Khazanah
Beranda » Berita » Ketika Sahabat Berbeda Pendapat: Hikmah Pelajaran dari Ijtihad Generasi Terbaik

Ketika Sahabat Berbeda Pendapat: Hikmah Pelajaran dari Ijtihad Generasi Terbaik

Ketika Sahabat Berbeda Pendapat: Hikmah Pelajaran dari Ijtihad Generasi Terbaik
Ilustrasi musyawarah untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

SURAU.CO– Periode Khulafa’ ar-Rasyidun dimulai tahun 11 H dan berakhir tahun 40 H. Pada masa ini, para sahabat melakukan berbagai macam ijtihad, baik melalui cara qiyas maupun lainnya. Selain itu, Ijma’ (konsensus) juga telah ada.

Terdapat beberapa peristiwa yang t memperlihatkan perdebatan dan ijtihad antara para sahabat Nabi Saw. dalam memecahkan persoalan-persoalan keagamaan. Salah satunya tentang penulisan al-Qur’an dalam satu mushaf. Kasus ini sebenarnya bukanlah bid’ah, karena pada masa Nabi Saw. sendiri, al-Qur’an telah tertulis pada tulang belulang dan pelepah kurma. Yang bid’ah adalah penulisannya dalam satu mushaf. Ini merupakan persoalan ijtihad yang akhirnya mereka sepakati sebagai tindakan yang baik.

Umar bin Khatthab pernah menulis surat kepada Syuraih yang saat itu menjabat sebagai hakim. Dalam surat tersebut, Umar bin Khatthab mengatakan,

“Jika untuk kasus yang engkau hadapi, engkau dapatkan jawabannya dalam Kitab Allah, maka putuskanlah berdasarkan ketentuan itu, dan jangan berpikir lainnya. Jika engkau tidak menemukannya, putuskanlah berdasarkan Sunah Rasulullah. Jika tidak engkau jumpai di dalam keduanya, putuskanlah berdasarkan konsensus (ijma’). Dan jika tidak engkau temukan dalam Kitab Allah, Sunah Rasulullah, dan tidak ada pendapat seorang pun sebelum engkau, maka engkau boleh berijtihad atau menundanya.”

Dinamika terkait kasus iddah dan talak

Satu kasus pernah terjadi pada masa Umar bin Khatthab. Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan yang masih dalam masa iddah (masa menunggu) cerai. Umar bin Khatthab memukul laki-laki itu dan menceraikan keduanya. Umar bin Khattab mengatakan,

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“Perempuan mana pun yang kawin dalam masa iddah dan belum disetubuhi oleh suaminya yang kedua itu, maka keduanya harus diceraikan. Dia harus menghabiskan dulu sisa iddah dari suami pertamanya. Kemudian, apabila suami pertama ini meminangnya dan telah menyetubuhinya, maka keduanya harus diceraikan. Sesudah itu, si perempuan harus menjalankan sisa iddah-nya dari suami pertama, kemudian menjalankan iddah dari suami yang kedua, dan tidak boleh mengawininya untuk selamanya.”

Ali menentang pendapat Umar bin Khatthab yang mengharamkan suami kedua mengawininya selamanya. Katanya,

“Apabila si perempuan telah menyelesaikan iddah dari suaminya yang pertama, dia boleh dikawini laki-laki lain.”

Demikianlah ijtihad mereka berdua. Dasar pertimbangan Umar bin Khatthab dalam hal ini adalah kaidah: az-zajr wa at-ta’dib, yaitu pencegahan dan pendidikan. Sementara itu, Ali bin Abi Thalib mengambil dasar-dasar umum.

Umar bin Khatthab juga memutuskan talak tiga bagi siapa saja yang mengucapkannya sekaligus, atas pertimbangan pencegahan dan sebagai hukuman. Padahal, sebelum ini, kasus tersebut mereka putuskan sebagai jatuh satu. Ali bin Abi Thalib dan Abu Musa al-Asy’ari menentang pendapat ini.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Perbedaan Pandangan tentang Cerai dan Iddah

Utsman bin Affan berpendapat bahwa seorang perempuan merdeka boleh kawin dengan laki-laki budak. Hak cerainya dua kali. Zaid bin Tsabit menyetujui pendapat ini. Tetapi, Ali bin Abi Thalib menentangnya. Katanya, “Hak cerainya tetap tiga kali.” Apabila sebaliknya; perempuan budak menjadi istri dari laki-laki merdeka, menurut pendapat Utsman bin Affan dan Zaid bin Tsabit, hak cerainya adalah tiga. Sementara itu, Ali bin Abi Thalib berpendapat hanya dua.

Perbedaan ini terletak pada persoalan siapa yang harus menjadi pertimbangan: suami atau istri. Utsman bin Affan dan Zaid bin Tsabit berpendapat bahwa suamilah yang harus mereka pertimbangkan, karena ia pihak yang memiliki hak cerai. Sebaliknya, Ali bin Abi Thalib memandang istri yang harus menjadi pertimbangan, karena dialah pihak yang dicerai.

Menghukum cambuk peminum khamar

Ali bin Abi Thalib pernah menghukum cambuk 80 kali terhadap peminum khamar (minuman keras). Ia menyamakannya dengan penuduh zina. Katanya, ”

Kalau minum, dia mabuk. Kalau sudah mabuk, bicaranya pasti kacau. Kalau sudah kacau, dia berdusta. Karena itu, dia harus dicambuk seperti pendusta, yakni penuduh zina.”

Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa batas iddah perempuan yang diceraikan adalah sampai dia bersuci dari haid yang ketiga. Menurut Zaid bin Tsabit, perempuan tersebut dinyatakan selesai iddah-nya ketika memasuki haid yang ketiga. Perbedaan pandangan ini bertolak dari pemahaman atas ayat:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

“Perempuan-perempuan yang diceraikan, supaya menunggu tiga kali quru’.” (QS. al-Baqarah [2]: 228).

Apakah yang dimaksud quru’ itu suci atau haid? Ibnu Mas’ud memilih arti yang pertama (suci), sementara Zaid bin Tsabit memilih yang kedua.(St.Diyar)

Referensi : Abdullah Musthafa Al-Maraghi, Ensiklopedia Lengkap Ulama Ushul Fiqh Sepanjang Masa, 2020.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement