Malam sering kali menjadi waktu paling jujur bagi manusia. Ketika notifikasi ponsel berhenti berdentang dan suara kota mulai pelan, kita akhirnya mendengar suara yang paling sulit diabaikan: suara hati sendiri. Di titik inilah Imam al-Ghazali, melalui Bidayatul Hidayah, memberi panduan lembut tentang bagaimana seorang Muslim menutup harinya — bukan sekadar dengan tidur, tapi dengan dzikir yang menenangkan jiwa.
Bagi al-Ghazali, malam bukan sekadar akhir dari aktivitas duniawi, melainkan awal dari perenungan spiritual. Ia menulis:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ فَاعْلَمْ أَنَّهُ دَعْوَةٌ لِلْخَلْوَةِ مَعَ اللهِ
“Apabila malam telah datang, ketahuilah bahwa itu adalah panggilan untuk menyendiri bersama Allah.”
Pandangan itu seakan mengingatkan kita — generasi yang terbiasa menatap layar hingga dini hari — bahwa ada bentuk “me time” yang lebih dalam: menyendiri bersama Tuhan, bukan hanya bersama pikiran sendiri.
Dzikir sebagai Penutup, Bukan Pelengkap
Bagi sebagian orang, dzikir sebelum tidur hanya formalitas. Sekadar rutinitas kecil sebelum ponsel tergeletak di meja dan mata terpejam. Tapi bagi Imam al-Ghazali, dzikir malam adalah penanda kematangan spiritual — seperti seseorang yang menulis catatan akhir hari untuk jiwanya sendiri.
Dalam Bidayatul Hidayah, beliau menasihati:
اذْكُرِ اللهَ عِنْدَ مَنَامِكَ حَتَّى يَكُونَ آخِرُ كَلَامِكَ ذِكْرَ اللهِ
“Berzikirlah kepada Allah ketika engkau hendak tidur, hingga ucapan terakhirmu sebelum terlelap adalah menyebut nama Allah.”
Dzikir, bagi al-Ghazali, bukan sekadar bacaan, tapi jembatan antara kesadaran dan ketenangan. Dengan dzikir, hati melepaskan beban harian tanpa perlu membuang energi pada penyesalan yang panjang.
Al-Qur’an juga mengingatkan:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d: 28)
Ayat ini mengandung energi spiritual yang relevan dengan kehidupan modern: dalam dunia yang serba cepat, dzikir justru menjadi ruang pelan yang menyembuhkan.
Menata Malam dengan Kesadaran Penuh
Imam al-Ghazali menekankan pentingnya kesadaran menjelang tidur. Ia bukan hanya soal istirahat fisik, tapi juga reset spiritual. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau menulis:
فَتَفَكَّرْ فِي ذُنُوبِكَ فَاسْتَغْفِرِ اللهَ، وَاعْزِمْ أَنْ لَا تَعُودَ
“Renungkanlah dosa-dosamu, mohonlah ampun kepada Allah, dan berniatlah untuk tidak mengulanginya.”
Al-Ghazali mengajarkan agar sebelum tidur, seseorang melakukan introspeksi — bukan dalam bentuk menyalahkan diri, tetapi menata ulang niat dan langkah esok hari.
Bagi generasi muda yang hidup di tengah tekanan produktivitas, langkah ini terasa seperti jeda spiritual. Malam bukan waktu untuk menambah daftar tugas, tetapi untuk menutup tabungan emosi hari itu dengan tenang.
Tidur sebagai Miniatur Kematian
Dalam pandangan al-Ghazali, tidur adalah “latihan menuju kematian.” Bukan dalam arti menyeramkan, melainkan mengingatkan bahwa setiap malam adalah kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum fajar baru datang.
Rasulullah ﷺ bersabda:
النَّوْمُ أَخُو الْمَوْتِ
“Tidur adalah saudara kematian.”
(HR. Abu Nu‘aim)
Maka, dzikir sebelum tidur bukan hanya permintaan perlindungan, tetapi juga bentuk penyerahan total kepada Sang Pencipta. Ia adalah latihan melepas kontrol — sesuatu yang sulit dilakukan oleh generasi yang terbiasa ingin mengatur segalanya.
Dengan berdzikir sebelum tidur, seseorang diajak untuk berkata pada dirinya sendiri, “Aku sudah berusaha hari ini, kini aku serahkan sisanya kepada Allah.”
Mengosongkan Pikiran, Mengisi Hati
Malam adalah waktu ketika pikiran berisik mulai menurun, tapi justru hati sering bising. Kita memikirkan percakapan yang belum selesai, tugas yang belum rampung, atau kesalahan yang belum dimaafkan.
Di sinilah dzikir berfungsi sebagai “pembersih” hati. Imam al-Ghazali menjelaskan:
إِذَا نِمْتَ عَلَى غَيْرِ ذِكْرِ اللهِ نَامَ قَلْبُكَ مَعَ النَّاسِ
“Jika engkau tidur tanpa menyebut nama Allah, maka hatimu akan tidur bersama urusan manusia.”
Kalimat itu menggambarkan bagaimana pikiran kita sering tetap “online” walau mata sudah tertutup. Dzikir menidurkan hati bersama Tuhan, bukan bersama kekhawatiran.
Dalam konteks kekinian, ini bisa dimaknai sebagai bentuk mindfulness spiritual — versi klasik dari “digital detox”, tapi jauh lebih mendalam.
Doa Sebelum Tidur: Surat Cinta yang Tidak Pernah Kadaluarsa
Imam al-Ghazali memandang doa sebelum tidur sebagai cara manusia menulis surat cinta kepada Allah. Ia menulis panjang dalam Bidayatul Hidayah tentang doa yang dibaca Nabi ﷺ menjelang tidur:
اللَّهُمَّ بِاسْمِكَ أَحْيَا وَبِاسْمِكَ أَمُوتُ
“Ya Allah, dengan nama-Mu aku hidup dan dengan nama-Mu aku mati.”
Kalimat yang sederhana tapi penuh makna ini menunjukkan kepasrahan total. Bahwa hidup dan mati bukan dua hal yang terpisah, tetapi satu rangkaian yang dikendalikan oleh Allah.
Menutup hari dengan doa seperti ini melatih kita untuk menyadari keterbatasan diri — bahwa tidak semua hal bisa kita tuntaskan, tapi semua bisa kita pasrahkan.
Menjadi Generasi yang Tidak Takut Sunyi
Generasi Z sering hidup dalam kecepatan. Setiap detik diisi musik, video, atau notifikasi. Tapi Imam al-Ghazali mengajarkan seni untuk berdamai dengan sunyi. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau menulis:
الْخَلْوَةُ مِفْتَاحُ الْعِبَادَةِ وَمِرْآةُ الْقَلْبِ
“Kesendirian adalah kunci ibadah dan cermin bagi hati.”
Kesunyian malam bukan hal yang menakutkan jika diisi dengan dzikir. Justru di sanalah hati belajar berbicara jujur. Dalam hening, seseorang dapat menilai apakah hari ini telah ia isi dengan kebaikan atau hanya rutinitas tanpa makna.
Untuk generasi muda, dzikir malam bisa menjadi bentuk spiritual grounding. Ia menenangkan, merendahkan ego, dan menumbuhkan kesadaran bahwa tidak semua hal perlu dikejar. Sebagian hanya perlu disyukuri.
Menata Malam, Menata Esok
Imam al-Ghazali menekankan kesinambungan antara malam dan siang. Ia menulis:
مَنْ أَصْلَحَ لَيْلَهُ أَصْلَحَ اللهُ نَهَارَهُ
“Barang siapa memperbaiki malamnya, Allah akan memperbaiki siangnya.”
Malam adalah ladang tempat benih esok hari ditanam. Dzikir yang tulus sebelum tidur dapat memengaruhi cara seseorang menjalani paginya: lebih tenang, lebih jernih, lebih ringan.
Jika seseorang tidur dengan hati yang damai, ia akan bangun dengan jiwa yang siap. Tapi jika ia tidur dengan beban dan amarah, maka pagi hanya akan menjadi kelanjutan dari kekacauan batinnya.
Malam Imam al-Ghazali: Antara Dzikir, Doa, dan Keheningan
Dalam biografi beliau, disebutkan bahwa Imam al-Ghazali selalu menutup harinya dengan wudhu, dua rakaat shalat ringan, lalu dzikir hingga tertidur. Ia tidak hanya mengucapkan, tapi juga menghadirkan makna dzikir dalam hatinya.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ أَحْسَنَ إِلَيَّ
“Ya Allah, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan siapa pun yang telah berbuat baik kepadaku.”
Doa itu sederhana, tapi luas. Ia menumbuhkan rasa syukur, kasih, dan empati — tiga hal yang sering hilang di zaman sibuk ini.
Meniru malam al-Ghazali bukan berarti harus lama dan berat. Cukup dengan mengakhiri hari tanpa amarah, tanpa dendam, dan dengan hati yang ingat kepada Allah.
Penutup
Malam bukan sekadar waktu untuk tidur, tapi waktu untuk pulang — pulang kepada diri, dan kepada Tuhan. Imam al-Ghazali mengajarkan bahwa dzikir malam adalah cara paling lembut untuk menjaga hubungan dengan Allah tanpa terasa berat.
Ketika semua lampu padam, dan hanya detak jantung yang terdengar, dzikir menjadi cahaya yang tidak pernah redup. Ia mengajarkan kita untuk melepaskan, memaafkan, dan berharap — tiga hal yang menjadikan hidup lebih ringan.
Maka, saat dunia terasa penuh kebisingan, mari menutup hari seperti al-Ghazali: dengan dzikir yang menenangkan, dengan hati yang jernih, dan dengan keyakinan bahwa setiap malam yang tenang akan melahirkan pagi yang terang.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
