Khazanah
Beranda » Berita » Tuhan di Antara Dua Nafas: Akhlak Sebagai Dzikir yang Hidup

Tuhan di Antara Dua Nafas: Akhlak Sebagai Dzikir yang Hidup

manusia duduk di tepi danau dalam keheningan, simbol dzikir yang hidup.
Ilustrasi realis filosofis tentang manusia yang menemukan Tuhan dalam keheningan dan keseharian.

Surau.co. Dalam sunyi subuh, di antara dua helaan nafas yang belum sempat disebut nama-Nya, ada keheningan yang lebih dalam dari doa. Di sanalah manusia berdiri di hadapan Tuhan—bukan dengan kata, melainkan dengan akhlak. Ibn Miskawayh, dalam Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq, mengajarkan bahwa akhlak bukan sekadar perilaku lahiriah, tetapi getaran jiwa yang mencerminkan kesadaran akan kehadiran Ilahi dalam setiap gerak dan diam. Akhlak adalah dzikir yang hidup; yang tidak hanya diucap, tapi dihayati, dijalani, dan dirasakan.

Ketika Kebaikan Menjadi Nafas Sehari-hari

Kita sering bernafas tanpa sadar, sebagaimana kita sering berbuat tanpa niat. Dalam keseharian, kebaikan bisa hadir begitu saja—menolong orang tua menyeberang jalan, menahan lidah dari cela, atau sekadar tersenyum pada orang asing. Namun, Ibn Miskawayh mengingatkan, kebajikan sejati lahir dari latihan jiwa, bukan kebetulan hati. Ia menulis:

«فَإِنَّ الأَخْلاقَ تُكْتَسَبُ بِالتَّعَلُّمِ وَالتَّعَوُّدِ»
“Sesungguhnya akhlak diperoleh melalui belajar dan pembiasaan.”

Dalam pandangan ini, akhlak tidak turun begitu saja seperti wahyu, melainkan tumbuh seperti pohon. Ia perlu tanah kesadaran, air latihan, dan sinar ketekunan. Orang yang ingin berakhlak baik tidak cukup hanya menghafal nasihat, tetapi harus melatih jiwanya untuk mengulang kebaikan hingga menjadi kebiasaan alami.

Menemukan Tuhan Dalam Tindakan Kecil

Di zaman yang serba cepat, banyak yang kehilangan rasa dalam amalnya. Kebaikan berubah menjadi performa, dan ibadah menjadi sekadar rutinitas. Padahal, Ibn Miskawayh melihat bahwa setiap tindakan—sekecil apa pun—adalah cermin hubungan manusia dengan Tuhannya. Ia menulis:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

«إِذَا صَلَحَتِ النَّفْسُ صَلَحَ الْعَالَمُ»
“Apabila jiwa menjadi baik, maka dunia pun menjadi baik.”

Kalimat ini mengandung makna mendalam: dunia tidak bisa diperbaiki dari luar, melainkan dari dalam. Masyarakat yang rusak adalah kumpulan jiwa-jiwa yang lelah. Maka, memperbaiki dunia berarti merawat jiwa sendiri. Setiap senyum yang tulus, setiap kesabaran kecil, adalah bentuk dzikir yang menghidupkan.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً
“Dan sebutlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah diri dan rasa takut.” (QS. Al-A‘rāf [7]: 205)

Ayat ini menegaskan bahwa dzikir bukan hanya suara di bibir, tapi gerak hati yang tenang dalam kesadaran Ilahi. Ibn Miskawayh menafsirkan ini dalam kehidupan akhlak—bahwa dzikir sejati bukan sekadar tasbih di tangan, melainkan kasih dalam tindakan.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Membersihkan Nafsu, Menjernihkan Jiwa

Ada masa ketika manusia berbuat baik namun hatinya tidak tenang. Ia merasa ada yang mengganjal, seperti kabut yang menutupi cahaya. Ibn Miskawayh menyebut hal itu sebagai a‘rāq, atau penyakit-penyakit jiwa—amarah, iri, tamak, sombong—yang harus disucikan agar akhlak menjadi jernih.

«وَتَطْهِيرُ النَّفْسِ مِنْ أَدْرَانِهَا هُوَ أَوَّلُ طَرِيقِ السَّعَادَةِ»
“Menyucikan jiwa dari kotorannya adalah awal dari jalan kebahagiaan.”

Membersihkan jiwa bukan perkara mudah. Ia menuntut keberanian untuk menghadapi diri sendiri—sebuah jihad batin yang lebih berat dari perang di luar. Rasulullah ﷺ bersabda:

رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ
“Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar.”
(HR. Al-Bayhaqi)

Jihad besar itu adalah melawan nafsu, menundukkan ego, dan menghidupkan hati. Dalam ruang batin itulah, manusia belajar berdamai dengan dirinya, hingga ia dapat menatap dunia tanpa kebencian.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Akhlak Sebagai Cermin Ruhani

Bagi Ibn Miskawayh, akhlak bukan sekadar etika sosial, tapi cara ruhani mengenal Tuhan. Ia menulis:

«إِنَّ الأَخْلاقَ الْحَسَنَةَ تَقْرُبُ الإِنْسَانَ مِنَ الإِلٰهِ»
“Akhlak yang baik mendekatkan manusia kepada Tuhan.”

Maka, akhlak tidak berhenti pada hubungan antar-manusia. Ia adalah perjalanan pulang. Ketika seseorang jujur bukan karena ingin dipuji, sabar bukan karena ingin disegani, dan memberi bukan karena ingin dikenang—di situlah akhlak berubah menjadi dzikir yang hidup.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Ahmad)

Hadis ini menegaskan bahwa seluruh misi kenabian berpusat pada penyempurnaan jiwa. Bukan pada banyaknya ibadah lahiriah semata, melainkan pada keluhuran hati yang menjadi sumber dari semua amal.

Akhlak: Nafas yang Menyebut Nama Tuhan

Setiap hembusan nafas adalah kesempatan untuk mendekat. Akhlak bukan teori, melainkan kehidupan yang berdenyut di antara dua nafas itu. Ketika seseorang menahan amarah, memaafkan kesalahan, atau tetap lembut di tengah dunia yang keras, di situlah Tuhan hadir dalam dirinya.

Ibn Miskawayh menulis lagi:

«النَّفْسُ الَّتِي أَلِفَتِ الْخَيْرَ تُشْبِهُ النُّورَ فِي نَقَائِهَا»
“Jiwa yang terbiasa dengan kebaikan menyerupai cahaya dalam kejernihannya.”

Maka, orang berakhlak baik bukan hanya menyebarkan kebaikan, tapi juga memancarkan ketenangan. Ia tidak perlu banyak bicara, karena kehadirannya sendiri sudah menjadi pengingat akan Tuhan.

Dan mungkin di antara dua nafas terakhir kita nanti, hanya akhlaklah yang tersisa. Ia menjadi saksi: bahwa kita pernah hidup bukan untuk menguasai dunia, tetapi untuk menghidupkan kebaikan di dalamnya.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement