Khazanah
Beranda » Berita » Warisan Intelektual Imam Malik: Murid Dan Karya Intelektualnya

Warisan Intelektual Imam Malik: Murid Dan Karya Intelektualnya

Warisan Imam Ahmad bin Hanbal: Fikih Berbasis Hadis dan Karya Pemikirannya
Ilustrasi dakwah ulama kepada umat.

SURAU.CO– Imam Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin Amr al-Ashbahi al-Madani, Imam Dar al-Hijrah, Madinah, pendiri mazhab fikih Maliki. Ia juga biasa dipanggil Abu Abdullah dan Al-Ashbahi, nama julukan kakeknya. Nama sebenarnya adalah al-Harits. Silsilahnya sampai pada Ya’rab bin Qahthan, satu kabilah besar di Yaman.

Murid-murid Imam Malik

Imam Malik bin Anas mempunyai banyak murid yang terdiri atas ulama. Hampir tak ada seorang ulama pun yang tidak belajar kepadanya, baik guru-gurunya sendiri maupun teman-temannya. Qadhi Iyadh menyebutkan lebih dari seribu orang ulama terkenal yang menjadi murid Imam Malik bin Anas.

Beberapa di antaranya adalah Muhammad bin Muslim az-Zuhri (meninggal dunia 55 tahun sebelum Imam Malik bin Anas), Rabi’ah bin Abdurrahman (meninggal dunia 33 tahun sebelum Imam Malik bin Anas), dan Yahya bin Sa’id al-Anshari (meninggal dunia 43 tahun sebelum Imam Malik bin Anas). Kemudian, ada juga Musa bin Uqbah, Hisyam bin Urwah, Nafi’ bin Abi Nu’aim al-Anshari, Muhammad bin ‘Ajlan, Salim bin Abi Umayyah, Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Dziab, Abdul Malik bin Juraih, Muhammad bin Ishaq (pengarang buku Al-Maghazi), dan Sulaiman bin Mahran al-A’masy. Dari angkatannya, antara lain kita catat Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, Laits bin Sa’ad al-Mishri, al-Auza’i, Hammad bin Zaid, Sufyan bin Uyaynah, Hammad bin Salamah, Imam Abu Hanifah dan putranya Hammad, Qadhi Abu Yusuf, Qadhi Syuraik bin Abdullah, dan Imam asy-Syafi’i. Setelah itu, ada Abdullah bin Mubarak, Muhammad bin Hasan, Qadhi Musa bin Thariq, dan Walid bin Muslim.

Dari kalangan teman-temannya, tercatat Abdullah bin Wahab, Abdurrahman bin Qasim, Asyhab bin Abdul Aziz, Ziyadah bin Abdurrahman al-Qurthubi, Yahya bin Katsir al-Laitsi, Abu Hasan bin Ali bin Ziyad at-Tunisi, Usd bin Furat, dan Abdul Malik bin Abdul Aziz al-Majsyun.

Al-Muwattha’ : karya intelektual Imam Malik

Karya Imam Malik bin Anas yang paling populer adalah Al-Muwattha’. Buku ini ia tulis atas permintaan Khalifah Abu Ja’far al-Manshur. Kitab ini, menurut Khalifah, dimaksudkan agar dapat dijadikan sumber legislasi negara. Di bagian pinggir kitab ini, terdapat beberapa kitab lain, yaitu Syadaid Ibnu Umar (Pendapat-Pendapat Ibnu Umar yang Ketat), Rukhash Abdullah bin Abbas (Pendapat-Pendapat Ibnu Abbas yang Ringan), dan Syawadz Abdullah bin Mas’ud (Pendapat-Pendapat kontroversial Ibnu Mas’ud).

Pentingnya Akhlak Mulia

Ada yang mengatakan bahwa sebenarnya Khalifah al-Mahdi juga yang meminta Imam Malik bin Anas mengerjakan hal itu. Imam Malik bin Anas tidak setuju jika semua orang harus mengikuti pendapatnya. Dari peristiwa ini, ia kemudian menulis kitab tersebut. Selain Al-Muwattha’, Imam Malik bin Anas juga menulis beberapa karangan yang cukup besar, yang kebanyakan ia kemukakan dengan menyebut sanad yang sahih. Yang populer di antaranya adalah Risalah fi al-Qadr, Ar-Radd ‘ala al-Qadariyah (buku yang dapat menggambarkan keluasan ilmunya), Kitab fi an-Nujum wa Hisab Madar az-Zaman, Risalah fi Aqdhiyah (terdiri atas 10 jilid), dan Risalah fi al-Qadar (buku yang ia tujukan kepada Abi Ghassan Muhammad bin Mathraf, berisi fatwa-fatwa).

Kemudian, ada pula sebuah buku yang berisi nasihat-nasihat dan etika yang ia tujukan kepada Harun ar-Rasyid. Buku ini juga cukup populer. Bukunya yang lain adalah Tafsir Gharib al-Qur’an dan Ijma’ Ahl Madinah (sebuah risalah kepada Laits bin Sa’ad).

Pokok-pokok ajaran mazhab Imam Malik bin Anas

Dasar-dasar mazhab Imam Malik bin Anas adalah al-Kitab (al-Qur’an), as-Sunnah (hadis), ijma’, dan qiyas. Dasar lain yang mendapat perhatian khusus ialah tradisi masyarakat Madinah, terutama tradisi para imam mereka, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khatthab. Bahkan, terkadang, ia menolak suatu hadis karena ia pandang bertentangan dengan tradisi Madinah. Ia mengatakan: “Tidak adanya ‘amal ahli Madinah menunjukkan bahwa di sana tentu ada hal-hal yang me-nasakh-nya.” Sejumlah ulama ahli fikih di berbagai kota, antara lain Imam Laits bin Sa’ad al-Mishri, menentang dasar hukum ini secara habis-habisan.

Di samping itu, Imam Malik bin Anas juga menggunakan dasar maslahah mursalah, yaitu kemaslahatan yang kebenarannya tidak secara eksplisit al-Qur’an maupun hadis nyatakan. Misalnya, hukum memukul tertuduh pencurian agar dia mengaku. Ia membenarkan ini, atas dasar kepentingan. Contoh lain, perceraian suami yang hilang. Jika si istri merasa sangat menderita karena ditinggal suaminya yang tidak jelas di mana berada, dan dia telah menunggu empat tahun, hakim pengadilan dapat memutuskan perceraiannya. Setelah itu, wanita tersebut dapat melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain. Imam Malik bin Anas berpendapat demikian dengan mengambil pendapat Umar bin Khatthab.

Contoh lain lagi adalah tentang iddah dan nafkah perempuan yang dicerai yang mengaku tidak haid. Imam Malik bin Anas berpendapat bahwa iddah perempuan itu tiga bulan. Setelah itu, ia harus menunggu sembilan bulan, masa umumnya wanita mengandung. Jadi, jumlahnya satu tahun. Nafkah dapat diberikan untuk masa tersebut, tidak lebih.

Hati-hatilah Dengan Pujian Karena Bisa Membuatmu Terlena Dan Lupa Diri

Imam Malik bin Anas meninggal dunia tahun 179 H/800 M di Madinah al-Munawwarah. Beberapa orang yang ikut menyalatkannya antara lain Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas, Gubernur Madinah waktu itu. Ia ikut mengantar dan mengusung jenazahnya.(St.Diyar)

Referensi : Abdullah Musthafa Al-Maraghi, Ensiklopedia Lengkap Ulama Ushul Fiqh Sepanjang Masa, 2020.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement