bin Abdullah bin Abbas bin Musa bin Abdullah bin Abbas, Gubernur Mesir waktu itu, Imam asy-Syafi’i berangkat. Tahun 199 H atau 200 H, ia sampai di Mesir. Imam al-Laits bin Sa’ad waktu itu sudah wafat. Masyarakat di kota itu menyambut kedatangan Imam asy-Syafi’i dengan sangat gembira. Menurut mereka, Allah Swt. telah mengganti imam mereka, al-Laits, dengan imam baru, Imam asy-Syafi’i. Di kota ini, Imam asy-Syafi’i tinggal bersama keluarganya dari kabilah Uzd. Abdullah bin Abdul Hakam, salah seorang ulama besar Mesir, suatu hari datang menemuinya dan memberinya hadiah uang sebanyak 4.000 dirham: 1.000 dari kantongnya sendiri, dan sisanya ia kumpulkan dari para pedagang Mesir. Imam asy-Syafi’i menerima hadiah yang tulus ini dengan senang hati.

Kepribadian Imam Asy-Syafi’i dan keterampilannya memanah

Pada waktu Imam asy-Syafi’i tiba di Mesir, Abdullah bin Abdul Hakam menyebut perihal Imam asy-Syafi’i dengan kata-katanya:

“Ia selalu bersiwak, tubuhnya cukup tinggi, dan suaranya terang. Kalau bicara, ia selalu menggunakan bahasa yang baik dan benar. Tanda-tanda keberanian tampak pada dirinya. Pandangan-pandangannya sangat jauh. Meskipun mukanya tipis, lengan, paha, dan betisnya cukup besar.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Imam asy-Syafi’i termasuk pandai memanah. Mengenai hal ini, ia sendiri pernah bercerita: “Dulu, aku mempunyai dua cita-cita; menjadi pemanah dan ilmuwan. Ternyata, aku memang bisa memanah. Kalau aku memanah 10 kali, sebanyak itu pula anak panahku mengenai sasarannya.” Sumber lain menyebutkan hanya sembilan yang mengenainya. Riwayat ini agaknya lebih kuat. Kalau kita menerima riwayat pertama, sebenarnya Imam asy-Syafi’i bisa mengatakan begini:

“Aku tidak pernah keliru sama sekali.”

Pada saat lain, Imam asy-Syafi’i juga mengatakan: “Aku sangat gemar bermain panah, sampai-sampai seorang dokter mengkhawatirkan kalau aku sakit karena sering kepanasan.” Karena begitu senangnya bermain panah, Imam asy-Syafi’i suka memberi hadiah kepada teman yang ikut menemaninya bermain.

Al-Muzani pernah menceritakan pengalamannya bersama Imam asy-Syafi’i. Katanya: “Suatu hari, aku berjalan-jalan bersama Syafi’i. Di tengah jalan, kami menjumpai seorang laki-laki yang sedang memanah dengan anak panah buatan Arab. Syafi’i berhenti. Orang itu lalu membidikkan anak panahnya dan dengan tepat mengenai sasaran. ‘Anda hebat,’ kata Syafi’i memuji. Sesudah itu, dengan bisik-bisik, dia menanyakan apakah aku punya uang. Ketika aku jawab bahwa aku hanya punya tiga dinar, Syafi’i memintaku untuk menyerahkannya. ‘Maaf, aku hanya bisa memberikan sejumlah ini,’ katanya kepada laki-laki tadi.”

Ulama yang sangat cerdas dan kerap menang dalam setiap diskusi

Imam asy-Syafi’i dikenal sangat cerdas. Ia selalu menang dalam diskusi-diskusi yang ia ikuti. Argumen-argumennya sangat kuat. Sewaktu ia berdiskusi dengan temannya yang sekaligus juga gurunya, Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, Imam asy-Syafi’i dapat mengalahkannya. Mendengar berita ini, Khalifah Harun ar-Rasyid memberikan komentarnya: “Pengetahuan Muhammad bin al-Hasan akan selalu kalah jika berdebat dengan laki-laki dari Quraisy.” Nabi Muhammad Saw. pernah mengatakan,

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“Dahulukan Quraisy dan jangan mendahului mereka. Belajarlah dari mereka dan jangan mengajari. Pengetahuan orang alim dari mereka meliputi lapisan-lapisan bumi.”

Abdul Malik bin Muhammad mengatakan bahwa yang dimaksud “orang alim” dalam sabda Nabi Saw. itu adalah Imam asy-Syafi’i.

Sejak masa muda, imam besar ini sudah aktif belajar, mengajar, dan berfatwa. Ia pernah mengajar di Masjid Nabawi di Madinah, Masjidil Haram di Makkah, Masjid Amru bin Ash di Fustat, Mesir, dan masjid-masjid di Irak.

Deretan ulama didikan Imam asy-Syafi’i

Sejumlah ulama besar yang lahir dari didikan Imam asy-Syafi’i yang dapat kita catat antara lain Ahmad bin Khalid al-Khalal, Imam Ahmad bin Hanbal, Ahmad bin Muhammad bin Sa’id ash-Shairafi, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam, Muhammad bin Imam asy-Syafi’i, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid bin al-Yaman, Ishaq bin Rahawaih, Ismail bin Yahya al-Muzani atau yang biasa dipanggil Abu Ibrahim, al-Hasan bin Muhammad bin Shabah al-Baghdadi az-Za’farani, al-Husein bin Ali bin Yazid al-Karabisi, Harmalah bin Yahya bin Abdullah at-Tajibi, Rabi’ bin Sulaiman bin Daud al-Jizi, Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi, Abu Bakar al-Humaidi, Yusuf bin Yahya al-Buwaithi, dan Yunus bin Abdul A’la. Dari kalangan murid perempuan, tercatat antara lain saudara perempuan al-Muzani. Mereka adalah para cendekiawan besar dalam bidang pemikiran Islam dengan sejumlah besar bukunya, baik dalam fikih maupun lainnya.

Warisan pemikiran Imam Asy-Syafi’i

Di Baghdad, Irak, Imam asy-Syafi’i menulis bukunya yang terkenal, Al-Hujjah (argumentasi). Menurut penulis buku Kasyf azh-Zhunun, buku Imam asy-Syafi’i tersebut terdiri atas satu jilid tebal.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Di kota ini, Imam asy-Syafi’i juga menulis karya monumentalnya dalam metodologi fikih (ushul al-fiqh); Ar-Risalah. Ketika ia berada di Mesir, ia merevisi kitab ini. Kitab tersebut membicarakan persoalan-persoalan amar (kalimat perintah), nahi (kalimat larangan), status hadis Nabi Saw., qiyas, dan dasar-dasar fikih lainnya.

Seperti diketahui, Imam asy-Syafi’i adalah orang pertama yang menyusun ilmu ushul fikih. Selain buku tersebut, ia juga menulis kitab Ahkam al-Qur’an (Hukum-Hukum dalam al-Qur’an), Ikhtilaf al-Hadits (Hadis-Hadis yang Diperdebatkan), Ibthal al-Istihsan (Kekeliruan Metode Istihsan), Jima’ al-‘Ilm (Kumpulan Ilmu), dan Kitab al-Qiyas (Metode Analogi).  Karangannya yang lain: Al-Mabsuth (fikih), demikian menurut Rabi’ bin Sulaiman dan az-Za’farani. Kemudian, ada juga Ikhtilaf Malik wa asy-Syafi’i (Perbedaan antara Malik dan Syafi’i), As-Sabq wa ar-Ramyu (Pertandingan dan Bermain Panah), Fadhail Quraisy (Keunggulan Quraisy), Ar-Radd ‘ala Muhammad bin al-Hasan (Sanggahan terhadap Muhammad bin al-Hasan), dan Al-Umm (Kitab Induk).

Sangat menyenangi kebebasan berpikir

Imam asy-Syafi’i termasuk ulama yang menyukai kebebasan berpikir (Kana asy-Syafi’i yamnah hurriyyah at-tafkir li talamidzihi). Kepada para mahasiswanya, ia selalu mengatakan:

“Apabila argumen-argumenku kurang tepat menurut kalian, maka tidak perlu kalian terima, karena akal pikiran meniscayakan pikiran yang benar.” (Idza dzakartu lakum dalilan aw burhanan lam taqbalhu uqulukum fa taqbaluh. Li anna al-aql mudhtharr li qabul al-haq).

Ia juga orang yang selalu menganjurkan perlunya spesialisasi ilmu. Kepada para mahasiswanya, ia seringkali mengemukakan hal ini. Katanya:

“Aku selalu kalah berdebat apabila berhadapan dengan seorang spesialis. Sebaliknya, aku dapat mengalahkan dengan mudah seorang generalis.”

(St.Diyar)

Referensi : Abdullah Musthafa Al-Maraghi, Ensiklopedia Lengkap Ulama Ushul Fiqh Sepanjang Masa, 2020.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement