Fiqih
Beranda » Berita » Ningrat atau Darah Biru Menurut Pandangan Islam

Ningrat atau Darah Biru Menurut Pandangan Islam

Keraton Ngayokyakarta
Keraton Ngayokyakarta

SURAU.CO-Ningrat atau darah biru menurut pandangan Islam menjadi topik yang menarik karena sering disalahpahami dalam kehidupan masyarakat. Ningrat atau darah biru menurut pandangan Islam tidak menentukan kemuliaan seseorang di hadapan Allah. Islam menegaskan bahwa manusia tidak memperoleh kehormatan karena darah, gelar, atau garis keturunan. Derajat manusia bergantung pada ketakwaan, ilmu, dan amal yang tulus dijalankan.

Sejak awal dakwahnya, Nabi Muhammad SAW menolak kesombongan yang bersumber dari keturunan. Beliau menegaskan bahwa semua manusia sama di hadapan Allah, sebagaimana firman-Nya dalam QS Al-Hujurat ayat 13, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” Dengan ayat ini, Islam menumbangkan konsep kebangsawanan yang menjadikan garis darah sebagai ukuran nilai manusia.

Banyak sahabat Nabi yang berasal dari kalangan biasa mampu mencapai derajat mulia karena keimanan dan perjuangan mereka. Bilal bin Rabah misalnya, seorang mantan budak yang menjadi muazin pertama di dunia Islam. Umar bin Khattab memimpin dengan tegas dan adil, meski tidak berasal dari keluarga bangsawan besar. Islam memuliakan mereka karena amal dan keikhlasan, bukan silsilah.

Islam juga menuntun umatnya untuk menilai manusia secara objektif. Gelar, harta, atau status sosial hanyalah titipan yang membawa tanggung jawab, bukan kebanggaan. Islam membangun tatanan sosial yang adil dan terbuka, di mana setiap orang memiliki peluang yang sama untuk berbuat baik. Nilai ini menjadikan Islam sebagai agama yang membebaskan manusia dari sistem kelas yang menindas.

Keturunan dan Nilai dalam Islam

Dalam kehidupan masyarakat modern, banyak orang masih memandang keturunan sebagai simbol kehormatan. Padahal, Islam menilai kemuliaan dari aspek moral dan spiritual. Keturunan mulia hanya bermakna jika digunakan untuk berbuat kebaikan. Nabi Muhammad SAW mengingatkan, “Barang siapa yang diperlambat amalnya, maka nasabnya tidak akan mempercepatnya.” Hadis ini menegaskan bahwa amal menentukan nilai seseorang, bukan darah keturunan.

Tidak Shalat Jum’at Karena Hujan; Apa Hukumnya?

Beberapa tokoh bangsawan dalam sejarah Islam menggunakan kedudukan mereka untuk menegakkan keadilan. Namun, ada pula yang kehilangan kehormatan karena menyalahgunakan kekuasaan. Perbedaan ini membuktikan bahwa keturunan tidak menjamin kemuliaan. Islam menilai manusia dari tindakan dan niatnya, bukan asal usul keluarganya.

Banyak ulama besar lahir dari keluarga sederhana. Imam Al-Ghazali, misalnya, tumbuh dari keluarga miskin, tetapi ketekunan dan ilmunya menjadikannya cahaya bagi dunia Islam. Kisah-kisah seperti ini membuktikan bahwa kemuliaan dapat diraih siapa pun tanpa memandang status lahir. Islam membuka ruang luas bagi manusia untuk memperjuangkan kehormatan melalui ilmu dan amal saleh.

Tanggung Jawab Sosial Kaum Terpandang

Islam tidak menolak keberadaan status sosial, tetapi mengaitkannya dengan tanggung jawab moral. Siapa pun yang memiliki kedudukan wajib menggunakan pengaruhnya untuk menegakkan kebenaran. Kaum terpandang seharusnya menjadi pelindung masyarakat, bukan penguasa yang menjaga jarak. Nabi Muhammad SAW memberi teladan dengan hidup sederhana, meski beliau adalah pemimpin umat.

Lembaga pendidikan Islam sejak dahulu menanamkan prinsip kesetaraan. Madrasah, pesantren, dan lembaga ilmu membuka pintu bagi siapa pun yang ingin belajar tanpa memandang keturunan. Prinsip ini membentuk masyarakat egaliter yang menilai manusia dari akhlak dan pengetahuan. Semangat inilah yang mendorong lahirnya banyak ulama besar dari kalangan biasa.

Dalam konteks modern, nilai-nilai itu tetap relevan. Masyarakat yang masih membanggakan garis keturunan sebaiknya merenungi ajaran Islam yang menekankan tanggung jawab, bukan kebanggaan. Gelar kebangsawanan tidak akan berarti jika tidak diikuti dengan tindakan nyata. Islam menuntut setiap orang untuk berperan aktif membangun kebaikan sosial.

Bencana Alam Dari Perspektif Islam: Ujian atau Peringatan Allah?

pandangan Islam menempatkan istilah ningrat atau darah biru sebagai identitas sosial yang tidak menentukan nilai spiritual. Kemuliaan sejati muncul dari iman, akhlak, dan amal yang tulus. Dengan menumbuhkan kesadaran itu, umat Islam dapat menegakkan masyarakat yang setara, berkeadilan, dan bermartabat. (Hendri Hasyim)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement