Surau.co. Menjadi laut yang tenang adalah seni mengendalikan amarah. Ibn Miskawayh dalam Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq menjelaskan bahwa amarah merupakan salah satu kekuatan jiwa yang perlu diarahkan agar tidak merusak keseimbangan moral dan ketenangan batin. Dalam kehidupan sehari-hari, amarah muncul karena perbedaan pendapat, kesalahpahaman, atau tekanan hidup. Orang yang mampu mengelola amarah seperti laut yang tenang akan menghadapi setiap tantangan dengan kebijaksanaan dan kedamaian.
“الغضب قوة تحتاج إلى العقل لتوجيهها، وإلا فستدمر النفس والآخرين.”
“Amarah adalah kekuatan yang membutuhkan akal untuk menuntunnya; jika tidak, ia akan merusak diri sendiri dan orang lain.”
— Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq
Dalam kehidupan sosial, reaksi spontan terhadap emosi sering menimbulkan penyesalan. Saat seseorang melatih ketenangan, ia menumbuhkan kemampuan introspeksi dan memperkuat keseimbangan jiwanya.
Menjadi Tenang di Tengah Konflik
Ibn Miskawayh menegaskan bahwa pengendalian diri menjadi kunci kebajikan. Amarah yang tak terkendali melahirkan pertengkaran, kesedihan, dan kehilangan kepercayaan. Sebaliknya, hati yang tenang mampu mengubah konflik menjadi ruang belajar dan kesempatan untuk memperbaiki diri.
“من عرف نفسه سيطر على غضبه، ومن لم يعرفه ضاع في موج الغضب.”
“Barang siapa mengenal dirinya, ia menguasai amarahnya; barang siapa tidak, ia tersesat dalam gelombang amarah.”
— Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq
Tekanan hidup modern—dari pekerjaan, keluarga, hingga media sosial—sering menguji kesabaran manusia. Namun, orang yang menahan diri dari reaksi cepat menunjukkan kedewasaan batin. Seperti laut yang tenang, ia tidak perlu membalas setiap gelombang. Kesabarannya menumbuhkan kedamaian yang menular.
Allah SWT berfirman:
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan manusia.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 134)
Ayat ini menegaskan bahwa menahan amarah dan memberi maaf merupakan tanda ketakwaan serta jalan menuju kedamaian jiwa.
Amarah dan Keseimbangan Jiwa
Ibn Miskawayh memandang jiwa manusia memiliki tiga kekuatan: akal, syahwat, dan amarah. Bila amarah kehilangan kendali, keseimbangan itu pun goyah. Namun ketika diarahkan dengan bijak, amarah berubah menjadi energi positif—dorongan untuk menegakkan keadilan, melindungi diri, dan memperbaiki keadaan.
“الغضب الموجه بالعقل يولد الفضيلة، والغضب غير الموجه يولد الرذيلة.”
“Amarah yang diarahkan dengan akal melahirkan kebajikan; amarah yang tidak diarahkan melahirkan keburukan.”
— Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīر al-A‘rāq
Dalam keseharian, orang yang mampu menyalurkan amarah dengan cerdas biasanya lebih dihormati dan disukai. Ia menahan diri, berpikir jernih, dan mencari jalan tengah tanpa melukai. Dari sinilah lahir produktivitas dan kedewasaan moral.
Mengendalikan Amarah dalam Hubungan Sosial
Amarah yang meledak tidak hanya melukai diri sendiri, tetapi juga meretakkan hubungan. Ibn Miskawayh menilai bahwa pengendalian amarah membangun jembatan kasih dan memperkuat persahabatan.
“النفس الهادئة في الغضب تقوي روابطها مع الآخرين وتزرع المودة.”
“Jiwa yang tenang dalam amarah memperkuat hubungan dengan orang lain dan menanamkan kasih sayang.”
— Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīر al-A‘rāq
Banyak hubungan rusak karena kata-kata yang lahir dari kemarahan. Sebaliknya, orang yang mampu menahan lidah dan memilih diam di tengah provokasi menumbuhkan rasa hormat di hati orang lain. Ia menjadikan pengendalian diri bukan sekadar strategi moral, tetapi juga latihan spiritual.
Praktik Menjadi Laut yang Tenang
Menjadi laut yang tenang membutuhkan latihan dan kesadaran. Ibn Miskawayh menuntun manusia agar melatih kesabaran melalui langkah-langkah sederhana:
-
Hentikan reaksi sebelum emosi memuncak.
-
Tarik napas dalam dan arahkan pikiran pada solusi.
-
Renungi penyebab amarah dan lihat dengan perspektif luas.
-
Latih empati terhadap orang lain.
“من سيطر على غضبه فاز بالسكينة والطمأنينة.”
“Barang siapa menguasai amarahnya, ia memperoleh ketenangan dan kedamaian.”
— Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīر al-A‘rāq
Latihan semacam ini menjadikan amarah sebagai energi yang terkendali. Ia tidak lagi menjadi gelombang yang menghancurkan, melainkan arus yang mendorong kebaikan. Jiwa menjadi stabil, akal jernih, dan hati tenang di tengah badai kehidupan.
Kesimpulan: Jiwa yang Tenang Adalah Laut yang Damai
Menjadi laut yang tenang bermakna menguasai amarah dan menata keseimbangan jiwa. Ibn Miskawayh mengajarkan bahwa amarah yang terkendali menumbuhkan kebajikan, memperkuat hubungan sosial, dan menjaga harmoni batin. Dalam kehidupan modern yang penuh tekanan, kemampuan menahan diri adalah cahaya yang menuntun manusia menuju kedamaian sejati.
Dengan menjadikan pengendalian amarah sebagai laku hidup, setiap individu belajar menghadapi konflik dengan kepala dingin, menyelesaikan masalah tanpa dendam, dan menyebarkan ketenangan di sekitarnya. Jiwa yang tenang layaknya laut yang luas: dalam, sabar, dan tak terguncang meski badai datang silih berganti.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
