SURAU.CO-Nama lengkapnya adalah Imam Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin Amr al-Ashbahi al-Madani, Imam Dar al-Hijrah, Madinah, pendiri mazhab fikih Maliki. Ia juga biasa dipanggil Abu Abdullah dan Al-Ashbahi, nama julukan kakeknya. Nama sebenarnya adalah al-Harits. Silsilahnya sampai pada Ya’rab bin Qahthan, satu kabilah besar di Yaman.
Ia lahir di Madinah tahun 93 H/714 M. Menginjak usia dewasa, ia sudah hafal al-Qur’an dan minatnya dalam ilmu pengetahuan sudah tampak. Mengenai hal ini, ia sendiri menceritakan bahwa suatu hari, ia meminta izin ibunya untuk bisa pergi menuntut ilmu dan bisa menulis. Sang ibu mengatakan, “Kemari, Nak, kamu harus pakai baju ilmu.” Lalu, beliau mengenakan pakaian untukku dan meletakkan bangku di kepalaku. Di atasnya, diletakkan pula surban. Setelah itu, ibu mengatakan,
“Sekarang, kamu boleh berangkat mencari ilmu pengetahuan dan belajar menulis. Pergilah kepada Rabi’ah. Sebelum belajar ilmu, lebih dahulu kamu harus belajar tata krama.”
Sejak itu, ia sering menemui Rabi’ah dan Abdurrahman bin Hurmuz untuk mendengarkan hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Di samping kepada dua orang itu, ia juga belajar hadis kepada az-Zuhri dan Nafi’, maula Ibnu Umar. Ia juga belajar ilmu qira’at kepada Nafi’ bin Abi Nu’aim.
Selama menuntut ilmu itu, ia terkenal sangat sabar. Tidak jarang, ia menemui kesulitan dan penderitaan. Ibnu al-Qasim pernah mengatakan,
“Penderitaannya selama menuntut ilmu sedemikian rupa, sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap rumahnya, kemudian menjualnya ke pasar. Tetapi, setelah itu, dunia berpaling kepadanya.”
Imam Malik bin Anas : otoritas keilmuan dan pengikutnya
Ia dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadis dan fikih. Tentang penguasaannya dalam hadis, ia sendiri pernah mengatakan,
“Aku telah menulis dengan tanganku sendiri 100.000 hadis.”
Pada kesempatan lain, ia mengatakan, “Aku datang kepada Sa’id bin al-Musayyab, Urwah, al-Qasim, Abu Salamah, Humaid, dan Salim secara bergiliran, untuk mendengarkan hadis. Dari masing-masing mereka, aku terima 50 sampai 100 hadis. Sesudah itu, aku pulang dan aku telah dapat menghafalnya tanpa keliru sedikit pun.”
Ibnu Uyaynah mengatakan, “Aku tidak pernah melihat ada orang yang begitu bagus dan tekun dalam belajar seperti Malik. Ia juga begitu dekat dengan para ulama dan tokoh-tokoh terkemuka.” Pada saat yang lain, ia menceritakan peristiwa diskusi yang berlangsung di tempat pengajian Rabi’ah. Di situ, Rabi’ah mengemukakan pendapatnya. Ketika Imam Malik bin Anas menyanggah pendapatnya, Rabi’ah balik menyerangnya dengan kata-kata tidak pantas didengar orang. Ketika itu, Imam Malik bin Anas diam saja, demi menghormati gurunya. Setelah itu, ia pulang.
Ketika tiba waktu salat Zuhur, Imam Malik bin Anas salat di masjid. Begitu selesai, ia duduk sendirian jauh dari tempat pengajian Rabi’ah. Lalu, beberapa orang mendatanginya untuk memintanya memberikan pelajaran. Setelah salat Maghrib, lebih dari 50 orang mengerumuninya dan mendengarkan pengajiannya. Esok hari, masyarakat yang ingin mengaji kepadanya semakin banyak. Meskipun Imam Malik bin Anas saat itu baru berusia 17 tahun, ia terkenal jujur dalam periwayatannya. Sejak itu, keadaan masyarakat menjadi hidup dan bersemangat.
Ibnu Abdul Hakam mengatakan, “Malik sudah memberikan fatwa bersama-sama para gurunya; Yahya bin Sa’id, Rabi’ah, dan Nafi’.” Bahkan, menurut Mush’ab, halaqah yang diselenggarakan Imam Malik bin Anas lebih besar daripada halqah Nafi’. Imam Malik bin Anas sendiri pernah mengatakan,
“Jika aku memberikan fatwa dan pelajaran, tidak kurang dari 70 ulama ikut menghadirinya.”
Menurut Imam Malik bin Anas, orang yang benar-benar ahli niscaya dikenal masyarakatnya.
Mendapat pengakuan atas kecerdasan dari para ulama besar
Demikian kesaksian para ulama besar, termasuk para gurunya, mengenai kecerdasan dan kepandaian Imam Malik bin Anas. Kenyataan menunjukkan bahwa Imam Malik bin Anas memang telah menguasai ilmu pengetahuan sejak masa mudanya. Selain itu, ia juga orang yang rendah hati, berkepribadian baik, dan tepercaya, serta menguasai al-Kitab (al-Qur’an) dan as-Sunnah (hadis Nabi Saw.), fikih dan ushulnya, jujur dalam periwayatannya, dan otoritatif. Semua orang, pada masanya, menyepakati hal ini, dan banyak tokoh besar mengikuti pendapat-pendapatnya.
