Khazanah
Beranda » Berita » Membersihkan Hati dari Iri Dengki Menurut Kitab Bidayatul Hidayah

Membersihkan Hati dari Iri Dengki Menurut Kitab Bidayatul Hidayah

Ilustrasi reflektif tentang generasi muda yang menjaga hati dari iri dan dengki menurut ajaran Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah.
Ilustrasi realistik-filosofis seorang pemuda duduk di depan layar ponsel yang terang, sementara di dadanya memancar cahaya lembut — simbol hati yang bersih dari iri dan dengki meski dunia di sekelilingnya riuh.

Kita hidup di era di mana perbandingan menjadi hal yang sangat mudah. Satu guliran layar bisa menampilkan kehidupan orang lain: keberhasilan mereka, kebahagiaan mereka, pencapaian mereka. Tanpa sadar, kita mulai menimbang diri. Mengapa dia bisa, dan aku tidak? Mengapa hidupku terasa datar sementara orang lain selalu tampak bersinar?

Perasaan itu, bila dibiarkan, bisa tumbuh menjadi api kecil bernama iri dan dengki. Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah menyebut keduanya sebagai penyakit hati yang paling halus tapi paling berbahaya. Ia menulis:

إِيَّاكَ وَالْحَسَدَ فَإِنَّهُ يُفْسِدُ دِينَهُ كَمَا يُفْسِدُ الصَّبِرُ الْعَسَلَ
“Jauhilah sifat hasad (dengki), karena ia merusak agama sebagaimana cuka merusak madu.”

Iri hati memang tidak terlihat. Ia tidak menimbulkan luka fisik, tapi merusak kedamaian batin secara perlahan. Dan di dunia yang penuh pencitraan, menjaga hati tetap bersih terasa semakin sulit.

Apa Itu Iri dan Dengki?

Dalam pandangan al-Ghazali, iri (ghibtah) dan dengki (hasad) memiliki garis tipis yang membedakan keduanya. Iri adalah keinginan untuk memiliki kebaikan yang dimiliki orang lain tanpa berharap kebaikan itu hilang darinya. Sementara dengki adalah keinginan agar nikmat yang dimiliki orang lain lenyap, entah berpindah kepada kita atau hilang begitu saja.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Allah memperingatkan dalam Al-Qur’an:

أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَىٰ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ
“Apakah mereka dengki kepada manusia karena karunia yang Allah berikan kepada mereka?” (QS. An-Nisa: 54)

Dengki bukan sekadar rasa tidak suka, tapi bentuk penolakan terhadap keputusan Allah. Ia seperti berkata dalam diam, “Mengapa bukan aku yang mendapatkannya?” Padahal, di balik setiap pembagian rezeki, ada kebijaksanaan Ilahi yang tidak selalu tampak oleh mata manusia.

Akar Iri: Luka Harga Diri

Imam al-Ghazali menulis bahwa iri hati tumbuh dari dua akar: cinta dunia dan kebencian terhadap sesama. Orang yang terikat dengan dunia akan sulit menerima bahwa orang lain memiliki sesuatu yang lebih darinya.

Dalam bahasa psikologi modern, iri muncul dari rasa kurang — perasaan bahwa hidup kita tidak cukup baik dibanding orang lain. Generasi Z, yang tumbuh di tengah media sosial, sangat rentan terhadap hal ini. Setiap hari, mereka dihadapkan pada highlight reel kehidupan orang lain, sementara mereka sendiri tahu betapa banyak “behind the scene” dalam hidup mereka yang tak seindah tampilan luar.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Di sinilah ajaran al-Ghazali terasa sangat relevan. Beliau tidak hanya menyuruh kita menghindari iri, tetapi juga mengobatinya dengan kesadaran spiritual. Ia menulis:

اعْلَمْ أَنَّ النِّعْمَةَ لَا تُسْتَدَامُ بِالْحَسَدِ بَلْ تُسْتَدَامُ بِالشُّكْرِ
“Ketahuilah bahwa nikmat tidak akan kekal dengan iri, melainkan akan kekal dengan syukur.”

Artinya, cara terbaik menghapus iri bukanlah dengan menutupi pencapaian orang lain, tapi dengan memperkuat rasa syukur atas apa yang kita miliki.

Ketika Media Sosial Memupuk Hasad

Mari jujur: berapa kali dalam seminggu kita merasa kecil setelah membuka media sosial? Melihat teman menikah, meraih beasiswa, punya usaha, atau tampak bahagia? Perasaan iri itu muncul begitu cepat, bahkan sebelum kita sempat sadar.

Masalahnya, algoritma media sosial tidak peduli pada kesehatan hati. Ia hanya memperlihatkan apa yang ingin kita lihat — sering kali justru hal-hal yang membuat kita merasa tertinggal. Maka, tanpa pengendalian diri, hati kita bisa menjadi ladang subur bagi benih iri.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Imam al-Ghazali memberikan resep spiritual yang sederhana tapi dalam: sibukkan diri dengan kelebihanmu sendiri. Beliau menulis:

انْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ دُونَكَ فِي الدُّنْيَا وَلَا تَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكَ
“Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dalam urusan dunia, dan jangan melihat kepada yang di atasmu.”

Ajaran ini bukan untuk melemahkan ambisi, tetapi untuk menjaga keseimbangan batin. Melihat ke bawah melatih syukur; melihat ke atas tanpa kendali menumbuhkan iri.

Membersihkan Hati: Dari Iri Menuju Ridha

Al-Ghazali memandang hati sebagai cermin. Bila ia kotor, semua yang tampak di dalamnya akan terdistorsi. Maka, membersihkan hati dari iri berarti membersihkan cara kita melihat dunia.

Langkah pertama adalah mengenali iri itu sendiri. Banyak orang menolak mengakui perasaan dengki karena dianggap memalukan. Padahal, pengakuan adalah awal dari penyembuhan.

Langkah kedua adalah mendoakan orang yang kita iri. Inilah latihan paling sulit namun paling efektif. Ketika kita mulai berdoa agar orang lain diberkahi dan disayang oleh Allah, hati perlahan melunak. Doa yang dulu terasa berat berubah menjadi ketenangan.

Langkah ketiga adalah berlatih ridha. Ridha bukan berarti pasrah tanpa usaha, tetapi menerima bahwa setiap takdir Allah memiliki tempat dan waktunya sendiri. Seperti air yang mengalir, rezeki dan keberkahan akan sampai pada wadah yang disiapkan untuknya.

Dengki dan Bahaya Tersembunyi di Balik Amal Baik

Yang menarik dari penjelasan al-Ghazali adalah bahwa iri bisa menyusup bahkan dalam amal baik. Ia menulis bahwa seseorang bisa iri terhadap kebaikan orang lain dalam beribadah, dalam ilmu, bahkan dalam kedermawanan.

الْحَسَدُ فِي أُمُورِ الدِّينِ أَخْفَى وَأَخْطَرُ
“Dengki dalam urusan agama lebih tersembunyi dan lebih berbahaya.”

Contohnya, seseorang yang rajin beribadah bisa merasa kesal melihat temannya lebih khusyuk. Seorang pelajar agama bisa terganggu melihat orang lain lebih dihormati karena ilmunya. Ini adalah bentuk halus dari riya dan ujub yang lahir dari dengki spiritual.

Imam al-Ghazali menegaskan bahwa amal yang diselimuti iri tidak akan mengantarkan kepada Allah. Justru, ia menjauhkan kita karena hati tidak lagi tulus.

Iri yang Membangun: Ghibtah yang Terpuji

Islam tidak menolak sepenuhnya rasa ingin memiliki apa yang dimiliki orang lain. Dalam beberapa hadis, Nabi ﷺ menyebut bentuk iri yang terpuji (ghibtah), yaitu iri yang mendorong seseorang untuk meniru kebaikan tanpa mengharap keburukan bagi orang lain.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْمَالَ فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh ada iri kecuali terhadap dua hal: seseorang yang diberi harta lalu ia gunakan di jalan kebenaran, dan seseorang yang diberi ilmu lalu ia amalkan serta ajarkan kepada orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ghibtah inilah yang sehat bagi jiwa. Ia memacu, bukan merusak. Ia menumbuhkan semangat untuk berbuat baik, bukan untuk menjatuhkan. Dalam konteks Generasi Z, ghibtah bisa berarti terinspirasi oleh keberhasilan orang lain untuk menjadi lebih bermanfaat, bukan untuk sekadar lebih populer.

Hati yang Bersih, Jiwa yang Damai

Al-Ghazali mengibaratkan hati seperti wadah. Bila ia diisi oleh iri dan dengki, tidak ada ruang bagi cinta dan ketenangan. Tapi bila ia diisi oleh doa dan syukur, maka segala hal akan terasa cukup.

Beliau menulis dengan lembut:

الْمُؤْمِنُ لَا يَحْسُدُ أَخَاهُ، بَلْ يُحِبُّ لَهُ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Seorang mukmin tidak akan mendengki saudaranya, tetapi mencintai untuknya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.”

Hati yang bersih tidak merasa tersaingi oleh kebahagiaan orang lain. Ia justru tenang, karena tahu bahwa kebaikan orang lain tidak mengurangi jatahnya. Dunia ini luas, dan rahmat Allah tidak terbatas.

Menutup Hari dengan Hati yang Lapang

Setiap malam, sebelum tidur, Imam al-Ghazali menasihati agar seorang hamba memeriksa hatinya. Apakah hari ini ia iri? Apakah hatinya tenang atau masih menyimpan bara kecil? Bila masih ada rasa dengki, maka malam adalah waktu terbaik untuk memadamkannya dengan istighfar dan doa.

Allah berfirman:

وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِم مِّنْ غِلٍّ إِخْوَانًا عَلَىٰ سُرُرٍ مُّتَقَابِلِينَ
“Dan Kami cabut segala rasa dengki yang ada di dalam dada mereka, sehingga mereka menjadi bersaudara, duduk berhadap-hadapan di atas dipan.” (QS. Al-Hijr: 47)

Ayat ini menggambarkan surga bukan hanya sebagai tempat yang indah, tapi juga tempat di mana hati manusia sudah benar-benar bersih dari iri dan kebencian. Karena tidak ada surga bagi hati yang masih sesak oleh perbandingan.

Penutup

Membersihkan hati dari iri dan dengki adalah perjalanan seumur hidup. Tidak ada manusia yang benar-benar terbebas dari rasa itu, tetapi kita bisa belajar untuk tidak membiarkannya tumbuh.

Bagi Generasi Z yang hidup di tengah kecepatan, latihan paling spiritual justru mungkin adalah melambat. Tidak perlu selalu membandingkan, cukup hadir dan bersyukur.

Sebab, hati yang bersih bukanlah hati tanpa rasa, tetapi hati yang mampu mencintai tanpa menghitung, dan berbahagia tanpa membandingkan.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement