Setiap kali bulan Ramadan datang, suara lantunan Al-Qur’an menggema di masjid, di radio, bahkan di live streaming TikTok. Namun, di balik semaraknya tilawah, kita jarang bertanya pada diri sendiri: Apakah kita benar-benar membaca dengan hati, atau hanya melafazkan huruf tanpa makna?
Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah memulai pembahasan tentang membaca Al-Qur’an dengan peringatan lembut namun menohok:
اعْلَمْ أَنَّ الْقُرْآنَ كَلَامُ اللهِ، وَمَنْ تَلَاهُ وَلَمْ يَتَدَبَّرْهُ، فَقَدْ جَفَا اللهَ
“Ketahuilah bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah. Barang siapa membacanya tanpa merenungi maknanya, sungguh ia telah berlaku kasar kepada Allah.”
Kata jafā — kasar, abai, tak beradab — menjadi tamparan batin. Al-Ghazali mengingatkan bahwa membaca Al-Qur’an bukan sekadar aktivitas ritual, melainkan pertemuan antara hati manusia dan firman Ilahi.
Dalam dunia serba cepat dan berisik ini, mengaji sering berubah jadi target produktivitas: “Sudah khatam berapa kali?” Padahal yang ditanya seharusnya: “Ayat mana yang mengubahmu hari ini?”
Membaca dengan Adab: Bukan Sekadar Bacaan, tapi Perjumpaan
Menurut Imam al-Ghazali, adab membaca Al-Qur’an dimulai jauh sebelum lidah melafazkan huruf. Ia dimulai dari niat yang bersih dan hati yang hadir. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau menulis:
إِذَا أَرَدْتَ تِلَاوَةَ الْقُرْآنِ فَطَهِّرْ قَلْبَكَ مِنَ الْأَدْنَاسِ كَمَا تُطَهِّرُ بَدَنَكَ مِنَ الْأَخْبَاثِ
“Ketika engkau hendak membaca Al-Qur’an, sucikanlah hatimu dari segala kotoran sebagaimana engkau menyucikan tubuhmu dari najis.”
Generasi muda hari ini sangat akrab dengan konsep mindfulness. Menariknya, Al-Ghazali telah mengajarkan spiritual mindfulness sejak berabad-abad lalu. Saat membaca Al-Qur’an, beliau menekankan pentingnya kehadiran batin: sadar bahwa kita sedang berhadapan langsung dengan kalam Allah.
Maka, membaca Al-Qur’an bukan hanya menggerakkan lidah, tetapi juga menggerakkan hati menuju keheningan yang bermakna.
Allah berfirman:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ
“Orang-orang yang telah Kami berikan Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya; mereka itulah yang beriman kepadanya.”
(QS. Al-Baqarah: 121)
Haqqa tilāwatihī — membaca dengan sebenar-benarnya bacaan — bukan hanya menyempurnakan tajwid, tetapi menghadirkan kesadaran penuh bahwa setiap ayat adalah pesan cinta dan peringatan dari Tuhan.
Adab Lahiriah dan Batiniah dalam Mengaji
Imam al-Ghazali membagi adab tilawah menjadi dua: adab lahiriah dan batiniah.
Adab lahiriah meliputi hal-hal yang sering kita tahu: berwudhu, duduk dengan sopan, menghadap kiblat, dan membaca dengan suara lembut. Beliau menulis:
كُنْ فِي مَجْلِسِ الْقُرْآنِ كَمَا يَكُونُ الْعَبْدُ الْمَذْنِبُ بَيْنَ يَدَيِ الْمَوْلَى
“Duduklah di hadapan Al-Qur’an sebagaimana seorang hamba berdosa duduk di hadapan Tuannya.”
Adab batiniah lebih dalam: menghadirkan rasa takut, harap, dan cinta saat membaca. Ketika membaca ayat tentang surga, hati bergetar oleh kerinduan; saat membaca ayat tentang neraka, jiwa menunduk karena takut.
Bagi generasi Z yang hidup di tengah distraksi digital, ini menjadi tantangan spiritual: bagaimana membawa hati kembali tenang di hadapan Al-Qur’an? Mungkin jawabannya adalah belajar mengaji dengan jiwa, bukan dengan layar.
Menghidupkan Hati Melalui Tilawah yang Dihayati
Al-Ghazali menyebut bahwa Al-Qur’an adalah cermin bagi hati. Ia menulis:
الْقُرْآنُ مِرْآةٌ تَرَى فِيهَا نَفْسَكَ، فَانْظُرْ كَيْفَ أَنْتَ
“Al-Qur’an adalah cermin tempat engkau melihat dirimu; maka lihatlah bagaimana dirimu di dalamnya.”
Membaca Al-Qur’an dengan jiwa berarti menatap ayat-ayat bukan sebagai teks suci yang jauh, melainkan refleksi dari kehidupan nyata kita sendiri.
Saat membaca ayat tentang kesabaran, kita diingatkan akan keluh kesah kita di media sosial. Saat membaca tentang keadilan, kita menatap kembali bagaimana kita memperlakukan orang lain.
Nabi ﷺ bersabda:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَابْكُوا، فَإِنْ لَمْ تَبْكُوا فَتَبَاكُوا
“Bacalah Al-Qur’an dan menangislah; jika kalian tidak bisa menangis, maka usahakanlah untuk menangis.” (HR. Ibnu Majah)
Air mata bukan sekadar simbol kesedihan, tapi tanda bahwa hati masih hidup. Karena yang paling berbahaya bukanlah tidak paham ayat, melainkan tidak lagi tersentuh olehnya.
Ketika Hati dan Suara Menyatu dalam Bacaan
Imam al-Ghazali menekankan pentingnya membaca dengan suara lembut, tenang, dan penuh penghayatan.
وَخَفِّضْ صَوْتَكَ عِنْدَ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ فَإِنَّ الْمَقْصُودَ الْإِصْغَاءُ لِقَلْبِكَ لَا لِأُذُنَيْكَ
“Rendahkan suaramu saat membaca Al-Qur’an, karena tujuan membaca adalah agar hatimu mendengarkan, bukan sekadar telingamu.”
Ayat berikut menegaskan hal serupa:
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
“Dan bacalah Al-Qur’an dengan perlahan dan tartil.”
(QS. Al-Muzzammil: 4)
Membaca dengan tartil bukan hanya teknis bacaan, tapi juga cara memberi waktu pada hati untuk memahami pesan di setiap huruf.
Bagi generasi Z yang akrab dengan fast content, membaca Al-Qur’an bisa menjadi latihan slow living spiritual: menenangkan ritme hidup, menyalakan kembali kesadaran, dan menghadirkan makna di setiap lafaz.
Menjadikan Al-Qur’an sebagai Teman Bicara
Salah satu nasihat paling indah dari Imam al-Ghazali adalah ketika beliau berkata:
إِذَا قَرَأْتَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا، فَأَنْصِتْ وَأَجِبْ، فَإِنَّ اللهَ يُنَادِيكَ
“Ketika engkau membaca ayat ‘Wahai orang-orang yang beriman’, maka diamlah dan jawab, karena Allah sedang memanggilmu.”
Ini bukan sekadar nasihat tafsir, tetapi pelajaran tentang spiritual intimacy. Imam al-Ghazali mengajak kita untuk merasa bahwa setiap ayat adalah sapaan langsung dari Tuhan.
Bayangkan membaca Al-Qur’an bukan sebagai pendengar pasif, tetapi sebagai sahabat yang diajak bicara oleh Penciptanya. Setiap “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا” menjadi undangan lembut: Hai kamu, yang sedang sibuk dengan dunia, dengarkan Aku sejenak.
Mengaji dengan Jiwa di Era Serba Digital
Kini, mengaji bisa dilakukan lewat apps, audio streaming, bahkan AI. Teknologi memang memudahkan, tapi juga berpotensi menjauhkan kita dari hakikat membaca Al-Qur’an sebagai ibadah ruhani.
Imam al-Ghazali mungkin tidak mengenal gawai, tapi pesan beliau terasa abadi: mengaji tidak cukup dengan mata, tapi dengan hati.
Generasi Z yang terbiasa dengan multitasking — belajar sambil mendengarkan murottal, bekerja sambil membuka tafsir digital — perlu sesekali berhenti dan kembali ke kesunyian batin. Karena dalam kesunyian itulah kalam Allah berbicara paling jernih.
Penutup
Al-Qur’an bukan hanya kitab petunjuk, tetapi juga kitab penyembuh hati. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ
“Wahai manusia, sungguh telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit yang ada di dalam dada.”
(QS. Yunus: 57)
Imam al-Ghazali menulis dengan lembut:
اقْرَأِ الْقُرْآنَ كَأَنَّكَ تَسْمَعُهُ مِنَ اللهِ، لَا مِنْ نَفْسِكَ
“Bacalah Al-Qur’an seakan-akan engkau mendengarnya langsung dari Allah, bukan dari dirimu sendiri.”
Barangkali inilah makna terdalam dari “mengaji dengan jiwa”: membaca bukan sekadar demi pahala, tapi untuk mendengar kembali suara Tuhan di dalam diri.
Sebab, setiap huruf dari Al-Qur’an bukan hanya mengajari kita bagaimana hidup, tapi juga mengingatkan dari mana kita datang — dan ke mana kita akan pulang.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
