Surau.co. Kembali ke taman jiwa – Ada taman yang tidak ditanam di bumi, dan tidak pula tumbuh karena air hujan. Taman itu bersemi di dalam diri manusia—di sanalah akhlak tumbuh, mekar, dan menyebarkan aroma ketenangan. Ibn Miskawayh, dalam Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq, menyebut taman ini sebagai tempat ruh menemukan keseimbangannya. Ia menulis bukan untuk memberi daftar larangan dan perintah, melainkan untuk mengajak manusia menanam kebaikan di ladang jiwanya sendiri.
Sejak awal, Ibn Miskawayh ingin menegaskan bahwa perjalanan akhlak bukanlah proyek moral yang kaku, melainkan seni menumbuhkan kebajikan hingga menjadi tabiat. Dengan demikian, manusia tidak hanya menahan diri dari keburukan, tetapi juga menumbuhkan kebaikan secara alami. Sebab, di dalam setiap diri terdapat benih ilahi yang rindu tumbuh menjadi cahaya. Maka, tugas manusia hanyalah merawatnya dengan kesadaran dan cinta.
Akhlak yang Menghidupkan Dunia Dalam Diri
Sering kali manusia berusaha memperbaiki dunia, namun lupa menata taman jiwanya sendiri. Ia sibuk memungut sampah di jalan, tetapi membiarkan kebencian menumpuk di hati. Akibatnya, keseimbangan batin menjadi rapuh. Ibn Miskawayh mengingatkan bahwa kebersihan luar tidak akan berarti tanpa kejernihan dalam. Ia menulis:
«وَإِذَا نَقَتِ النَّفْسُ وَتَزَكَّتْ، صَارَتْ كَالْمِرْآةِ تُرِي الْحَقَّ عَلَى مَا هُوَ عَلَيْهِ»
“Apabila jiwa telah suci dan bersih, ia menjadi seperti cermin yang memantulkan kebenaran sebagaimana adanya.”
Dengan kata lain, cermin jiwa yang bersih tidak memantulkan wajah dunia yang palsu. Sebaliknya, ia hanya memperlihatkan hakikat—bahwa setiap kebaikan adalah pantulan dari Sang Maha Baik. Oleh karena itu, setiap kali seseorang berlaku jujur, sabar, atau memaafkan, sesungguhnya ia sedang merawat taman di dalam dirinya. Ia menanam bunga keindahan yang tak akan layu oleh waktu. Dan justru di sanalah letak kebahagiaan sejati: ketika hati menjadi ladang subur bagi kebaikan.
Jalan Panjang Menuju Keseimbangan
Namun, perjalanan menuju akhlak yang seimbang bukanlah jalan yang lurus. Kehidupan sering menggoyang jiwa, seperti angin yang mengusik daun. Dalam pergulatan itu, manusia belajar menyeimbangkan antara amarah dan kasih, keberanian dan kehati-hatian, cinta dan logika. Ibn Miskawayh melihat keseimbangan sebagai puncak akhlak yang sempurna. Ia berkata:
«الْفَضِيلَةُ وَسَطٌ بَيْنَ رَذِيلَتَيْنِ»
“Keutamaan itu berada di tengah antara dua keburukan.”
Dengan demikian, keberanian yang berlebihan dapat menjelma menjadi kesombongan, sedangkan kekurangan keberanian berubah menjadi ketakutan. Hanya dengan menempuh jalan tengah, jiwa menemukan ketenangannya.
Di sisi lain, dalam dunia modern, keseimbangan ini kian sulit dicapai. Kita ditarik oleh dua kutub: antara ambisi dan kelelahan, antara pencapaian dan kehilangan arah. Oleh karena itu, sebagaimana taman memerlukan musim, jiwa pun membutuhkan waktu untuk beristirahat, merenung, dan kembali ke sumbernya. Sebab tanpa jeda, kebajikan pun bisa layu.
Menyucikan Jiwa dari Debu Dunia
Lebih jauh, kehidupan sering membuat hati berdebu. Setiap kali iri, marah, atau sombong, kita menutup cahaya yang ada di dalam diri. Ibn Miskawayh menulis dengan lembut namun tajam:
«لَا سَعَادَةَ لِمَنْ لَا يُطَهِّرُ نَفْسَهُ مِنَ الرَّذَائِلِ»
“Tiada kebahagiaan bagi orang yang tidak menyucikan jiwanya dari keburukan.”
Dengan kata lain, pembersihan jiwa bukanlah pekerjaan sekejap, melainkan perjalanan tanpa akhir. Ia menuntut kesabaran, kesadaran, dan kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita masih belajar mencintai kebaikan.
Selain itu, Al-Qur’an pun mengajarkan hal serupa:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”
(QS. Asy-Syams [91]: 9–10)
Ayat ini seakan menjadi gema bagi seluruh isi kitab Tahdhīb al-Akhlāq. Dengan demikian, kesempurnaan akhlak bukanlah hasil hafalan, tetapi buah dari penyucian jiwa yang berkelanjutan—sebuah proses yang menuntut kontinuitas, bukan kepura-puraan.
Kembali kepada Kejernihan Asal
Ada saat ketika manusia harus berhenti sejenak—bukan karena lelah, tetapi karena ingin mendengar suara yang datang dari dalam. Ibn Miskawayh menulis:
«إِذَا رَجَعَ الإِنسَانُ إِلَى نَفْسِهِ، رَجَعَ إِلَى رَبِّهِ»
“Ketika manusia kembali kepada dirinya, sesungguhnya ia telah kembali kepada Tuhannya.”
Pernyataan ini menyiratkan kedalaman sufistik. Artinya, perjalanan akhlak sejatinya adalah perjalanan pulang. Semua latihan, kesabaran, dan pengendalian diri bukan untuk menjadi “baik di mata manusia”, melainkan agar jiwa kembali mengenal asalnya—yakni ketenangan di hadirat Allah.
Tidak heran, Rasulullah ﷺ pun menegaskan:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)
Dengan demikian, kesempurnaan akhlak menjadi inti kenabian, jantung ibadah, dan jiwa dari seluruh ilmu. Tanpa akhlak, pengetahuan hanya menjadi debu kering di rak buku; dengan akhlak, ilmu berubah menjadi cahaya yang menuntun langkah.
Menyirami Taman Jiwa
Selanjutnya, taman jiwa tidak akan tumbuh tanpa air cinta dan sinar pengharapan. Ia perlu disirami setiap hari dengan doa, istighfar, dan amal baik. Seperti tanah yang gembur setelah hujan, hati manusia akan lembut setelah tangis dan penyesalan.
Karena itu, Ibn Miskawayh memandang penyempurnaan akhlak sebagai jalan kebahagiaan sejati. Ia menulis:
«غَايَةُ الأَخْلَاقِ سَعَادَةُ النَّفْسِ وَرَاحَتُهَا»
“Tujuan dari akhlak adalah kebahagiaan dan ketenangan jiwa.”
Pada akhirnya, kebahagiaan bukanlah tawa panjang, melainkan kedamaian yang tidak bergantung pada keadaan luar. Ketika jiwa telah mengenal Tuhannya, ia tidak lagi mencari taman di dunia, karena taman itu telah tumbuh di dalam dirinya sendiri. Maka, setiap kebaikan yang dilakukan adalah air kehidupan bagi taman batin itu.
Akhlak Sebagai Doa yang Berjalan
Kita mungkin tidak selalu bisa berzikir dengan lidah, tetapi kita bisa berzikir dengan laku. Setiap kebaikan yang kita lakukan adalah doa yang berjalan. Setiap kesabaran adalah tasbih yang tak terdengar. Dan setiap keikhlasan adalah sujud yang tersembunyi.
Pada akhirnya, dalam keheningan hidup, mungkin inilah makna terdalam dari ajaran Ibn Miskawayh—bahwa akhlak adalah wajah jiwa yang sedang berdoa. Dan setiap manusia yang menempuh jalan ini, sesungguhnya sedang menulis surat pulang kepada Tuhannya.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
