Di zaman digital ini, lidah tak lagi berbentuk otot di dalam mulut. Ia menjelma menjadi jari yang mengetik cepat di layar ponsel, menjadi suara di ruang siar, menjadi komentar spontan di kolom unggahan. Ucapan tidak lagi terbatas oleh jarak dan waktu. Sekali diunggah, kata bisa melesat cepat ke seluruh dunia, kadang tanpa sempat disaring oleh hati.
Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah menulis nasihat yang sederhana tapi menampar:
احْفَظْ لِسَانَكَ إِلَّا عَنْ ذِكْرِ اللهِ
“Jagalah lidahmu kecuali untuk menyebut nama Allah.”
Sederhana, tapi berat. Karena di dunia yang setiap detiknya berisik oleh opini, menjaga lidah berarti menahan diri dari kebiasaan yang justru dianggap biasa — mengomentari, mengeluh, membalas, atau sekadar ikut ramai.
Generasi Z, yang tumbuh dalam budaya ekspresi tanpa batas, menghadapi tantangan besar: bagaimana menjaga lidah (dan jari) di tengah kebebasan berbicara yang nyaris tanpa jeda?
Kata yang Menyelamatkan, Kata yang Menjerumuskan
Dalam Islam, kata memiliki bobot moral yang besar. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan prinsip dasar komunikasi spiritual: tidak semua yang benar perlu diucapkan, dan tidak semua yang ingin diucapkan benar untuk diucapkan.
Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa setiap ucapan akan dimintai pertanggungjawaban. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau menulis:
وَاعْلَمْ أَنَّ كُلَّ كَلِمَةٍ تَتَكَلَّمُ بِهَا مَكْتُوبَةٌ عَلَيْكَ
“Ketahuilah bahwa setiap kata yang engkau ucapkan akan dicatat atas dirimu.”
Kata bukan sekadar getaran udara. Ia adalah catatan amal. Ia bisa menjadi jembatan menuju surga atau batu yang menggulingkan kita ke dalam dosa.
Ketika Lidah Lebih Tajam dari Pedang
Ada ungkapan Arab klasik yang dikutip banyak ulama:
جِرَاحَاتُ السِّنَانِ لَهَا الْتِئَامٌ، وَجِرَاحَاتُ اللِّسَانِ لَا تَلْتَئِمُ
“Luka akibat tombak bisa sembuh, tetapi luka akibat lidah sulit dipulihkan.”
Kata bisa membangun, tapi juga bisa menghancurkan. Di ruang digital, satu kalimat sarkastik bisa membuat seseorang kehilangan harga diri; satu cuitan bisa menjadi sebab perpecahan. Dan ironisnya, semua itu sering terjadi tanpa niat jahat — hanya karena lidah (atau jempol) dibiarkan liar tanpa kendali.
Bagi Imam al-Ghazali, lidah adalah “jembatan antara hati dan dunia luar.” Bila hati kotor, maka kata yang keluar akan menyakiti. Bila hati tenang, kata yang terucap akan menenangkan. Maka, menjaga lidah sejatinya adalah menjaga hati agar tetap bersih.
Diam yang Menyelamatkan
Di era ketika semua orang ingin bicara, diam bisa menjadi tindakan spiritual. Al-Ghazali mengajarkan bahwa diam bukan tanda kebodohan, tapi tanda kebijaksanaan.
Beliau menulis:
الصَّمْتُ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ الْحِكْمَةِ
“Diam adalah salah satu pintu menuju kebijaksanaan.”
Diam bukan berarti pasif atau acuh. Ia adalah bentuk pengendalian diri. Ketika seseorang mampu menahan lidahnya dari ucapan yang sia-sia, hatinya berkesempatan untuk mendengar suara yang lebih dalam — suara nurani dan kesadaran spiritual.
Dalam konteks generasi digital, “diam” bisa berarti tidak tergesa menanggapi berita, menunda komentar, atau tidak ikut dalam arus perdebatan yang hanya menambah panas tanpa manfaat.
Lidah, Dosa, dan Dunia Maya
Media sosial telah menjadikan setiap orang “penyiar.” Akibatnya, dosa lidah kini punya bentuk baru: dosa jari. Fitnah, ghibah, dan caci maki yang dulu disebarkan lewat ucapan kini berpindah bentuk menjadi teks dan emoji.
Al-Qur’an memperingatkan:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)
Ayat ini menegaskan bahwa dunia maya pun tidak lepas dari pengawasan malaikat. Kata yang kita ketik memiliki bobot spiritual yang sama dengan kata yang kita ucapkan.
Dalam Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali bahkan memberi peringatan tegas:
إِيَّاكَ وَالْكَذِبَ وَالْغِيبَةَ وَالنَّمِيمَةَ فَإِنَّهَا تُفْسِدُ الْقَلْبَ وَتُذْهِبُ نُورَ الْإِيمَانِ
“Jauhilah dusta, ghibah, dan adu domba, karena semua itu merusak hati dan menghapus cahaya iman.”
Jadi, sebelum mengetik komentar, sebelum membagikan tangkapan layar, alangkah bijaknya bila kita bertanya: “Apakah ini menambah cahaya atau justru memadamkannya?”
Menjaga Lidah, Menjaga Martabat
Dalam pandangan al-Ghazali, menjaga lidah bukan hanya soal menghindari dosa, tapi juga soal menjaga kehormatan diri. Kata yang keluar dari mulut mencerminkan kualitas batin seseorang.
Beliau menulis:
مَنْ كَثُرَ كَلَامُهُ كَثُرَ خَطَؤُهُ، وَمَنْ كَثُرَ خَطَؤُهُ مَاتَ قَلْبُهُ
“Barang siapa banyak bicara, maka banyaklah kesalahannya; dan barang siapa banyak kesalahannya, maka matilah hatinya.”
Di dunia yang menilai eksistensi lewat seberapa sering kita berbicara atau muncul di layar, menahan diri justru menjadi bentuk kekuatan. Kadang, tidak semua kebenaran harus disampaikan dengan suara keras; sebagian kebenaran justru lebih kuat ketika dijaga dalam diam yang tulus.
Etika Lidah bagi Generasi Z
Bagi generasi yang hidup di tengah ledakan informasi, menjaga lidah bukan perkara mudah. Kita tumbuh dengan budaya cepat tanggap dan bebas berekspresi. Namun kebebasan tanpa kesadaran bisa berubah menjadi bumerang.
Menjaga lidah berarti menghadirkan niat sebelum bicara. Apakah ucapan ini membawa manfaat? Apakah ia mendekatkan diri kepada kebaikan? Imam al-Ghazali mengajarkan konsep tazkiyah an-nafs — penyucian diri — dan lidah menjadi bagian pertama yang harus dibersihkan.
Mungkin di masa sekarang, menjaga lidah juga berarti menjaga algoritma diri. Apa yang kita pilih untuk dibicarakan, diunggah, dan dikomentari, akan membentuk cara berpikir kita. Setiap kata adalah investasi spiritual; ia akan kembali, entah dalam bentuk kebaikan atau penyesalan.
Kata yang Bernilai Ibadah
Tidak semua kata berpotensi dosa. Justru, lidah bisa menjadi sumber pahala besar bila digunakan dengan benar. Dzikir, doa, nasihat, dan kata yang menguatkan sesama adalah bentuk ibadah lisan yang disukai Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ، حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ، سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ
“Dua kalimat yang ringan di lidah, berat di timbangan, dan dicintai oleh Allah Yang Maha Pengasih: Subhanallah wa bihamdih, Subhanallahil ‘Azim.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Lidah yang terlatih dalam dzikir akan sulit mengucapkan kata kotor. Sebab, seperti tubuh yang terbiasa dengan makanan sehat, hati pun terbiasa dengan ucapan baik. Maka, solusi dari kebiasaan buruk dalam berbicara bukan hanya menahan diri, tapi menggantinya dengan kata-kata yang membawa keberkahan.
Antara Bercanda dan Berdosa
Imam al-Ghazali memahami bahwa manusia butuh tertawa. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau tidak melarang humor, tetapi memberi batas yang jelas:
لَا تُكْثِرِ الْمِزَاحَ فَإِنَّهُ يُمِيتُ الْقَلْبَ وَيُورِثُ الْعَدَاوَةَ
“Jangan terlalu banyak bercanda, karena ia mematikan hati dan menimbulkan permusuhan.”
Humor yang sehat mempererat, tapi yang berlebihan atau menjatuhkan justru menumbuhkan kebencian. Bagi generasi Z yang akrab dengan meme culture, refleksi ini penting. Tawa yang lahir dari ejekan atau sarkasme bisa jadi ringan bagi pelaku, tapi berat bagi yang menjadi objek.
Menjaga lidah di dunia humor digital berarti tetap lucu tanpa melukai, tetap cerdas tanpa merendahkan.
Penutup
Di akhir kitab Bidayatul Hidayah, Imam al-Ghazali menulis doa yang lembut:
اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
“Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan memperindah ibadahku kepada-Mu.”
Doa ini menjadi penutup yang indah untuk refleksi tentang lidah. Karena sejatinya, menjaga lidah bukan hanya tentang menahan dosa, tetapi juga tentang memperindah ibadah.
Kata-kata adalah cermin hati. Bila hati bersih, lidah akan menyejukkan. Bila hati keruh, lidah bisa menjadi pedang yang mematikan.
Maka, di dunia yang gemar berteriak, mungkin yang paling berharga adalah suara yang tidak keluar — suara hati yang sedang berusaha menjaga dirinya dari tergelincir.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
