Surau.co. Zaman sekarang, sulit rasanya tidak jatuh cinta pada dunia. Lihat saja: ponsel terbaru dirilis tiap tahun, kafe estetik bermunculan di setiap sudut kota, dan linimasa media sosial penuh dengan gaya hidup yang seolah wajib dicapai. Kita ingin semua itu—dan tanpa sadar, kita sedang tenggelam dalam cinta dunia.
Namun jauh sebelum munculnya budaya unboxing dan self-branding, Imam al-Ghazali sudah memperingatkan:
حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ
“Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan.”
Ungkapan itu begitu populer, tapi maknanya sering luput. Cinta dunia bukan berarti menolak kehidupan atau kemajuan, melainkan ketika hati terlalu terikat pada kenikmatan dunia hingga lupa arah pulang. Dalam Bidayatul Hidayah, al-Ghazali menjelaskan bahwa dunia ibarat racun yang manis—menyenangkan di lidah, tapi mematikan perlahan.
Ketika Dunia Jadi Tuhan Baru
Imam al-Ghazali hidup pada abad ke-11, tapi kritiknya terasa seperti ditulis untuk abad ke-21. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau menulis:
الدُّنْيَا مَزْرَعَةُ الْآخِرَةِ، فَازْرَعْ فِيهَا الْخَيْرَ وَلَا تَغْتَرَّ بِزِينَتِهَا
“Dunia adalah ladang akhirat, maka tanamlah kebaikan di dalamnya dan jangan tertipu oleh perhiasannya.”
Kalimat itu menampar kita yang hidup di era flex culture, di mana nilai seseorang sering diukur dari barang yang ia pakai, tempat ia berlibur, atau seberapa sering ia tampil di linimasa. Dunia menjadi semacam “tuhan baru” yang menentukan harga diri manusia.
Cinta dunia terasa halus. Ia tidak datang sebagai dosa besar, tapi sebagai keinginan kecil yang tumbuh perlahan: ingin dipuji, ingin dilihat, ingin memiliki. Dan setiap “ingin” itu membuat hati semakin berat untuk tunduk kepada Tuhan.
Mengapa Kita Mudah Jatuh Cinta pada Dunia?
Secara psikologis, manusia memang mencari rasa aman dan pengakuan. Dunia menawarkan itu semua, meski semu. Al-Ghazali menulis bahwa sumber cinta dunia adalah ghurur — keterpedayaan oleh kenikmatan sementara.
الْمَغْرُورُ مَنْ غَرَّتْهُ الدُّنْيَا بِزِينَتِهَا
“Orang yang tertipu adalah yang diperdaya oleh keindahan dunia.”
Kita mencintai dunia karena dunia pandai merayu. Ia memberi sensasi pencapaian, meski hanya sesaat. Setelah mendapat satu, kita ingin dua. Setelah viral sekali, kita ingin viral lagi. Dunia tidak pernah kenyang memberi candu, sementara hati kita tidak pernah puas menerimanya.
Generasi Z, dengan segala tekanan sosial dan ekonomi, hidup di persimpangan paling rumit antara idealisme dan materialisme. Kita ingin hidup bermakna, tapi juga ingin mapan. Kita bicara tentang healing, tapi tetap mengejar branding. Di titik inilah cinta dunia bekerja halus—bukan menghancurkan dalam sekejap, tapi mengikis ketulusan sedikit demi sedikit.
Pandangan Al-Qur’an tentang Dunia yang Memabukkan
Al-Qur’an mengingatkan berkali-kali tentang tipu daya dunia. Dalam Surah Al-Hadid ayat 20, Allah berfirman:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ
“Ketahuilah bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan, senda gurau, perhiasan, saling bermegah-megahan, dan berlomba dalam kekayaan serta anak keturunan.”
Ayat ini tidak melarang menikmati dunia, tetapi mengingatkan agar tidak menjadikannya tujuan utama. Dunia hanya “permainan” — tempat kita belajar, bukan tempat kita menetap.
Imam al-Ghazali mengibaratkan dunia seperti bayangan: semakin kita kejar, semakin ia menjauh. Tapi ketika kita berpaling dan fokus berjalan menuju akhirat, dunia justru mengikuti dari belakang.
Tiga Jenis Pecinta Dunia Menurut Al-Ghazali
Dalam Bidayatul Hidayah, al-Ghazali membagi orang yang mencintai dunia ke dalam tiga golongan besar:
- Mereka yang terikat pada harta.
Orang ini menimbun kekayaan tanpa niat memberi manfaat. Hartanya menjadi beban, bukan alat kebaikan. - Mereka yang terikat pada jabatan dan kekuasaan.
Mereka mengejar posisi agar dipuji dan dihormati. Kekuasaan bagi mereka bukan amanah, tapi sumber kebanggaan. - Mereka yang terikat pada kemewahan dan kesenangan.
Mereka hidup hanya untuk bersenang-senang, melupakan bahwa hidup sejatinya adalah ujian.
Al-Ghazali menerangkan bahwa:
الدُّنْيَا خَمْرُ الشَّيْطَانِ، مَنْ شَرِبَهَا سَكِرَ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ
“Dunia adalah minuman keras setan; siapa yang meminumnya akan mabuk dan lupa mengingat Allah.”
Cinta dunia bekerja seperti racun yang larut dalam manisnya madu. Ia tidak langsung mematikan, tapi melemahkan kesadaran perlahan—sampai seseorang lupa siapa dirinya dan untuk apa ia hidup.