Syekh-syekh di Madinah mengatakan,
“Tidak ada lagi orang di atas bumi ini yang paling mengerti tentang hadis-hadis Nabi Saw., kecuali engkau, Malik.”
Abu Dawud mengatakan, “Hadis paling sahih adalah yang Malik riwayatkan dari Nafi’ dari Ibnu Umar Ra. Sesudah itu, adalah hadis dari Malik dari az-Zuhri dari Salim dari ayahnya. Berikutnya adalah hadis dari Malik dari Abu Zanad dari A’raj dari Abu Hurairah.”
Abu Dawud tidak menyebutkan transmisi atau sanad selain dari Imam Malik bin Anas. Ia mengatakan, “Hadis mursal Malik lebih sahih daripada mursal Sa’id bin Musayyab atau Hasan Bashri. Hadis mursal Malik paling sahih.”
Sufyan mengatakan,
“Jika Malik sudah mengatakan, ‘Balaghani’, telah sampai kepadaku, niscaya sanad hadis tersebut kuat.”
Momen perdebatan dengan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani
Suatu hari, terjadi perdebatan antara Imam asy-Syafi’i dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani. Kepada Imam asy-Syafi’i, Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani menanyakan: “Siapa, menurut Anda, yang paling pandai: sahabat saya (Imam Abu Hanifah) ataukah sahabat Anda (Imam Malik bin Anas)?”
Imam asy-Syafi’i menjawab, “Apakah Anda menanyakan hal itu secara jujur?”
“Ya,” jawab Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani.
Imam asy-Syafi’i kembali bertanya, “Siapa menurut Anda orang yang paling mengerti al-Qur’an: sahabat saya ataukah sahabat Anda?”
“Saya kira, sahabat Anda,” jawab Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani.
“Sekarang, siapa orang yang paling paham hadis Rasulullah Saw.; sahabat saya atau sahabat Anda?” tanya Imam asy-Syafi’i kembali.
“Saya kira, juga sahabat Anda,” kata Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani.
Imam asy-Syafi’i kemudian mengatakan, “Yang tersisa tinggal qiyas, ya kecuali soal qiyas.” Mendengar ini, Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani diam.
Kewibawaan ilmu Imam Malik
Hari-harinya ia lalui dengan sikap takwa, rajin salat, melayat orang-orang yang mati, membesuk yang sakit, memenuhi semua kewajibannya, i’tikaf di masjid, berkumpul dengan teman-temannya, serta menjawab persoalan-persoalan yang masuk. Ia sangat hati-hati, baik dalam menyampaikan hadis maupun memberikan fatwa. Ia hanya menerima hadis jika disampaikan oleh orang yang tepercaya. Dan ia memberikan fatwa setelah yakin. Majelis tempat ia mengaji sangat tenang. Kewibawaannya yang demikian besar membuat majelis itu tidak diisi dengan senda gurau atau gaduh.
Kewibawaannya dapat dibuktikan ketika Khalifah Harun ar-Rasyid menulis surat supaya ia datang ke istananya untuk berbincang-bincang. Akan tetapi, Imam Malik bin Anas mengatakan: “Ilmu harus didatangi.” Dengan ucapan ini, ia bermaksud agar Harunlah yang datang kepadanya. Sesudah itu, Harun memang datang dan duduk bersandar di tembok. Imam Malik bin Anas mengatakan,
“Tuan Khalifah, jika Anda menghormati Rasulullah, maka hormatilah ilmu.”
Sesudah mendengar itu, Khalifah duduk di hadapannya dalam posisi sama.
Publik Madinah sudah mahfum bahwa saat Imam Malik bin Anas akan menyampaikan hadis, ia lebih dulu mengambil wudu dan duduk dengan tenang, lalu menyisir jenggotnya. Sewaktu hal itu ia tanyakan, ia menjawab: “Aku senang menghormati hadis Rasulullah Saw.”Di Madinah, ia tidak pernah naik kendaraan, meskipun usianya sudah tua dan lemah. Katanya:
“Di Madinah ini, di mana terdapat makam Rasulullah Saw., aku tidak akan naik kendaraan apa pun.” Ini yang diyakini oleh Imam Malik bin Anas.
Fatwa tentang sumpah orang yang terpaksa
Kemudian, waktu ia ditanya mengenai sumpah orang yang mengalami paksaan, ia mengatakan: “Sumpah itu tidak berarti.” Lalu, hal itu ternyata dilaporkan kepada Ja’far bin Sulaiman, penguasa Madinah, paman Khalifah al-Manshur. Ini mereka pahami bahwa pembaiatan kepada Ja’far bin Sulaiman tidak sah. Ja’far bin Sulaiman kemudian memanggil dan memukulnya sebanyak 80 kali sampai tulangnya retak. Tetapi, pemukulan ini justru semakin menunjukkan kebesarannya dalam masyarakat Madinah.(St.Diyar)
Referensi : Abdullah Musthafa Al-Maraghi, Ensiklopedia Lengkap Ulama Ushul Fiqh Sepanjang Masa, 2020.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
