Di tengah dunia yang sibuk mengejar “keuntungan”, kata memberi sering terdengar seperti cerita lama. Generasi hari ini hidup dalam algoritma yang menghitung semua hal—termasuk kebaikan. Bahkan sedekah bisa dikalkulasi: “Seberapa besar pahala yang kudapat jika aku memberi sekian?”
Namun Imam al-Ghazali, dalam Bidayatul Hidayah, mengingatkan bahwa hakikat sedekah tidak terletak pada besar kecilnya nominal, tapi pada kebersihan niat dan keluasan hati. Sedekah yang lahir dari hati yang bersih, kata beliau, bukan hanya menghidupi penerima, tapi juga menghidupkan jiwa si pemberi.
لَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى قَدْرِ صَدَقَتِكَ وَلَكِنْ إِلَى نِيَّتِكَ وَخُلُوصِ قَلْبِكَ
“Allah tidak melihat seberapa besar sedekahmu, tetapi melihat niat dan ketulusan hatimu.”
(Imam al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, Bab Adab al-Infaq)
Generasi muda sering berbagi di media sosial—membagikan informasi, ide, bahkan donasi digital. Tapi al-Ghazali mengajak kita bertanya lebih dalam: apakah kita memberi untuk menenangkan hati, atau untuk terlihat baik di mata orang lain?
Sedekah Menurut Al-Ghazali: Latihan Melepaskan Diri dari Keakuan
Imam al-Ghazali memandang sedekah sebagai latihan spiritual untuk menundukkan ego dan menumbuhkan cinta kasih. Dalam Bidayatul Hidayah, beliau menulis bahwa orang yang memberi bukan berarti memiliki lebih banyak, tapi karena hatinya lebih lapang.
إِذَا أَنْفَقْتَ فَلَا تَرَى نَفْسَكَ خَيْرًا مِنَ الْفَقِيرِ، فَإِنَّ الْمِنَّةَ لِلَّهِ عَلَيْكَ أَنْ جَعَلَكَ يَدًا عُلْيَا
“Ketika engkau bersedekah, janganlah merasa lebih baik dari si miskin, sebab karunia Allah-lah yang menjadikanmu tangan di atas.”
Kalimat ini terasa relevan bagi generasi Z yang tumbuh di era branding diri—di mana setiap kebaikan bisa berubah menjadi konten. Al-Ghazali menegaskan: sedekah sejati tidak butuh panggung. Ia adalah pertemuan sunyi antara hati yang memberi dan hati yang menerima.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُم بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di malam maupun siang hari, secara sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya.”
(QS. Al-Baqarah: 274)
Ayat ini tidak menolak publikasi kebaikan, tapi mengingatkan bahwa niat harus tetap menjadi inti. Jika niatnya tulus, maka berbagi di depan publik pun bisa bernilai ibadah. Namun jika hati ingin dipuji, maka sedekah bisa kehilangan ruhnya.
Memberi Tidak Harus Kaya: Sedekah Sebagai Kelembutan Jiwa
Al-Ghazali menulis dengan lembut bahwa sedekah tidak selalu berupa harta. Kadang, senyum yang tulus atau bantuan kecil lebih berarti dari uang seribu dinar.
لَيْسَ كُلُّ صَدَقَةٍ بِمَالٍ، فَإِنَّ الْكَلِمَةَ الطَّيِّبَةَ وَالْبِشْرَ فِي الْوَجْهِ صَدَقَةٌ
“Tidak setiap sedekah itu berupa harta, sebab ucapan yang baik dan wajah yang ramah juga sedekah.”
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah.” (HR. Tirmidzi)
Bagi generasi muda yang hidup di tengah tekanan sosial dan mental, sedekah bisa dimulai dari hal sederhana: mendengarkan teman tanpa menghakimi, mengirim pesan menenangkan, atau sekadar memberi waktu untuk menemani.
Sedekah bukan hanya tentang memberi uang, tapi tentang menyediakan ruang di hati untuk orang lain. Di situlah jiwa yang keras bisa melunak, dan hati yang beku kembali hidup.
Sedekah yang Membersihkan Hati: Dari Kikir ke Ikhlas
Manusia, kata al-Ghazali, cenderung mencintai harta. Itulah sebabnya memberi terasa berat. Tetapi justru karena itulah sedekah menjadi latihan pembersihan hati dari sifat kikir.
الشُّحُّ دَاءُ الْقُلُوبِ، وَالصَّدَقَةُ دَوَاؤُهُ
“Kikir adalah penyakit hati, dan sedekah adalah obatnya.”
Dalam Al-Qur’an, Allah juga menegaskan:
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. Al-Hasyr: 9)
Ketika seseorang bersedekah dengan tulus, ia sebenarnya sedang mengobati dirinya dari keterikatan terhadap dunia. Ia belajar bahwa harta hanyalah titipan, dan kebahagiaan sejati datang dari memberi, bukan memiliki.
Dalam Bidayatul Hidayah, al-Ghazali menyebutkan bahwa tanda sedekah yang ikhlas adalah ketika seseorang lupa pada apa yang telah ia beri. Ia tidak menghitung, tidak mengungkit, tidak menyesal. Karena bagi hati yang bersih, memberi bukan kehilangan, tapi keberlimpahan.
Sedekah dan Ketenangan Jiwa di Era Digital
Di dunia digital, sedekah bisa jadi trending topic. Setiap donasi bisa dibagikan, disukai, bahkan dijadikan konten inspiratif. Tapi Imam al-Ghazali memberi peringatan: hati-hati dengan riya’ yang halus.
إِيَّاكَ أَنْ تُظْهِرَ صَدَقَتَكَ لِتُرَى، فَإِنَّ ذٰلِكَ يُبْطِلُ أَجْرَكَ وَيُظْلِمُ قَلْبَكَ
“Waspadalah menampakkan sedekahmu agar dilihat orang lain, sebab hal itu bisa menghapus pahalamu dan menggelapkan hatimu.”
Generasi Z hidup di dunia yang menilai kebaikan dengan angka: likes, views, followers. Maka tantangannya adalah bagaimana tetap ikhlas di tengah sorotan publik. Sedekah digital tidak salah—yang perlu dijaga adalah mengapa kita melakukannya.
Salah satu cara agar hati tetap bersih, kata al-Ghazali, adalah dengan menyembunyikan sebagian sedekah, karena yang tersembunyi lebih mendidik keikhlasan. Dalam dunia yang gemar memamerkan, diam justru menjadi bentuk tertinggi dari kebaikan.
Memberi sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan
Imam al-Ghazali percaya bahwa sedekah membawa kebahagiaan batin yang tidak bisa dibeli. Ia menulis:
مَنْ ذَاقَ لَذَّةَ الْعَطَاءِ لَمْ يَرْغَبْ فِي الْأَخْذِ
“Siapa yang telah merasakan nikmatnya memberi, ia tidak lagi bernafsu untuk menerima.”
Sedekah sejati tidak menunggu cukup, karena yang memberi bukan dompet, tapi hati. Justru dengan memberi, hati terasa lapang, dan hidup menjadi lebih ringan.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Harta tidak akan berkurang karena sedekah.” (HR. Muslim)
Logika ekonomi dunia mengatakan memberi berarti berkurang. Tapi logika spiritual mengatakan sebaliknya: memberi berarti memperkaya. Bukan memperkaya saldo, tapi memperluas makna hidup.
Belajar Derma dari Hati yang Bersih
Dalam Bidayatul Hidayah, al-Ghazali mengajarkan bahwa sedekah yang paling tinggi derajatnya adalah ketika seseorang memberi tanpa berharap kembali, bahkan tanpa berharap dikenal.
أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ سِرًّا، لَا يَعْلَمُهُ إِلَّا اللهُ
“Sedekah terbaik adalah yang dilakukan secara rahasia, tidak diketahui kecuali oleh Allah.”
Bagi al-Ghazali, memberi diam-diam adalah bentuk cinta sejati kepada Tuhan. Karena hanya orang yang benar-benar yakin pada balasan Allah yang bisa memberi tanpa disaksikan siapa pun.
Itulah “derma dari hati yang bersih” — sedekah yang tidak berisik, tidak berlabel, tapi bergetar di langit. Ia mungkin kecil di mata manusia, tapi besar di sisi Tuhan.
Penutup
Kita hidup di zaman di mana orang berlomba menjadi “seseorang”, padahal yang lebih sulit adalah menjadi sesuatu—yakni hati yang hidup. Imam al-Ghazali mengingatkan bahwa sedekah bukan sekadar tindakan sosial, tapi cara hati mengenal dirinya sendiri.
الْمَالُ يَبْقَى مَا بَقِيَتِ النِّيَّةُ، وَالْقَلْبُ يَحْيَا مَا دَامَ يُحِبُّ لِغَيْرِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Harta akan bernilai selama niatnya tulus, dan hati akan hidup selama ia mencintai untuk orang lain apa yang ia cintai untuk dirinya.”
Sedekah adalah latihan cinta yang paling jujur—sebab ia menuntut pengorbanan, tapi membalas dengan kedamaian.
Dan mungkin, di tengah hiruk-pikuk dunia yang membuat hati kering, sedekah adalah cara paling sederhana untuk menghidupkan hati yang nyaris mati.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ Universiy Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
