SURAU.CO – Setelah pasukan Muslim menduduki sebagian wilayah Irak dari kekuasaan Persia, perhatian Khalifah Abu Bakar beralih ke utara, menuju wilayah Syam (Levant) yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Bizantium (Romawi Timur). Wilayah ini pinggiran dan strategis, mencakup kota-kota besar seperti Damaskus, Hims, dan Yerusalem.
Namun penaklukan Syam bukan sekedar ambisi politik. Tujuan utama umat Islam adalah menyebarkan keadilan dan ajaran tauhid di wilayah yang selama ini ditentukan oleh kekuasaan Bizantium. Khalifah Abu Bakar kemudian mengirimkan empat pasukan utama ke Syam di bawah pimpinan Amr bin Ash, Yazid bin Abi Sufyan, Syurahbil bin Hasanah, dan Abu Ubaidah bin Jarrah.
Di pihak Bizantium, Kaisar Heraklius tidak tinggal diam. Ia mengirim pasukan besar untuk menghadang kekuatan Muslim di sebuah daerah bernama Ajnadain, yang terletak antara Palestina dan Syam Selatan. Melihat ancaman besar ini, Abu Bakar memanggil menyanyikan “Pedang Allah yang Terhunus” — Khalid bin Walid — untuk memimpin seluruh pasukan Islam di medan Syam.
Strategi dan Kepemimpinan Khalid bin Walid
Khalid bin Walid dikenal sebagai jenius militer yang tak tertandingi. Sejak masa Rasulullah SAW, ia sudah menunjukkan bakat luar biasa dalam strategi perang, seperti dalam Perang Mu’tah dan Yamamah. Saat memimpin Syam, Khalid membawa pengalaman dan ketegasan yang membuat pasukan Islam penuh percaya diri.
Setibanya di Syam, Khalid segera mengonsolidasikan seluruh pasukan yang sebelumnya tersebar. Ia menyatukan mereka di bawah satu komando dan mengatur barisan dengan sangat rapi. Ia juga menempatkan para panglima senior pada posisi strategis, memastikan kesepakatan antar-kesatuan yang solid.
Di sisi lain, pasukan Bizantium datang dengan kekuatan besar, diperkirakan mencapai lebih dari 100.000 prajurit. Sementara pasukan Islam hanya sekitar 30.000 orang. Namun jumlah bukanlah penentu kemenangan. Khalid tahu bahwa semangat jihad dan keimanan yang kuat mampu menumbangkan pasukan musuh yang jauh lebih besar.
Khalid membagi pasukannya dalam beberapa barisan: infanteri di tengah, pasukan berkuda di sayap kanan dan kiri, serta pasukan cadangan di belakang. Ia menekankan pentingnya disiplin dan ketaatan terhadap komando . Ia juga menyiapkan strategi bertahan lalu menyerang balik saat pasukan Romawi mulai lemah dan kehilangan formasi.
Jalannya Pertempuran
Perang Ajnadain pecah pada Juli 634 M (13 H) . Medan perang terbentang luas di padang terbuka, cocok untuk manuver pasukan berkuda. Khalid bin Walid maju ke tengah pasukan dan memberikan pidato yang berapi-api. Ia berkata, “Wahai kaum Muslimin, surga berada di depan kalian, dan kebinasaan di belakang kalian. Jangan mundur sebelum kalian menaklukkan mereka atau gugur di jalan Allah!”
Pertempuran berlangsung sengit. Serangan Pasukan Bizantium dimulai dengan panah dan tombak, mencoba memecah barisan Muslim. Namun pasukan Islam tetap bertahan kokoh. Khalid mengatur serangan balasan secara cepat. Ia bernegosiasi dengan pasukannya di sayap kanan untuk menyerang sayap kiri Bizantium, sementara ia sendiri memimpin serangan langsung ke jantung pertahanan musuh.
Kecerdikan Khalid terlihat saat ia memerintahkan pasukannya berpura-pura mundur untuk memancing musuh keluar dari formasi. Ketika pasukan Bizantium mengejar, Khalid mengirim pasukan cadangan dari belakang untuk mengepung mereka. Taktik ini membuat barisan musuh kacau.
Teriakan “Allahu Akbar!” menggema di seluruh medan perang. Satu per satu pasukan Bizantium Jatuh. Ketika malam tiba, pasukan Muslim tetap bertahan dan terus menekan lawan. Keesokan harinya, pasukan Bizantium sudah kehilangan semangat tempur. Mereka mulai melarikan diri, dan Khalid memerintahkan pasukannya untuk mengejar. Dalam waktu singkat, kemenangan besar diraih oleh kaum Muslimin.
Dampak dan Makna Kemenangan
Kemenangan dalam Perang Ajnadain menjadi tonggak penting dalam sejarah penalukan Syam. Kekalahan telak pasukan Bizantium membuka jalan bagi penaklukan kota-kota besar seperti Damaskus, Hims, dan Yerusalem . Kaum Muslimin berhasil menegakkan keadilan dan keamanan di wilayah yang sebelumnya dikuasai tirani.
Lebih dari sekedar kemenangan militer, Ajnadain menjadi simbol kekuatan iman dan kepemimpinan yang adil . Khalid bin Walid tidak hanya menunjukkan kemampuan strategi, tetapi juga keteladanan dalam moral dan keberanian. Ia selalu menempatkan niat jihad fi sabilillah di atas ambisi pribadi. Ketika menerima kemenangan, dia tidak pernah merasa puas. Ia hanya berkata, “Kemenangan ini bukan karena kehebatan kami, melainkan karena pertolongan Allah.”
Khalid juga memperlakukan tawanan perang dengan baik, sesuai ajaran Islam. Ia melarang pasukannya menjarah atau menyakiti warga sipil. Sikap ini membuat banyak penduduk Syam tertarik kepada Islam karena melihat akhlak mulia para prajurit Muslim.
Penutup
Perang Ajnadain adalah salah satu peristiwa paling gemilang dalam sejarah Islam. Di medan perang itu, Khalid bin Walid RA membuktikan bahwa strategi, keberanian, dan keimanan dapat mengalahkan kekuatan besar sekalipun. Melalui kepemimpinannya, pasukan Muslim meraih kemenangan yang membuka jalan bagi penyebaran Islam di wilayah Syam dan sekitarnya.
Kisah ini bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga pelajaran abadi tentang arti perjuangan, kepemimpinan, dan keteguhan hati. Khalid bin Walid telah menunjukkan bahwa seorang pemimpin sejati bukan hanya pandai dalam mengukur, tetapi juga bijak, beriman, dan rendah hati.
Dari Ajnadain, dunia belajar bahwa kemenangan sejati datang bukan dari jumlah pasukan, tetapi dari kekuatan iman dan keikhlasan dalam berjuang di jalan Allah.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
