Khazanah
Beranda » Berita » Menjaga Pandangan di Era Scroll Tanpa Henti: Bentuk Syukur atas Karunia Penglihatan Menurut Kitab Bidayatul Hidayah

Menjaga Pandangan di Era Scroll Tanpa Henti: Bentuk Syukur atas Karunia Penglihatan Menurut Kitab Bidayatul Hidayah

Ilustrasi reflektif generasi muda menundukkan pandangan di era digital menurut ajaran Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah.
Ilustrasi realistik dan filosofis seorang pemuda menutup mata dengan tangan di depan layar ponsel yang menyala lembut, dengan cahaya menyerupai hati yang bersinar dari dalam dadanya. Simbol dari menjaga pandangan dan menemukan ketenangan batin.

Bayangkan malam yang sunyi. Lampu kamar meredup, sementara layar ponsel bersinar terang. Jempol terus menggulir layar tanpa arah, dan mata yang lelah tetap menolak berhenti. Di era “scroll tanpa henti” ini, manusia perlu menyadari bahwa menjaga pandangan bukan sekadar urusan moral, melainkan juga bagian dari kesadaran spiritual dan kesehatan jiwa.

Imam al-Ghazali, dalam Bidayatul Hidayah, jauh sebelum manusia mengenal ponsel atau algoritma media sosial, menulis pesan tegas:

احْفَظْ بَصَرَكَ مِنَ النَّظَرِ إِلَى مَا لَا يَحِلُّ لَكَ النَّظَرُ إِلَيْهِ، فَإِنَّهُ سَهْمٌ مَسْمُومٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيسَ
“Jagalah pandanganmu dari sesuatu yang tidak halal engkau pandang, karena ia adalah panah beracun dari panah-panah Iblis.”

Pesan itu terasa semakin relevan bagi generasi yang lebih sering menatap layar dibanding menatap langit. Al-Ghazali tidak hanya menasihati agar manusia menjaga pandangan terhadap lawan jenis, tetapi juga mengingatkan agar kita menghindari pandangan yang menjerumuskan hati — termasuk pandangan yang menumbuhkan iri, cemas, dan lupa bersyukur.

Dari Zaman Cermin ke Zaman Layar

Manusia modern kini hidup dalam lautan gambar. Setiap detik, mata menerima serbuan warna, bentuk, dan wajah yang berusaha tampil sempurna. Media sosial membentuk semacam “cermin publik” tempat orang berlomba menampilkan versi terbaik dirinya. Namun, di balik cermin digital itu, banyak orang kehilangan kedamaian batin.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Al-Qur’an telah memperingatkan hal ini melalui Surah An-Nur ayat 30:

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang-orang mukmin laki-laki agar mereka menundukkan sebagian pandangan mereka dan menjaga kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”

Ayat ini menegaskan bahwa manusia harus menundukkan pandangan demi menjaga kesucian jiwa. Dengan kata lain, menjaga pandangan berarti menjaga hati dari hal-hal yang tidak layak masuk. Sebab, mata selalu menjadi gerbang utama menuju kesadaran.

Selain itu, bagi generasi Z yang hidup di tengah banjir visual, menjaga pandangan berarti belajar menyaring apa yang dilihat agar keheningan batin tetap terjaga. Kadang bukan karena yang dilihat itu salah, tetapi karena terlalu banyak melihat membuat manusia lupa merenung.

Pandangan yang Membentuk Hati

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa pandangan memiliki dampak langsung pada hati. Ia menulis:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

النَّظَرُ يَتْبَعُهُ الْخَطَرَاتُ، وَالْخَطَرَاتُ تُورِثُ الشَّهَوَاتِ، وَالشَّهَوَاتُ تَجْرُّ إِلَى الْخَطَايَا
“Pandangan diikuti oleh lintasan pikiran, lintasan pikiran melahirkan syahwat, dan syahwat menyeret kepada dosa.”

Rantai sebab-akibat itu tetap berlaku di dunia digital. Setiap pandangan terhadap konten negatif dapat menumbuhkan keinginan tak perlu, menimbulkan perbandingan sosial, bahkan menumbuhkan iri yang mengikis rasa syukur.

Oleh karena itu, setiap kali kita menggulir layar, kita sesungguhnya membuka pintu bagi dunia luar untuk memasuki hati. Maka, menjaga pandangan bukan berarti menutup mata sepenuhnya, melainkan memilih secara sadar apa yang pantas kita lihat.

Syukur atas Penglihatan: Karunia yang Terlupakan

Sering kali manusia melupakan betapa besar nikmat bisa melihat. Mata yang sehat dan penglihatan yang jelas adalah karunia yang sering baru disadari ketika hilang.

Allah ﷻ berfirman dalam Surah An-Nahl ayat 78:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Dia menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kalian bersyukur.”

Al-Ghazali menilai bahwa rasa syukur sejati atas penglihatan bukan diukur dari kata, tetapi dari perbuatan. Dalam Bidayatul Hidayah, ia menulis:

شُكْرُ الْبَصَرِ أَنْ تَغُضَّهُ عَمَّا لَا يَحِلُّ وَتَنْظُرَ بِهِ إِلَى مَا فِيهِ عِبْرَةٌ
“Syukur mata adalah dengan menundukkannya dari yang haram, dan menggunakannya untuk melihat hal-hal yang dapat menjadi pelajaran.”

Dengan demikian, manusia bersyukur bukan hanya dengan ucapan, tetapi dengan cara menggunakan penglihatan untuk menemukan makna, bukan sekadar hiburan. Setiap kali kita menatap layar, kita harus bertanya: apakah pandangan ini menambah cahaya, atau justru menambah gelap di hati?

Dosa Pandangan dan Lelah Digital

Pandangan yang salah dapat mengotori hati tanpa terasa. Di sisi lain, mata juga bisa lelah bukan karena dosa, melainkan karena paparan visual berlebihan. Seandainya Imam al-Ghazali hidup di masa kini, mungkin ia akan berkata, “Jaga matamu, karena matamu bukan mesin.”

Generasi Z hidup di dunia yang tak pernah gelap. Notifikasi terus menyala, konten berseliweran, dan iklan memanggil tanpa henti. Akibatnya, mata jarang beristirahat, dan hati pun ikut kehilangan ketenangan.

Karena itu, menjaga pandangan berarti juga menjaga keseimbangan batin dari banjir informasi. Menutup layar sesekali menjadi bentuk dzikir diam — syukur tanpa kata yang menenangkan jiwa.

Menundukkan Pandangan, Meninggikan Martabat

Menundukkan pandangan tidak berarti menolak dunia, tetapi menghormati diri sendiri. Imam al-Ghazali menegaskan dalam Bidayatul Hidayah:

مَنْ غَضَّ بَصَرَهُ عَنِ الْمَحَارِمِ أَنْبَتَ اللهُ فِي قَلْبِهِ حَلَاوَةً يَجِدُهَا إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ
“Barang siapa menundukkan pandangannya dari yang haram, Allah akan menumbuhkan dalam hatinya manisnya iman hingga ia berjumpa dengan-Nya.”

Ketenangan batin yang lahir dari menjaga pandangan merupakan buah keimanan yang manis. Rasa itu tak bisa dibeli, difilter, atau diunggah di media sosial. Maka, di tengah dunia yang sibuk memamerkan segalanya, menundukkan pandangan menjadi bentuk perlawanan lembut — bukti bahwa manusia masih memiliki ruang privat di hadapan Tuhan.

Teknologi Bukan Musuh, Tapi Cermin

Imam al-Ghazali memang tidak hidup di era digital, tetapi ajarannya tetap relevan. Prinsip menjaga pandangan kini bisa diterjemahkan menjadi etika digital: memilah konten, mengatur waktu layar, dan menyadari niat di balik setiap klik.

Teknologi sendiri tidak bersalah; manusialah yang menentukan arah penggunaannya. Jika hati bersih, teknologi menjadi ladang pahala; jika hati kotor, teknologi berubah menjadi pintu dosa. Oleh karena itu, menjaga pandangan di era digital berarti menggunakan teknologi dengan kesadaran spiritual.

Bagi generasi Z, sikap ini berarti berani berkata: “Aku berhak untuk tidak melihat.” Dalam dunia yang menuntut agar selalu “update,” kemampuan menahan diri justru menjadi bentuk kemerdekaan baru.

Menjaga Mata, Menjaga Jiwa

Dalam salah satu bagiannya, Bidayatul Hidayah menyebutkan:

مَنْ أَطْلَقَ طَرْفَهُ أَعْمَى اللهُ قَلْبَهُ
“Barang siapa melepaskan pandangannya tanpa kendali, Allah akan membutakan hatinya.”

Kata “membutakan” di sini bermakna kehilangan arah batin. Mata yang terlalu sering melihat tanpa makna akan kehilangan kemampuan untuk melihat dengan hati. Karena itu, dzikir dan introspeksi menjadi jalan untuk mengembalikan penglihatan batin.

Lebih jauh, di tengah dunia yang menilai segalanya dari tampilan, al-Ghazali mengajak kita untuk melihat yang tak tampak — keikhlasan, kesederhanaan, dan makna di balik setiap peristiwa.

Penutup

Malam yang damai selalu menjadi waktu terbaik untuk menutup mata dan membuka hati. Imam al-Ghazali tidak mengajak kita menjauh dari dunia, tetapi mengajarkan cara agar dunia tidak menutup pandangan hati.

Menjaga pandangan di era “scroll tanpa henti” adalah bentuk syukur paling sunyi — syukur karena mata masih bisa menatap, namun juga sadar untuk memilih apa yang pantas dilihat.

Ketika mata berhenti menatap hal yang sia-sia, hati mulai melihat yang sejati. Pada titik itu, seperti kata al-Ghazali, “pandangan batin menjadi lebih terang daripada cahaya dunia.”

*Gerwin Satria N


Pegiat Literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement