Khazanah
Beranda » Berita » Ali bin Abi Thalib : Khalifah yang Memimpin Pada Masa Penuh Cobaan

Ali bin Abi Thalib : Khalifah yang Memimpin Pada Masa Penuh Cobaan

Ali bin Abi Thalib : Khalifah yang Memimpin Pada Masa Penuh Cobaan
Ilustrasi prajurit muslim meladeni pasukan musuh dalam medan perang.

SURAU.CO-Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthallib, yang biasa dipanggil Abu al-Hasan, adalah menantu Rasulullah Saw., ayah dari cucu beliau, Al-Hasan dan Al-Husein, dan remaja pertama yang masuk Islam. Ali bin Abi Thalib lahir 23 tahun sebelum hijrah, dan dibesarkan dalam keluarga kenabian. Rasulullah Saw. sendiri mendidik dan mengajarinya dengan akhlak kenabian. Pada waktu Nabi Saw. menerima wahyu yang pertama, hari Senin, ia baru berusia 10 tahun. Esok harinya, Selasa, ia menyatakan masuk Islam. Mengenai hal ini, ia sendiri mengatakan, “Akulah orang yang pertama salat bersama Nabi Saw.”

Keberanian Ali bin Abi Thalib

Pada waktu kaum musyrikin akan melaksanakan makar dan membunuh Nabi Muhammad Saw., beliau menugaskan Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempatnya sambil memintanya tenang dan tidak perlu takut. Maka, ia pun tidur dengan mengorbankan dirinya demi perjuangan di jalan Allah. Ketika Nabi Saw. hijrah, Ali bin Abi Thalib senantiasa melaksanakan tugas yang beliau berikan, mengambilkan barang-barang dan titipan beliau yang masih ada pada kaum Quraisy. Setelah itu, baru ia menyusul hijrah. Ia dikenal sangat berani dalam berbagai situasi dan keadaan. Dalam banyak peperangan bersama Nabi Saw., dialah yang beliau tunjuk untuk membawa bendera.

Ali bin Abi Thalib mengikuti hampir seluruh perang, kecuali pada Perang Tabuk sehubungan dengan tugasnya menggantikan Nabi Saw. di Madinah. Ketika itu, Ali bin Abi Thalib mengatakan,

“Wahai Rasulullah, apakah aku juga ditugaskan menjaga kaum perempuan dan anak-anak?” Nabi Saw. mengatakan, “Maukah kamu menjadi Harunnya Musa? Tetapi sayang, karena tidak ada lagi nabi sesudah aku.”

Dalam Perang Badar, Ali bin Abi Thalib terkena sasaran musuh. Di Uhud, ia tetap bersama Nabi Muhammad Saw. Meskipun terkena pukulan 16 kali, ia tetap tidak lari. Di Khandaq, ia termasuk orang yang tampil ke depan menghadapi pasukan kuda kaum musyrik.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Ali pembawa bendera Nabi

Pada Perang Khaibar, setelah kemenangan agak terlambat, Rasulullah Saw. mengatakan, “Besok, bendera ini akan aku serahkan kepada orang yang di tangannyalah Allah akan memberinya kemenangan, orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan sebaliknya.” Mendengar ucapan beliau, para sahabat saling membicarakan siapa gerangan orang yang mendapat kehormatan membawa bendera Nabi Saw. itu.

Pagi-pagi sekali, mereka mendatangi Nabi Muhammad Saw., masing-masing mengharap dirinya mendapat kehormatan itu. Tetapi, beliau malah menanyakan Ali bin Abi Thalib. Mereka memberitahukan bahwa Ali bin Abi Thalib sakit mata. Nabi Saw. meminta mereka menjemputnya. Ketika Ali bin Abi Thalib datang, beliau mengusapkan tangannya ke mata Ali bin Abi Thalib sambil mendoakan kesembuhannya, dan Ali bin Abi Thalib benar-benar sembuh, bahkan seperti tak pernah sakit. Kemudian, beliau menyerahkan bendera kepadanya, dan kaum muslimin pun menang.

Kejeniusan Ali bin Abi Thalib

Nabi Muhammad Saw. menunjukkan kelebihan Ali bin Abi Thalib yang lain melalui ucapan beliau, “Alilah orang yang aku jadikan teman dekatku.” Kepada Ali bin Abi Thalib, Nabi Saw. mengatakan, “Kamu adalah saudaraku di dunia dan akhirat.”

Ali bin Abi Thalib termasuk salah satu penghafal al-Qur’an dan banyak meriwayatkan hadis Nabi Saw. Telah kita kemukakan terdahulu bahwa Ali bin Abi Thalib adalah orang yang menetapkan hukuman 80 kali cambuk terhadap peminum khamar (minuman keras). Ia menganalogikannya kepada penuduh zina. Sejumlah keputusan hukum dan fatwa-fatwanya memperlihatkan kejeniusannya, sampai-sampai kepadanya Umar bin Khatthab melekatkan pepatah yang termasyhur itu, “Qadhiyyah wa la-Aba Hasan laha” (Kalau soal memutuskan perkara, maka Alilah jagonya).

Ali bin Abi Thalib juga seorang sastrawan terkemuka. Mengenai keahliannya dalam bidang ini, sudah tidak perlu diragukan lagi. Kita dapat melihat ini dalam pidatonya ketika ia diangkat sebagai khalifah, atau ketika ia memacu pasukannya untuk berperang, atau saat ia berdebat dan mematahkan argumen lawan-lawannya.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah pada tahun 35 H, setelah kematian Utsman bin Affan. Beberapa sahabat besar memintanya agar segera menangkap dan menghukum pembunuh. Tetapi, ia lambat melakukannya, karena ia ingin menghindari terjadinya konflik dan kerusuhan yang lebih hebat. Melihat ini, Aisyah marah, lalu menghimpun sejumlah besar kaum muslimin, antara lain Thalhah dan Zubair. Selanjutnya, antara mereka dan Ali bin Abi Thalib terlibat Perang Jamal (Unta), tahun 36 H. Dalam pertempuran ini, Ali bin Abi Thalib menang.

Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah Gubernur Syam yang Utsman bin Affan angkat. Ketika kaum muslimin telah memberikan baiat kepada Ali bin Abi Thalib, ia mengutus Abu Saburah al-Juhani ke Damaskus dalam rangka meminta Mu’awiyah bin Abi Sufyan membaiatnya. Namun, Mu’awiyah menolaknya ketika ia telah sampai ke sana. Ali bin Abi Thalib kemudian menugaskan Jarir bin Abdullah al-Bajli untuk tugas yang sama, dan tetap Mu’awiyah tolak. Bahkan, Mu’awiyah bin Abi Sufyan menuduh Ali bin Abi Thalib terlibat dalam pembunuhan Utsman bin Affan.

Pecahnya Perang Shiffin

Pertempuran antara mereka akhirnya tak dapat dielakkan. Pertempuran yang berlangsung 120 hari itu terjadi tahun 37 di Shiffin. Dari kedua pihak, 70.000 orang terbunuh. Perang berakhir dengan tahkim (arbitrase). Pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan diwakili oleh Amru bin Ash. Sementara itu, pihak Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari. Ali bin Abi Thalib sendiri sebetulnya khawatir, karena ia menilai Abu Musa al-Asy’ari kurang peduli padanya ketika pembaiatannya. Akan tetapi, rakyat Irak tetap memilihnya.

Kedua pihak sama-sama menandatangani perjanjian arbitrase. Mereka sepakat memecat Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan menyerahkan persoalan ini kepada kaum muslimin untuk menentukan sendiri pemimpin mereka. Abu Musa al-Asy’ari segera memaklumkan isi kesepakatan tersebut di hadapan massa. Sementara itu, Amru bin Ash justru memaklumkan pemecatan Ali bin Abi Thalib dan mengukuhkan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Peristiwa ini akhirnya menimbulkan perpecahan kaum muslimin dalam tiga kelompok: mereka yang mendukung Mu’awiyah, mereka yang mendukung Ali bin Abi Thalib, dan mereka yang netral, bahkan ada yang menyesalkan Ali bin Abi Thalib karena menerima perjanjian tersebut.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Mu’awiyah bin Abi Sufyan beserta pasukannya kembali ke Damaskus, sementara Ali bin Abi Thalib sibuk menyelesaikan para pemberontak. Pertempuran pun terjadi di Nahrawan tahun 38 H. Ali bin Abi Thalib akhirnya dapat menumpas kaum Khawarij dan membunuh 1.800 orang dari mereka.

Rencana Pembunuhan Ali bin Abi Thalib

Pemerintahan Ali bin Abi Thalib kacau. Tiga orang Khawarij berkumpul: Abdurrahman bin Muljam, Bark bin Abdullah, dan Amr bin Bakar at-Tamimi. Mereka membicarakan nasib kaum muslimin yang terpecah-pecah dan kacau itu. Pertemuan berakhir dengan kesepakatan bahwa penyelesaian atas persoalan itu tidak ada lain, kecuali dengan menghabisi Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Amru bin Ash.

Ibnu Muljam berjanji akan membunuh Ali bin Abi Thalib, Bark bin Abdullah membunuh Mu’awiyah bin Abu Sufyan, dan Amr bin Bakar membunuh Amru bin Ash. Mereka berjanji tidak akan berkhianat untuk melakukan tugasnya: membunuh atau terbunuh. Mereka menetapkan tanggal 17 Ramadhan sebagai pelaksanaan kesepakatan tersebut.

Ibnu Muljam, yang bertugas membunuh Ali bin Abi Thalib, malam itu telah siap. Begitu Ali bin Abi Thalib keluar untuk salat Subuh, ia menebaskan pedangnya ke tubuh Ali bin Abi Thalib. Tidak lama setelah itu, Ali bin Abi Thalib menghembuskan napasnya yang terakhir.

Mengincar kematian Muawiyah dan Amru bin Ash

Bark bin Abdullah, malam itu juga mengintip Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan keluar untuk salat Subuh, Bark bin Abdullah juga menebaskan pedangnya, tetapi hanya mengenai pantat Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Sementara itu, Amr bin Bakar juga melakukan pengintaian terhadap Amru bin Ash. Akan tetapi, Amru bin Ash tidak keluar ke masjid dan menugaskan penggantinya, Kharijah bin Khadzaqah, untuk mengimami salat Subuh. Amr bin Bakar pun langsung membunuhnya.

Ali bin Abi Thalib meninggal dunia akibat tebasan pedang Ibnu Muljam. Kedua putranya, Hasan dan Husein, memandikan jenazahnya, kemudian mereka memakamkannya di Kufah di depan masjid. Ia meninggal dalam usia 63 tahun setelah memerintah selama 5 tahun 3 bulan.(St.Diyar)

Referensi : Abdullah Musthafa Al-Maraghi, Ensiklopedia Lengkap Ulama Ushul Fiqh Sepanjang Masa, 2020.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement