Khazanah
Beranda » Berita » Menjinakkan Nafsu: Perjalanan Menemukan Kedamaian yang Hakiki

Menjinakkan Nafsu: Perjalanan Menemukan Kedamaian yang Hakiki

Ilustrasi tentang perjuangan menaklukkan nafsu menurut al-Rāzī dalam al-Ṭibb al-Rūḥānī
Ilustrasi perjalanan batin manusia yang menahan dorongan nafsu dan memilih keseimbangan spiritual.

Surau.co. Menjinakkan nafsu – Setiap manusia membawa gelanggang pertempuran di dalam dirinya—pertarungan antara akal dan nafsu, antara cahaya dan bayangan. Nafsu tidak selalu tampak jahat; ia bisa datang dengan wajah yang lembut, menggoda dalam bisikan halus, membuat kita merasa benar meski sedang melangkah menjauh. Abū Bakr Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī, dalam Kitāb al-Ṭibb al-Rūḥānī, menulis bahwa jiwa yang dikuasai nafsu ibarat tubuh yang dibiarkan tanpa pengobatan. Ia hidup, tetapi sakit tanpa sadar.

Di zaman yang penuh kecepatan dan pencitraan ini, manusia sering menjadi tawanan keinginannya sendiri. Nafsu tidak lagi sekadar dorongan alami, tetapi telah menjelma menjadi penguasa yang halus—mengatur cara kita makan, berbicara, bekerja, bahkan mencintai. Dalam pandangan al-Rāzī, mengendalikan nafsu bukan berarti mematikannya, melainkan menempatkannya di bawah kendali akal dan hikmah.

Keseimbangan: Jalan Tengah Menuju Kedamaian

Bagi al-Rāzī, kebahagiaan sejati tidak terletak pada pemuasan keinginan, tetapi pada kemampuan menyeimbangkan dorongan. Ia menulis:

اعلم أن الاعتدال في كل شيء هو سبب السلامة، والغلو فيه هو أصل الفساد.”
“Ketahuilah bahwa keseimbangan dalam segala hal adalah sebab keselamatan, sedangkan berlebih-lebihan adalah akar kerusakan.”

Kita sering melihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang terlalu mengejar harta kehilangan waktu untuk keluarganya. Orang yang terlalu mencintai dunia lupa bagaimana mencintai dirinya sendiri dengan sehat. Maka, keseimbangan menjadi semacam seni hidup—menentukan kapan harus berhenti, kapan harus menahan, dan kapan harus melepaskan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Keseimbangan yang diajarkan al-Rāzī bukan semata pengendalian moral, melainkan pengobatan jiwa yang mengakar. Dalam setiap nafsu yang berlebihan, ada ketidakteraturan batin yang perlu disembuhkan.

Menjinakan Nafsu agar Tidak Diperdaya

Kita sering terjebak bukan karena nafsu itu kuat, tapi karena kita tidak mengenalinya. Nafsu sering menyamar menjadi suara hati, padahal sesungguhnya ia adalah bisikan ego. Dalam al-Ṭibb al-Rūḥānī, al-Rāzī menulis:

من لم يعرف عدو نفسه، لم يأمن مكره، وكان أسيرًا له وإن ظن الحرية.”
“Barang siapa tidak mengenali musuh dalam dirinya, maka ia tidak akan aman dari tipu dayanya, dan ia tetap menjadi tawanan meskipun mengira dirinya bebas.”

Kata-kata ini seperti cermin yang jujur. Betapa banyak orang merasa merdeka, padahal hatinya terbelenggu oleh keinginan untuk diakui, dihormati, atau disukai. Ia hidup untuk pandangan orang lain, bukan untuk kedamaian batinnya sendiri.

Mengenali nafsu berarti belajar melihat pola: kapan hati mulai gelisah, kapan pikiran mulai menginginkan hal yang tidak perlu. Setiap kali kita menahan diri dari dorongan kecil—seperti amarah, iri, atau keinginan untuk membalas—kita sedang melatih otot spiritual yang bernama kesabaran.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Penyakit Jiwa dan Obatnya

Dalam perspektif al-Rāzī, penyakit jiwa muncul ketika nafsu mendominasi akal. Ia menulis:

إذا غلبت الشهوة على العقل، مرضت النفس، كما يمرض البدن إذا غلب عليه الداء.”
“Apabila syahwat mengalahkan akal, maka jiwa menjadi sakit, sebagaimana tubuh menjadi sakit ketika penyakit menguasainya.”

Ketika seseorang hidup dalam dominasi nafsu, ia kehilangan arah moral dan kepekaan terhadap kebenaran. Nafsu tidak selalu tampak buruk—kadang ia datang dalam bentuk ambisi, rasa ingin memiliki, atau bahkan cinta yang berlebihan. Namun, setiap kali keinginan itu menyingkirkan kebijaksanaan, jiwa pun kehilangan kesehatannya.

Penyembuhan tidak terjadi dengan memusuhi nafsu, tapi dengan menuntunnya menuju kebaikan. Seperti anak kecil yang belajar berjalan, ia tidak perlu dimarahi, tetapi diarahkan.

Pandangan Ilahi tentang Pengendalian Diri

Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

﴿ وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
“Adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu, maka surgalah tempat tinggalnya.”(QS. An-Nāzi‘āt: 40–41)

Ayat ini menjadi pondasi bagi al-Rāzī dalam menulis risalah penyembuhan ruhani. Pengendalian diri bukan sekadar kewajiban moral, tetapi jalan menuju kebahagiaan abadi.

Ia menambahkan dalam kitabnya:

من ملك نفسه عند الغضب والشهوة، كان أقرب الناس إلى السلامة والكرامة.”
“Barang siapa mampu menguasai dirinya ketika marah dan bernafsu, maka ia adalah manusia yang paling dekat dengan keselamatan dan kemuliaan.”

Ketika seseorang mampu menahan diri dari dorongan untuk marah, membalas, atau berlebihan, ia sedang menata jiwanya menuju keseimbangan yang Ilahi.

Langkah Kecil Menuju Kedamaian Hakiki

Menjinakkan nafsu tidak bisa dilakukan sekaligus. Ia adalah perjalanan panjang yang dimulai dari hal-hal kecil. Menunda keinginan, memilih diam ketika hati ingin membalas, atau menahan diri untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain—semua itu adalah latihan rohani.

Dalam keseharian, manusia bisa mempraktikkan ajaran al-Rāzī dengan kesadaran penuh. Misalnya, saat godaan datang untuk membenarkan kesalahan, tarik napas dan tunda reaksi. Saat hati ingin memiliki sesuatu yang belum saatnya, katakan pada diri sendiri, “Tidak semua yang bisa dimiliki harus dimiliki.”

Kedamaian tidak datang karena semua keinginan terpenuhi, melainkan ketika seseorang tidak lagi diperintah oleh keinginannya.

Refleksi Penutup

Menjinakkan nafsu bukan sekadar perjuangan moral, tetapi perjalanan spiritual yang dalam. Ia mengajarkan kesabaran, kerendahan hati, dan pengenalan diri yang jujur. Seperti kata al-Rāzī, mengendalikan nafsu berarti menyembuhkan jiwa dari penyakit yang tersembunyi.

Ketika nafsu mulai tunduk pada kebijaksanaan, hati pun menjadi ringan. Dalam keheningan itu, manusia menemukan kedamaian yang hakiki—kedamaian yang tidak datang dari luar, melainkan tumbuh dari dalam.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement