Khazanah
Beranda » Berita » Jiwa yang Tersesat: Tentang Penyakit yang Tak Terlihat di Wajah

Jiwa yang Tersesat: Tentang Penyakit yang Tak Terlihat di Wajah

Ilustrasi pengobatan jiwa menurut Abū Bakr al-Rāzī.
Ilustrasi simbolik tentang penyembuhan batin dari pandangan al-Rāzī dalam al-Ṭibb al-Rūḥānī.

Surau.co. Jiwa yang tersesat – Di antara keramaian manusia yang saling menyapa dengan senyum, ada yang menyembunyikan luka di balik tawa. Ia berjalan tegak, tampak baik-baik saja, namun di dalam dadanya berkecamuk badai yang tak terlukiskan. Di sinilah Abū Bakr al-Rāzī, sang dokter agung dari Rayy, memulai perbincangan panjang dalam al-Ṭibb al-Rūḥānī. Ia berkata bahwa setiap tubuh memiliki tabibnya, dan setiap jiwa pun membutuhkan pengobatan.

Menurutnya, penyakit jiwa jauh lebih berbahaya daripada penyakit tubuh. Tubuh yang sakit bisa disembuhkan dengan ramuan dan istirahat, tapi jiwa yang rusak menular kepada seluruh amal, bahkan mencuri cahaya hidup seseorang. Dalam kalimat pembuka kitabnya, al-Rāzī menulis:

“فإن الطبيب الحاذق لا يداوي الأبدان فقط، بل يداوي الأرواح إذا سقمَت.”
“Seorang tabib sejati tidak hanya mengobati tubuh, tetapi juga jiwa ketika ia sakit.”

Luka yang tak berdarah: akar dari kegelisahan manusia

Fenomena yang sering kita lihat hari ini — kecemasan, kemarahan, iri, dan rasa hampa — bukan hal baru dalam sejarah manusia. Al-Rāzī, yang hidup di abad ke-9, sudah menulis tentangnya dengan penuh kejernihan. Ia menegaskan bahwa sumber penderitaan batin bukan pada keadaan luar, melainkan pada kekacauan akal dalam menafsirkan hidup.

“من لم يُدرّب عقله على الصبر، كان كالسفينة التي لا رُبّان لها، تموج بها الرياح حيث شاءت.”
“Barang siapa tidak melatih akalnya untuk bersabar, ia seperti kapal tanpa nakhoda, yang terombang-ambing oleh angin.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Kita sering mengira bahwa penyebab kegelisahan adalah kehilangan pekerjaan, patah hati, atau gagal dalam cita-cita. Padahal, menurut al-Rāzī, semua itu hanyalah permukaan dari luka yang lebih dalam: ketidakteraturan akal dalam menilai kebaikan dan keburukan. Ia mengajarkan bahwa akal adalah tabib sejati, dan nafsu adalah pasien yang keras kepala.

Akal sebagai tabib, nafsu sebagai pasien

Dalam dunia modern, manusia sering memanjakan nafsunya atas nama kebebasan. Padahal, al-Rāzī memperingatkan bahwa jiwa yang menuruti keinginannya tanpa kendali akan menjadi budak hawa nafsu. Ia menulis dengan ketegasan seorang filsuf sekaligus kelembutan seorang penyembuh:

“من غلبت شهوته عقله، كان مريض النفس وإن بدا صحيح الجسد.”
“Siapa yang dikuasai oleh syahwatnya atas akalnya, maka ia sakit jiwanya meskipun tampak sehat tubuhnya.”

Betapa sering manusia tampak sukses, tapi hatinya kosong. Betapa banyak yang tubuhnya segar, namun jiwanya lemah menghadapi kekecewaan kecil. Al-Rāzī menyebut keadaan itu sebagai penyakit tanpa wajah, penyakit yang tak terlihat oleh mata, tetapi terasa oleh nurani.

Cermin hati: melihat ke dalam diri sendiri

Ada satu bagian dalam kitab al-Ṭibb al-Rūḥānī yang paling menenangkan sekaligus menusuk, saat al-Rāzī mengajak pembacanya bercermin ke dalam diri:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“اعرف نفسك، فإنك إن جهلتها لم تدر ما الذي يشقيك وما الذي يسعدك.”
“Kenalilah dirimu, sebab jika engkau tidak mengenalnya, engkau tidak akan tahu apa yang membuatmu sengsara dan apa yang membuatmu bahagia.”

Kata-kata ini seperti nasihat dari seorang sahabat lama yang lembut. Dalam konteks keseharian, mengenal diri bukan sekadar mengenal hobi atau sifat, tapi menyadari dorongan halus yang memandu pilihan-pilihan kita — cinta yang berlebihan pada pujian, ketakutan akan penolakan, atau haus akan pengakuan. Semua itu, kata al-Rāzī, adalah gejala-gejala batin yang perlu disembuhkan dengan muhasabah (refleksi diri).

Penyakit jiwa dan Al-Qur’an: pengingat dari langit

Al-Qur’an juga menyinggung tentang manusia yang menderita bukan karena tubuhnya, melainkan karena penyakit hatinya. Allah berfirman:

فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya.” (QS. al-Baqarah [2]: 10)

Ayat ini mengingatkan bahwa penyakit hati seperti dengki, riya, dan sombong bukan hanya kelemahan moral, tetapi bentuk penyakit spiritual. Jika tidak disembuhkan, ia menular kepada seluruh amal dan merusak hubungan seseorang dengan dirinya, manusia, dan Tuhannya.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Al-Rāzī seolah menggaungkan pesan yang sama: penyembuhan sejati bukan di luar, tapi di dalam. Ia menulis:

“من أصلح باطنه أصلح الله له ظاهره، وكان قلبه كالمرآة الصافية.”
“Siapa yang memperbaiki batinnya, Allah akan memperbaiki lahiriahnya, dan hatinya menjadi seperti cermin yang bening.”

Jalan penyembuhan: kesadaran, kesabaran, dan latihan jiwa

Al-Rāzī tidak mengajarkan doa-doa mistis atau ritual rumit untuk menyembuhkan jiwa. Ia mengajarkan sesuatu yang lebih mendalam — latihan akal dan kesadaran hati. Dalam dunia penuh kebisingan, penyembuhan sering dimulai dengan keheningan: duduk, menyadari diri, menakar keinginan, dan menerima takdir dengan lapang dada.

Ia mengakhiri kitabnya dengan kalimat yang menenangkan:

“سعادة النفس في أن ترضى بما قسم الله لها، وأن تأنس بعقله لا بشهواته.”
“Kebahagiaan jiwa adalah ketika ia ridha dengan apa yang Allah tetapkan untuknya, dan ia merasa tenang dengan akalnya, bukan dengan syahwatnya.”

Merenungi kembali: mungkin kita semua sedang butuh tabib jiwa

Dalam kehidupan modern yang serba cepat, banyak dari kita tidak sadar sedang memikul penyakit batin. Kita sibuk mempercantik wajah, melatih tubuh, tetapi lupa merawat jiwa. Seperti kata al-Rāzī, “Tubuh yang sehat dengan jiwa yang sakit hanyalah wadah indah yang berisi racun.”

Mungkin pengobatan spiritual yang dimaksud al-Rāzī bukan sekadar doktrin moral, melainkan ajakan untuk berhenti sejenak, menatap ke dalam, dan kembali mengenal siapa diri kita. Sebab, hanya dengan mengenali penyakit, seseorang bisa disembuhkan.

Penutup: Jiwa yang Tersesat, Tapi Masih Bisa Pulang

Setiap jiwa yang tersesat masih memiliki jalan pulang — jalan akal yang jernih dan hati yang berserah. Al-Rāzī memberi kita peta sederhana: pahami dirimu, kendalikan nafsumu, dan biarkan akal menjadi lentera di tengah gelapnya hati. Karena jiwa yang sembuh bukan hanya tenang, tapi juga memancarkan cahaya yang membuat dunia di sekitarnya ikut sembuh.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement