Khazanah
Beranda » Berita » Bahagia Adalah Hening: Tentang Jiwa yang Telah Seimbang

Bahagia Adalah Hening: Tentang Jiwa yang Telah Seimbang

Manusia duduk hening di tepi danau melambangkan keseimbangan jiwa menurut Ibn Miskawayh.
Ilustrasi ketenangan jiwa menurut Ibn Miskawayh—hening yang tidak pasif, melainkan sadar dan penuh kehidupan.

Surau.co. Kita sering berlari mengejar sesuatu yang disebut “bahagia”, seolah-olah ia bersembunyi di ujung waktu atau di balik pencapaian yang tinggi. Namun, Ibn Miskawayh dalam Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq mengajarkan sesuatu yang berbeda. Ia menyatakan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah hasil dari banyaknya hal yang kita miliki, melainkan dari keseimbangan jiwa yang telah mencapai ketenangan.

Hening bukan berarti tanpa suara, melainkan keadaan ketika batin berhenti berdebat dengan dirinya sendiri. Dalam dunia yang sibuk dan penuh perbandingan, hening seperti ini terasa langka—namun justru di sanalah kebahagiaan tinggal.

Ibn Miskawayh menulis:

“السعادة هي كمال النفس في إدراكها للحق، واعتدال قواها الثلاث.”
“Kebahagiaan adalah kesempurnaan jiwa dalam mengenal kebenaran dan keseimbangan tiga kekuatannya.”
— Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq

Tiga kekuatan itu, menurutnya, adalah kekuatan akal, amarah, dan syahwat. Bila salah satu mendominasi, jiwa menjadi timpang. Tetapi ketika ketiganya selaras, manusia menemukan hening—yakni keadaan batin yang damai di tengah dunia yang berisik.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Jiwa yang Tumbuh dari Ketenangan

Fenomena sehari-hari mengajarkan bahwa manusia modern jarang berhenti. Kita bangun dengan notifikasi, makan sambil bekerja, dan tidur dengan pikiran yang belum tuntas. Dalam keadaan ini, kebahagiaan sering disamakan dengan pelarian: hiburan, belanja, atau validasi. Padahal, menurut Ibn Miskawayh, kebahagiaan bukan pelarian, melainkan “kembali” kepada hakikat jiwa yang tenang.

“من عرف نفسه فقد اهتدى، ومن جهلها ضلّ طريق السعادة.”
“Barang siapa mengenal dirinya, ia mendapat petunjuk; dan barang siapa tidak mengenalnya, ia tersesat dari jalan kebahagiaan.”
— Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq

Kata-kata itu terasa seperti cermin bagi zaman ini. Kita sibuk mengetahui dunia, namun lupa mengenal diri sendiri. Kita mencari makna di luar, tapi melupakan bahwa sumber kebahagiaan justru bersemayam di dalam kesadaran yang jernih.

Seperti Rumi berkata, “Kau bukan setetes air di lautan, tapi lautan dalam setetes air.” Demikian pula Ibn Miskawayh mengingatkan bahwa jiwa manusia bukan sesuatu yang kecil dan rapuh, melainkan cermin dari kebijaksanaan Ilahi. Bila cermin itu bersih dari amarah dan syahwat, ia memantulkan cahaya kebenaran dan keindahan.

Cinta dan Akal: Dua Sayap Jiwa

Kebahagiaan yang seimbang tidak lahir dari akal semata. Ia tumbuh dari cinta yang menuntun akal agar tidak kering, dan dari akal yang menuntun cinta agar tidak buta. Ibn Miskawayh menyebut hubungan keduanya sebagai harmoni antara kebijaksanaan dan kelembutan hati.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

“القوة العاقلة إذا سمت بالإنسان قادته إلى الفضيلة، وإن ضعفت قادته الشهوة إلى الرذيلة.”
“Bila kekuatan akal meninggi, ia menuntun manusia pada kebajikan; bila ia lemah, hawa nafsu menyeretnya ke keburukan.”
— Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq

Dalam bahasa yang sederhana: kebahagiaan bukan hanya soal berpikir benar, tapi juga merasa dengan benar. Orang yang seimbang bukan yang selalu menang, tapi yang mampu menenangkan dirinya ketika kalah.

Keseimbangan itu seperti dua sayap burung. Tanpa cinta, akal tak mampu terbang. Tanpa akal, cinta kehilangan arah. Maka, bahagia bukan berada di puncak emosi, tapi di tengah keseimbangan keduanya—tempat di mana kita bisa melihat dunia apa adanya tanpa takut dan tanpa berlebihan.

Menemukan Hening dalam Gerak

Ketenangan bukan berarti meninggalkan dunia. Ibn Miskawayh justru menekankan bahwa kebahagiaan sejati terwujud di dalam kehidupan sosial yang beradab. Jiwa yang tenang tidak berdiam diri di gua, melainkan hadir dalam masyarakat dengan kebaikan dan kasih.

“الإنسان مدنيّ بالطبع، ولا يتم كماله إلا بمشاركة غيره في الفضيلة.”
“Manusia adalah makhluk sosial; kesempurnaannya tidak akan tercapai kecuali dengan berbagi kebajikan bersama yang lain.”
— Tahdhīb al-Akhlāq wa Taṭhīr al-A‘rāq

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Artinya, kebahagiaan bukan hanya tentang diri sendiri, tetapi juga tentang bagaimana jiwa yang tenang memancarkan kebaikan. Ia ibarat sungai yang mengalir tanpa bising, memberi kehidupan pada sekitarnya tanpa kehilangan sumbernya.

Di zaman serba cepat ini, kita bisa memulai dengan langkah kecil: berbicara dengan lembut, memberi waktu untuk mendengar, menahan diri dari reaksi berlebih. Ketenangan bukan hasil instan, melainkan hasil dari latihan jiwa.

Bahagia Adalah Hening

Ibn Miskawayh seolah mengingatkan kita: kebahagiaan sejati tidak menjerit. Ia datang diam-diam ketika hati kita bersih dari pertarungan batin. Hening itu bukan kekosongan, melainkan kepenuhan—sebuah ruang batin yang cukup untuk menerima segalanya tanpa kehilangan keseimbangan.

Dalam pandangan Islam, Allah berfirman:

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra‘d [13]: 28)

Maka, hening sejati adalah zikir dalam diam—bukan sekadar ucapan, tetapi kesadaran penuh bahwa diri kita bergantung sepenuhnya pada-Nya.

Ketika jiwa telah seimbang, dunia tidak lagi menakutkan. Kita tak lagi dikuasai oleh keinginan, tak lagi diperbudak oleh kemarahan. Dalam hening itu, kebahagiaan menemukan rumahnya. Dan rumah itu, ternyata, telah lama ada di dalam diri kita sendiri.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement