Khazanah Sejarah
Beranda » Berita » Kasus Korupsi, Sudah Ada Sejak Zaman Rasulullah

Kasus Korupsi, Sudah Ada Sejak Zaman Rasulullah

Korupsi adalah penyakit sosial yang merusak bangsa
Korupsi merupakan salah satu penyakit sosial yang paling berbahaya dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Menelusuri sejarah Islam, ternyata praktik korupsi sudah ada bahkan sejak zaman Rasulullah SAW. Gambar : Internet

SURAU.CO – Korupsi merupakan salah satu penyakit sosial yang paling berbahaya dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Ia bukan hanya merusak ekonomi dan keadilan sosial, tetapi juga mengikis keimanan dan moralitas seseorang. Banyak orang mengira bahwa korupsi adalah fenomena modern, hasil dari sistem pemerintahan yang kompleks dan birokrasi yang rumit. Namun, jika kita menelusuri sejarah Islam, ternyata praktik korupsi sudah ada bahkan sejak zaman Rasulullah SAW hidup dan memimpin umatnya. Bedanya, pada masa itu, Rasulullah dan para sahabat menanganinya dengan tegas, adil, dan penuh keteladanan.

Korupsi dalam Pandangan Islam

Secara etimologis, korupsi berasal dari kata Latin corruptio yang berarti kebusukan, kerusakan, atau ketidakjujuran. Dalam Islam, istilah yang paling mendekati makna korupsi adalah ghulul (غلول), yaitu penggelapan atau pengkhianatan terhadap amanah, terutama terhadap harta yang menjadi milik bersama (baitul mal) atau hasil rampasan perang (ghanimah).

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

“Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa berkhianat dalam urusan itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi balasan tentang apa yang dikerjakannya dengan setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”
(QS. Ali ‘Imran [3]: 161)

Ayat ini menunjukkan betapa besar dosa seorang yang melakukan ghulul. Dalam konteks modern, ghulul ini bisa sama dengan korupsi: menyalahgunakan jabatan untuk mengambil harta publik, uang negara, atau amanah masyarakat demi keuntungan pribadi.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Kasus Korupsi pada Zaman Rasulullah SAW

Walaupun masyarakat Muslim pada masa Rasulullah adalah masyarakat yang beriman dan penuh ketakwaan, bukan berarti tidak ada yang tergoda oleh harta dan melakukan penyimpangan. Tercatat beberapa peristiwa yang menunjukkan bahwa praktik seperti korupsi sudah muncul pada masa itu, dan Rasulullah SAW menanganinya dengan sangat tegas.

Sejarah mencatat, setidaknya telah terjadi dua kali kasus korupsi pada zaman Nabi SAW, yaitu pertama, kasus ghulul atau penggelapan oleh sebagian pasukan perang Uhud. Kedua, kasus hadiah (gratifikasi) bagi petugas pemungut zakat di kampung Bani Sulaim, bernama Ibn al-Lutbiyyah.

Kasus Ghulul oleh Seorang Tentara

Dalam sebuah riwayat sahih menyebutkan, setelah terjadi perang Khaibar, Rasulullah SAW mengingatkan para pasukannya untuk tidak mengambil harta rampasan perang sebelum terbagi secara adil. Namun, seorang sahabat yang ikut perang ditemukan wafat dalam pertempuran, dan orang-orang memuji keberaniannya. Akan tetapi, Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya teman kalian telah berbuat ghulul (menggelapkan harta rampasan perang).”

Para sahabat terkejut. Setelah diperiksa, ternyata di antara barang-barang milik tentara tersebut ditemukan seutas kalung yang tidak ia serahkan kepada pemimpin pasukan. Rasulullah SAW kemudian bersabda:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

“Sungguh seutas tali atau sedikit dari harta rampasan perang yang diambil dengan curang akan menjadi api neraka bagi pelakunya pada hari kiamat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Peristiwa ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak menoleransi sekecil apa pun bentuk penyimpangan terhadap amanah. Bukan mengukur nilai korupsi dari besarnya nominal, tetapi dari rusaknya moral dan niat dalam hati.

Hadiah untuk Pejabat (Kasus Abdullah bin al-Lutbiyyah)

Salah satu contoh nyata yang sangat mirip dengan praktik korupsi masa kini adalah kisah Abdullah bin al-Lutbiyyah. Ia adalah seorang sahabat yang mendapat tugas dari Rasulullah SAW untuk mengumpulkan zakat dari masyarakat. Ketika ia kembali, ia berkata kepada Rasulullah:

“Wahai Rasulullah, ini zakat yang menjadi hak pemerintah, dan ini hadiah yang diberikan kepadaku.”

Namun Rasulullah SAW dengan tegas menegurnya dan bersabda:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

“Mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, lalu lihatlah apakah engkau akan mendapatkan hadiah seperti itu atau tidak? Demi Allah, siapa pun yang mengambil sesuatu bukan haknya, maka ia akan datang pada hari kiamat sambil memikulnya—baik itu unta yang melenguh, sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam kasus ini, Rasulullah SAW mengajarkan prinsip penting: hadiah yang diterima karena jabatan bukanlah hadiah, melainkan bentuk suap atau gratifikasi. Prinsip ini sangat relevan dengan konteks zaman modern, di mana banyak pejabat menggunakan jabatannya untuk menerima “hadiah” dari pihak tertentu sebagai imbalan atas kebijakan atau keputusan yang menguntungkan.

Akar Korupsi: Cinta Dunia dan Lemahnya Iman

Rasulullah SAW telah mengingatkan bahwa salah satu sumber utama kerusakan umat adalah cinta dunia yang berlebihan. Dalam hadis riwayat Abu Dawud, beliau bersabda:

“Akan datang suatu zaman kepada manusia, ketika mereka tidak peduli dari mana mereka mendapatkan harta; apakah dari yang halal atau haram.”

Ketika hati manusia dikuasai oleh keinginan duniawi, jabatan bukan lagi amanah tetapi kesempatan. Korupsi lahir dari nafsu tamak dan lemahnya kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa manusia yang tidak menundukkan hawa nafsunya terhadap nilai-nilai iman akan mudah tergoda untuk menipu, mencuri, dan berkhianat—karena hatinya telah mati oleh cinta dunia. Oleh sebab itu, pencegahan korupsi dalam Islam bukan hanya soal pengawasan eksternal, tetapi juga penanaman iman yang kuat di dalam hati.

Rasulullah SAW Sebagai Teladan Antikorupsi

Salah satu alasan mengapa Rasulullah SAW menjadi pemimpin yang terhormat dan disegani adalah karena integritas dan kejujurannya. Sejak sebelum menjadi nabi, beliau terkenal sebagai Al-Amin, orang yang paling terpercaya. Ketika memegang amanah, beliau tidak mengambil sedikit pun hak yang bukan miliknya.

Dalam sejarah, Rasulullah SAW menolak keras segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Beliau hidup dengan sangat sederhana, bahkan dalam posisi sebagai kepala negara. Rumahnya kecil, makanannya sederhana, dan pakaian beliau jauh dari kemewahan. Ini adalah pesan moral yang mendalam: pemimpin sejati tidak mengambil keuntungan pribadi dari jabatannya.

Sikap Para Sahabat terhadap Amanah

Ketegasan Rasulullah melahirkan generasi sahabat yang juga sangat takut terhadap dosa korupsi. Umar bin Khattab, misalnya, ketika menjabat sebagai khalifah, terkenal sangat keras dalam hal pengawasan harta negara. Beliau sering memeriksa kekayaan para pejabatnya sebelum dan sesudah menjabat. Jika menemukan peningkatan harta yang mencurigakan, beliau akan menyelidikinya, dan bila terbukti, akan mengembalikan harta itu ke baitul mal.

Umar bin Abdul Aziz juga terkenal sangat zuhud. Ia bahkan mematikan lampu istana yang biayainya dari negara ketika berbicara urusan pribadi dengan keluarganya. Hal ini menunjukkan betapa tinggi standar moral para pemimpin Islam terhadap penggunaan fasilitas negara.

Korupsi di Zaman Modern: Wajah Lama dalam Bentuk Baru

Jika menelusuri praktik korupsi zaman sekarang, seperti penggelapan anggaran, suap, nepotisme, atau gratifikasi, tidak jauh berbeda dengan ghulul yang terjadi pada masa Rasulullah SAW. Bedanya, korupsi modern dilakukan dengan cara lebih canggih, terselubung, dan berdampak sistemik. Namun, hakikatnya tetap sama: pengkhianatan terhadap amanah publik.

Islam tidak hanya mengatur hukuman dunia bagi pelaku korupsi, tetapi juga mengingatkan ancaman azab akhirat yang sangat berat. Rasulullah SAW bersabda:

“Barang siapa yang melakukan ghulul, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil curiannya itu di atas pundaknya.”
(HR. Muslim)

Solusi Islam terhadap Korupsi

Islam memberikan solusi yang sangat komprehensif dalam memberantas korupsi, mencakup aspek spiritual, sosial, dan hukum :

  1. Menanamkan Takwa dan Kesadaran Akhirat
    Ketika seseorang yakin bahwa Allah melihat setiap amalnya, ia akan berhati-hati dalam setiap tindakan. Takwa adalah benteng pertama melawan godaan dunia.
  2. Keteladanan Pemimpin
    Rasulullah SAW menunjukkan bahwa pemimpin yang bersih akan melahirkan masyarakat yang bersih. Keteladanan jauh lebih kuat daripada peraturan.
  3. Transparansi dan Akuntabilitas
    Islam mengajarkan pentingnya kejujuran dan pencatatan yang jelas dalam urusan keuangan, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah ayat 282 tentang pencatatan utang.
  4. Pengawasan Sosial dan Hukum yang Tegas
    Rasulullah SAW dan para khalifah menegakkan disiplin terhadap pejabat publik. Tidak ada toleransi terhadap pengkhianatan amanah.

Penutup

Korupsi bukanlah masalah baru. Ia telah ada sejak zaman Rasulullah SAW, dan bahkan pada masa itu pun manusia bisa tergoda oleh harta. Namun, Islam telah menunjukkan jalan yang jelas untuk mengatasinya, yakni dengan iman, ketakwaan, dan keteladanan pemimpin.

Rasulullah SAW bersabda:

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Maka, setiap Muslim sejatinya adalah penjaga amanah, baik dalam skala kecil maupun besar. Korupsi, dalam bentuk apa pun, adalah pengkhianatan terhadap kepercayaan itu. Umat Islam harus belajar dari teladan Rasulullah dan para sahabatnya, bahwa kejujuran bukan sekadar moral pribadi, tetapi fondasi keberkahan umat dan peradaban.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement