SURAU.CO – Pada masa pemerintahan Sultan Murad IV (1612–1640), pemimpin ke-17 dari Dinasti Turki Utsmani, tersimpan kisah menggetarkan hati yang ia abadikan dalam catatan hariannya. Kisah ini bukan tentang kekuasaan, peperangan, atau politik, tetapi tentang seorang lelaki yang banyak orang menganggap ahli maksiat, padahal sebenarnya kekasih Allah yang tersembunyi. Kisah ini memberi pelajaran berharga bahwa manusia tidak berhak menghakimi hanya dari apa yang tampak di mata.
Sultan Murad IV lahir di Istanbul pada tanggal 27 Juli 1612. Ia merupakan putra Raja Ahmad I dan Ratu Kosem. Ketika berusia 11 tahun, ia naik takhta menggantikan pamannya, Sultan Musthofa I. Meski masih muda, Sultan Murad tumbuh menjadi penguasa yang tegas dan berani menegakkan hukum. Ia melarang keras korupsi, mabuk-mabukan, serta kebebasan. Pada masa itu, alkohol, kopi, dan tembakau menjadi simbol pemberontakan dan kemaksiatan, sehingga ia menindak tegas para pelanggarnya.
Namun di balik ketegasannya, Sultan Murad IV memiliki sisi spiritual yang mendalam. Ia sering melakukan inspeksi malam atau blusukan dengan penyamaran, agar bisa melihat langsung kehidupan rakyatnya tanpa jarak.
Penemuan Mayat di Tengah Malam
Suatu malam, Sultan Murad merasa gelisah tanpa alasan yang jelas. Ia merasa hatinya tidak tenang dan ingin mencari tahu alasannya. Ia memanggil kepala pengawalnya dan berkata, “Mari kita keluar sebentar.” Mereka pun menelusuri jalan-jalan sepi di Istanbul hingga tiba di sebuah lorong gelap. Di sana, Sultan menemukan seorang lelaki tak bernyawa.
Sultan Murad segera memeriksa lelaki itu, namun nyawanya sudah tidak ada. Orang-orang yang lewat hanya melirik tanpa peduli. Merasa heran, Sultan memanggil mereka dan bertanya, “Mengapa kalian tidak memedulikan orang ini? Siapa dia, dan di mana keluarganya?”
Salah seorang menjawab, “peminum khamr, dan pezina! Tidak ada yang mau menyentuhnya.”
Sultan Murad menatap tajam ke arah mereka. Ia berkata dengan tegas, “Dia tetap umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam! Ayo, kita angkat jenazahnya.” Ia pun mengangkat jasad itu bersama kepala pengawalnya dan membawanya pulang ke rumah sang lelaki.
Rahasia Besar Seorang Wali
Ketika Sultan Murad tiba di rumah lelaki itu, istrinya menangis sejadi-jadinya. Orang-orang yang membantu membawa jenazah langsung pergi, meninggalkan Sultan dan pengawalnya. Dalam tangisnya, sang istri berucap lirih, “Semoga Allah merahmatimu, wahai wali Allah. Aku menceritakan bahwa kamu termasuk orang saleh.”
Ucapan itu membuat Sultan Murad terkejut. Ia bertanya, “Bagaimana mungkin kau menyebut wali Allah, sementara orang-orang menuduhnya ahli maksiat?”
Sang istri menatap Sultan dan menjawab dengan tenang, “Sudah kuduga, pasti akan begini.” Ia kemudian mengungkap rahasia besar suami.
“Setiap malam,” kata sang istri, “suamiku keluar membeli minuman keras dari berbagai toko. Ia menghabiskan uangnya untuk membeli semua miras yang tersedia, lalu membawanya pulang dan menumpahkannya ke toilet sambil berkata, ‘Aku telah meringankan dosa kaum muslimin.’
Air mata sang istri menetes saat melanjutkan ceritanya. “Ia juga sering mengunjungi rumah para pelacur, memberikan uang kepada mereka, lalu berkata, ‘Malam ini kalian sudah dalam bayaranku, jangan terima tamu sampai pagi.’ Setelah itu, ia pulang dan berkata kepadaku, ‘Alhamdulillah, malam ini aku telah meringankan dosa para pelacur dan para pemuda Islam.’
Sultan Murad mendengarkan kisah itu dengan mata berkaca-kaca. Ia akhirnya menyadari bahwa lelaki yang dianggap pendosa besar itu sebenarnya menanggung beban masyarakat. Lelaki itu berkorban demi menghapus peluang dosa bagi orang lain, meski harus menerima hinaan dari sesama manusia.
Janji Ajaib yang Menjadi Kenyataan
Sang istri melanjutkan, “Aku pernah berkata kepadanya, ‘Kalau kamu mati nanti, siapa yang akan memandikanmu, menyalatkanmu, dan menguburkanmu?’ Suamiku hanya tersenyum dan berkata, ‘Jangan khawatir. Bila aku mati, Sultan kaum muslimin, para ulama, dan para wali akan menyalatkanku.’
Sultan Murad menunduk dan menangis haru. Ia berkata kepada sang istri, “Benar, demi Allah, akulah Sultan Murad IV. Besok pagi aku sendiri yang akan memandikan, menyalatkan, dan menguburkan suamimu.”
Keesokan harinya, Sultan Murad menepati janjinya. Ia memimpin langsung prosesi pemakaman lelaki itu, didampingi para ulama dan wali Allah. Masyarakat berdatangan menyaksikan peristiwa langka itu dengan penuh takjub. Mereka akhirnya tahu bahwa lelaki yang selama ini cemooh mereka ternyata termasuk hamba Allah yang mulia.
Setelah peristiwa itu, Sultan Murad menulis kisah tersebut dalam Mudzakkiraat Sultan Murad IV sebagai pengingat bagi dirinya dan generasi sesudahnya. Ia menyadari bahwa keadilan sejati bukan hanya sekedar menegakkan hukum dengan tangan besi, namun juga memahami rahasia hati manusia dengan kelembutan iman.
Sultan Murad belajar bahwa tidak semua kebaikan terlihat, dan tidak semua dosa tampak nyata. Ia memahami bahwa sebagian orang berjuang dalam diam, bersembunyi amal mereka agar hanya Allah yang mengetahuinya.
Jangan Menilai dari Tampilan Luar
Kisah wali yang sering membeli miras dan mengunjungi pelacur ini menyampaikan pesan mendalam: manusia tidak boleh menilai seseorang hanya dari penampilannya. Mungkin orang yang tampak buruk di mata kita justru sedang berjuang menyelamatkan orang lain dari maksiat. Dalam pandangan Allah, yang paling mulia bukanlah yang paling sering dipuji, melainkan yang paling tulus di hati.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadis riwayat Muslim:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.”
Kisah ini mengajarkan bahwa kebaikan tidak selalu hadir dalam bentuk yang indah di mata manusia. Kadang-kadang, amal saleh tersembunyi dibalik kesalahpahaman dan cemoohan. Lelaki itu mungkin menjadi bahan gunjingan di dunia, tetapi Allah memuliakannya di akhirat.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