Cinta Dunia dan Kecemasan Modern
Menariknya, apa yang dikatakan al-Ghazali berabad-abad lalu kini terkonfirmasi oleh psikologi modern. Ketika manusia mengaitkan kebahagiaan dengan materi, tingkat kecemasannya justru meningkat. Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) atau rasa gelisah karena takut tertinggal, adalah bentuk modern dari cinta dunia.
Media sosial menumbuhkan ilusi bahwa orang lain selalu lebih bahagia, lebih sukses, lebih cantik, lebih kaya. Akibatnya, hati mudah iri dan sulit bersyukur. Dalam perspektif Bidayatul Hidayah, ini adalah gejala hati yang sedang diracuni dunia.
Imam al-Ghazali tidak menyuruh kita membenci dunia, tetapi meletakkannya di tangan, bukan di hati. Dunia boleh kita miliki, tapi jangan sampai memiliki kita.
Zuhud: Obat Racun Dunia
Dalam menghadapi cinta dunia, al-Ghazali menawarkan zuhud — bukan hidup miskin, melainkan hidup dengan kesadaran bahwa dunia sementara. Ia menulis:
لَيْسَ الزُّهْدُ أَنْ لَا تَمْلِكَ شَيْئًا، بَلِ الزُّهْدُ أَنْ لَا يَمْلِكَكَ شَيْءٌ
“Zuhud bukan berarti tidak memiliki apa-apa, tetapi tidak membiarkan apa pun memiliki dirimu.”
Zuhud berarti menikmati dunia tanpa terikat. Kita bisa bekerja keras, membeli barang, bahkan menikmati kopi mahal — tapi semua itu tidak membuat hati bergantung padanya.
Dalam Islam, dunia bukan musuh, melainkan ujian. Yang diuji bukan seberapa banyak kita punya, tapi seberapa tenang kita ketika kehilangan.
Latihan Hati: Cara Melepaskan Cinta Dunia
Al-Ghazali menyarankan beberapa cara praktis agar hati tidak dikuasai cinta dunia:
- Mengingat kematian setiap hari.
Dunia terasa ringan jika kita sadar bahwa semuanya akan ditinggal. Rasulullah ﷺ bersabda:
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ
“Perbanyaklah mengingat penghancur kenikmatan (kematian).” (HR. Tirmidzi)
- Bersyukur atas yang sederhana.
Orang yang bersyukur tidak mudah diperbudak keinginan. Ia melihat nikmat pada roti hangat dan udara pagi, bukan hanya pada liburan mahal. - Bergaul dengan orang zuhud.
Lingkungan menentukan isi hati. Berteman dengan orang yang hidup sederhana akan menularkan kebeningan batin. - Menjaga niat.
Bekerja dan belajar boleh untuk dunia, tapi niatkan demi kebaikan dan kemaslahatan, bukan sekadar gengsi.
Dengan latihan itu, kita belajar mencintai dunia secukupnya dan mencintai Allah sepenuhnya.
Dunia di Genggaman, Bukan di Hati
Kehidupan modern menuntut kita aktif di dunia, tapi al-Ghazali mengingatkan agar tetap sadar batas. Dunia boleh di tangan seperti air, tapi jangan sampai masuk ke hati seperti racun.
Dalam salah satu doa, beliau menulis:
اللَّهُمَّ اجْعَلِ الدُّنْيَا فِي أَيْدِينَا وَلَا تَجْعَلْهَا فِي قُلُوبِنَا
“Ya Allah, jadikanlah dunia di tangan kami, dan jangan Kau letakkan di hati kami.”
Generasi Z yang hidup di tengah derasnya arus konsumerisme butuh doa ini. Kita boleh bekerja di dunia digital, berkarier, berbisnis, tapi biarlah hati tetap sederhana—karena kesederhanaan adalah bentuk kekayaan yang paling sejati.
Cinta Dunia dan Krisis Makna
Ketika semua hal diukur dengan angka dan popularitas, banyak orang kehilangan rasa makna. Mereka bekerja keras tapi tidak tahu untuk apa. Mereka mengejar kesuksesan, tapi justru kehilangan diri.
Cinta dunia membuat manusia mengejar sesuatu yang terus bergerak. Hari ini kita bahagia karena berhasil, besok gelisah karena kalah. Dan begitu terus, tanpa ujung.
Al-Ghazali menyebut kondisi ini sebagai penyakit hati yang kronis. Ia menulis:
مَنْ أَحَبَّ الدُّنْيَا ضَرَّ بِآخِرَتِهِ
“Siapa yang mencintai dunia, ia akan merugikan akhiratnya.”
Ketika cinta dunia mendominasi, hati menjadi buta terhadap nilai-nilai abadi. Segala sesuatu dilihat dari untung-rugi, bukan benar-salah. Padahal, hidup yang berarti justru dimulai ketika kita belajar melepaskan yang sementara.
Penutup
Cinta dunia memang racun yang tak terasa. Ia mengalir lembut, membuat kita merasa hidup, padahal perlahan mematikan nurani. Tapi racun itu bisa menjadi obat bila kita menyadari dosisnya.
Imam al-Ghazali mengajarkan keseimbangan: bekerja untuk dunia seolah hidup selamanya, tapi beribadah untuk akhirat seolah mati besok. Dunia bukan untuk dibenci, tapi untuk dijaga jaraknya.
Maka, setiap kali kita tergoda oleh gemerlap dunia, mungkin saatnya berhenti sejenak, menarik napas, dan bertanya: apakah aku masih mencintai dunia terlalu dalam?
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
